KEKUASAAN harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah. Demikian filsuf era Renaisans, Nicollo Machiavelli, berkata dalam salah satu adi karyanya Il Principe (Sang Pangeran). Subjektivitas saya, dari pilkada ke pilkada sebagai refleksi demokrasi belum dimaknai ideal sebagai ruang resolusi konflik, belum dimaknai radikal, substansial, sakral konstitusional.
Pemilukada belum bermakna ruang strategis menyinergikan berbagai kepentingan, memperdebatkan pemikiran ideal untuk mengelola daerah lima tahun ke depan dan fondasi pembangunan berkelanjutan.
Pemilukada kurang lebih dipahami semacam upacara, pesta politik ritual lima tahunan, baliho, spanduk, banner, stiker bertebaran, berserakan memajang wajah calon-calon bak kontes kecantikan akbar lazimnya pesta, kental dengan nuansa citra yang sama sekali tidak ada kaitan dengan substansi produk pemilukada.
Terpilihnya orang-orang terbaik yang memiliki kualifikasi desainer daerah adalah tujuan mutlak pemilukada. Parameter suksesnya, jujur adilnya, tegaknya hukum pada pemilukada bukan diukur berapa banyak pekerja demokrasi jadi tersangka, berapa komisioner KPU yang dibekukan, berapa orang yang diberhentikan.
Jika pun terjadi itu implikasi dari main-main dengan pemilukada, main-main dengan rakyat. Tidak sedikit yang mengkritisi pemilukada kali ini adalah refleksi demokrasi arah, nekad, pragmatis transaksional, berdemokrasi tapi anti demokrasi.
Dangkalnya pemahaman penting dan sakral konstitusionalnya pemilukada, suara rakyat pun menjadi perburuan “sales politik”. Rakyat jadi ladang transaksional, gadai, jual beli, ijon-mengijon suara. Transaksi tidak berakhir di lapangan, di hotel, restoran, rumah makan, di vila atau di gang-gang sempit. Suara rakyat yang ditransaksikan, dikuntit, ditagih para makelar dan sales politik sampai TPS. Lincah dan terencana, mereka menyelinap berkonspirasi dengan penyelenggara, pekerja demokrasi yang rapuh.
Suara yang sudah berbentuk angka tidak sedikit yang dieksekusi, disulap, digelembungkan, dipindahkan, dihilangkan. Angka deret hitung, kecuali nilai transaksi, dianggap tidak bermakna, tidak bernyawa, tidak memiliki sejarah, dan tidak memiliki generasi untuk daerah di masa depan. Angka simbol kepercayaan itu tak ubahnya barang transaksi Rp250 ribu sampai Rp2 juta ditambah sembako per satu suara.
Maka, dilarang prihatin kalau kualitas, intelektualitas, moralitas produk pemilukada pun menjadi kurang memiliki kualifikasi desainer kedaerahan. Bahkan boleh jadi tidak sedikit calon terpilih sekadar mewakili sembakonya, mewakili saweran duitnya, representasi premanisme dan intimidasinya.
Jika tidak ada ijtihad lain — sebut saja Pemungutan Suara Ulang (PSU) atau kalkulasi politik lain, jangan menyesal jika kemudian kepala daerah yang terpilih yang sangat berambisi untuk menang, bertransformasi menjadi pengeruk, penggali sumur uang rakyat untuk mengganti biaya kampanye, uang saweran dan meningkatkan kemewahan hidupnya.
Wajib prihatin, kalau nasib pembangunan daerah lima tahun ke depan ditukar Rp250 ribu sampai R2,5 juta plus sembako. Dan wajib pula diwaspadai maraknya politik uang pada saat Pemungutan Suara Ulang (PSU) pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jambi yang akan dilangsungkan di lima kabupaten di 88 tempat pemungutan suara. Dengan kedok uang zakat, sedekah, THR dan memolitisasi ibadah sakral tersebut menjadi modus praktik jual-beli suara harus ditolak.
Seperti yang dilansir media detail (6 April 2021), Kapolda Jambi Irjen Pol A Rachmad Wibowo, menegaskan jangan main-main dengan politik uang di PSU Pilgub Jambi nanti. Yang melakukan politik uang, kita tidak main-main. Pelaku akan kita tangkap, dan langsung kita ekspos kepada media. Ini foto orangnya. Ini buktinya. Politik uang dalam pelaksanaan PSU nanti, harus dilawan dengan cara menolak uangnya dan melaporkan pelakunya kepada pihak berwajib dengan barang buktinya.
Jika demikian, satu catatan penulis, maka sudah sepatutnya menginduksi masyarakat, sebagai bagian dari penyadaran publik demokrasi untuk menciptakan kesadaran kolektif bahwa politik uang cenderung merugikan lantaran menggerogoti anggaran, menyelewengkan kekuasaan dan menghambat terimplementasikannya good governance and clean governance dan sebagai filosofi dasar bahwa negara berada dalam kedaulatan rakyat.
Para pemilih sendirilah yang hendaknya harus tegas untuk tidak memilih para calon kepala daerah yang menghalalkan segala cara guna melampiaskan syahwat politiknya untuk mendapatkan kekuasaan dengan melakukan politik uang dalam bentuk apa pun. Pemilih agar memilih kepala daerah yang sesuai dengan hati nurani, bukan karena tren politik dan politik uang.
Kalau mau pemimpin jujur, masyarakat dalam memilih juga harus jujur dan jangan bermimpi punya pemimpin bagus jika suara masyarakat bisa dibeli. Jika calon pemimpin kepala daerah yang menggunakan cara instan dengan politik uang, maka tak layak untuk dipilih. Karena politik uang merupakan politik minus ide.
Disadari atau tidak, selama ini mereka memperlihatkan ketidakmampuan berpolitik dengan ide dan tidak memiliki integritas moral yang patut dicontoh, sebab mereka tak punya gagasan tentang kemajuan daerah untuk diusahakan.
Pesannya hanya satu, Pemilih Mantap, Jambi Mantap.
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post