DETAIL.ID, Jambi – Hingga 25 April 2021, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jambi belum juga mengeksekusi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberi “Peringatan Keras” ke Sanusi.
Sanusi oleh DKPP dinyatakan terbukti melakukan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu selama Pilgub Jambi 2020.
Padahal berdasarkan Peraturan DKPP Nomor 1 Tahun 2013 Pasal 43 ayat (2) Penyelenggara Pemilu (KPU) wajib melaksanakan putusan DKPP paling lama 7 hari sejak putusan dibacakan. Sementara putusan DKPP terhadap Sanusi sudah dibacakan 21 April 2021.
Ketua KPU Provinsi Jambi, M Subhan yang dikonfirmasi mengatakan, dirinya masih di Jakarta. Sehingga belum dapat menggelar rapat internal eksekusi putusan DKPP.
“Saya sedang di Jakarta, pas pulang nanti kita akan melakukan rapat internal terkait putusan DKPP terhadap saudara Sanusi,” ujarnya kepada pemayung.co, Jumat, 23 April 2021.
Subhan juga mengatakan, dalam rapat internal KPU Provinsi Jambi nanti, Sanusi hanya diminta agar berkomitmen untuk tidak mengulangi semua perbuatannya (melanggar kode etik KPU).
“Sesuai keputusan DKPP, saudara Sanusi hanya mendapatkan peringatan keras. Kalau untuk menonaktifkan Sanusi ini wewenang KPU RI (KPU Pusat),” kata Subhan lagi.
Mengutip peraturan DKPP, Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 42 ayat 3 dalam hal amar putusan DKPP menyatakan Teradu dan/atau Terlapor terbukti melanggar, maka DKPP memberikan sanksi berupa:
- teguran tertulis;
- pemberhentian sementara; atau
- pemberhentian tetap.
Berdasarkan pasal di atas maka ada 2 sifat sanksi yaitu sanksi yang bersifat membina atau mendidik dan sanksi yang bersifat berat.
Sanksi yang bersifat membina atau mendidik berupa peringatan atau teguran, mulai dari bentuk yang paling ringan, yaitu teguran lisan sampai ke tingkat yang paling berat, yaitu peringatan keras secara tertulis, terdokumentasi, dan tersebar secara terbuka untuk khalayak yang luas.
Sedangkan sanksi yang bersifat berat bertujuan untuk menyelamatkan citra, kehormatan, dan kepercayaan publik terhadap institusi dan jabatan yang dipegang oleh pelanggar kode etik, yaitu dalam bentuk pemberhentian yang bersangkutan dari jabatan yang dapat bersifat sementara atau bersifat tetap.
Pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memulihkan keadaan, yaitu sampai dicapainya kondisi yang bersifat memulihkan keadaan korban atau sampai kepada keadaan pelanggar dengan sifat pelanggaran atau kesalahan yang terjadi telah terpulihkan.
Pemberhentian tetap dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah secara tuntas dengan maksud untuk menyelamatkan institusi jabatan dari perilaku yang tidak layak dari pemegangnya. (*)
Discussion about this post