PASCA PEMBACAAN putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Senin malam (22/3/2021). Mahkamah membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jambi Nomor 127/PL.02.6/Kpt/15/Prov/XII/2020 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi Tahun 2020 tertanggal 19 Desember 2020 sepanjang perolehan suara di 88 TPS yang ada di Provinsi Jambi. Serta memerintahkan KPU Provinsi Jambi untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 88 TPS di 5 kabupaten/kota di Provinsi Jambi yang dilaksanakan paling lama 60 hari kerja sejak putusan itu ditetapkan. Ke 88 TPS tersebut tersebar di Kabupaten Muarojambi, Kerinci, Batanghari, Tanjungjabung Timur dan Kota Sungaipenuh.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan untuk melakukan PSU di 5 kabupaten/kota di Provinsi Jambi ini pastinya akan berdampak terhadap partisipasi masyarakat. PSU menimbulkan problematik baru bagi pemilih, penyelenggara pemilu, serta peserta pemilu.
Bagi pemilih, problematik yang ditimbulkan dari PSU adalah ketersediaan waktu untuk melakukan pemungutan suara ulang, rasa tidak percaya kepada pihak-pihak penyelenggara pemilu, dan kemungkinan tidak ikut memilih (golput) dalam PSU. Sedangkan problematik bagi penyelenggara pemilu adalah timbulnya kecacatan profesionalitas dan kinerja sebagai penyelenggara, pemborosan anggaran dan waktu.
Padahal, anggaran Pilgub Jambi yang diserahkan ke lembaga ini sangat besar, mencapai Rp180 miliar. Anggaran itu telah habis sebanyak Rp135 miliar selama pelaksanaan tahapan pra dan pasca Pemilihan Gubernur Jambi 9 Desember 2020 lalu. Selanjutnya, bagi peserta pemilu tentunya menimbulkan sejumlah problem, walaupun peserta Pemilukada di Provinsi Jambi ini ada 3 paslon, tapi sesungguhnya yang terjadi adalah head to head, pertarungan antara paslon 01 dan paslon 03.
Dampaknya adalah potensi gesekan akan lebih rawan. Oleh karena itu, sebaiknya KPU Provinsi Jambi hendaknya segera melaksanakan PSU dan jangan bermain mata lagi dengan paslon tertentu agar konflik lokal tidak semakin meruncing.
Selain menghadirkan problematik bagi pemilih, penyelenggara pemilu, dan peserta pemilu, keputusan untuk melaksanakan PSU mengandung konsekuensi yang tidak sederhana, yaitu terhambatnya pembangunan dan peningkatan ekonomi di Kota Jambi, karena APBD belum dapat digunakan secara maksimal karena keterbatasan kewenangan Penjabat Gubernur.
Konsekuensi PSU lain adalah pada tahun 2022 Jambi akan kehilangan arah dikarenakan visi misi gubernur terpilih sulit dijabarkan pada RPJMD karena pada bulan Maret telah dibuka forum LKPD, yaitu suatu forum yang bertugas untuk menginput seluru visi misi dan program unggulan calon gubernur untuk program kerja tahun 2022.
Selain problematik dan konsekuensi PSU yang penulis uraikan di atas, terlihat bahwa dalam PSU, terdapat syahwat politik yang berlebihan yaitu sebagai bentuk kecenderungan seseorang untuk menguasai dan memiliki sesuatu bahkan di luar batas kewajaran dan kepatutan secara sewenang-wenang.
Betapa banyak realitas yang muncul dan kita temui, berbahayanya ambisi dan ‘syahwat politik’ yang tak terkendali, jika telah menguasai jiwa seseorang (terutama bagi para pemimpin) maka berbagai cara akan mereka lakukan, walaupun harus melawan nuraninya sendiri.
Para politisi yang berpikir dangkal, dan hedonis, mereka lebih senang menenggelamkan diri dalam ambisi pribadi, dan syahwat pragmatisme, di mana mereka telah mereduksi nilai-nilai dan harapan masyarakat menjadi ambisi, hasrat dan syahwat politik jangka pendek, mulai dari pelanggaran kampanye di masa tenang, penggelembungan suara di Sungaipenuh, money politic, dugaan adanya persekongkolan Komisioner KPU Provinsi Jambi M. Sanusi dengan salah satu paslon (sudah menjalani sidang di DKPP), hingga berujung putusan PSU oleh MK.
Oleh karenanya, PSU yang akan dilaksanakan ini menjadi ajang kritis masyarakat akan potensi bahaya yang ditimbulkan akibat praktik inkonstitusional dalam Pemilukada yang dapat mencederai nilai-nilai hukum dan demokrasi. Sikap kritis untuk memilih calon pemimpin sudah mulai tertanam dalam diri masyarakat dalam memilih siapa pemimpinnya nanti yang mampu bertanggungjawab bagi keberlangsungan orang banyak.
Perlu digaris bawahi adalah yang membuat negeri ini tidak bisa menyukseskan pesta demokrasi adalah uang/money politic, dengan kata lain demokrasi kita masih bisa dibeli. Jadi kalau rakyat masih terus dikelabui uang, maka rakyat akan masuk ke jurang penderitaan dan takkan pernah bisa keluar dari sana.
Sebagai penutup, penulis mengutip pernyataan Will Rogers, aktor dan humoris dari Amerika Serikat 1879-1935, “Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun kita harus mengeluarkan banyak uang”.
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post