IRONI di setiap Pemilu atau Pilkada ialah, di satu sisi, situasi politik tampak bergairah penuh dinamika, di sisi lain, banyak orang skeptis apakah peristiwa itu berdampak pada nasib mereka. Orang melihat Pemilu atau Pilkada lebih sebagai salah satu ritual sosial daripada momen politik untuk mengubah nasib atau memperjuangkan cita-cita. Reaksi seperti ini bisa dipahami, meski sekaligus menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan politisi.
Dalam aras perpolitikan lokal, kita menjumpai banyak fenomena dan masalah yang beragam, semuanya bermuara dalam proses Pilkada. Padahal, Pilkada ini merupakan refleksi kesepahaman antar-individu di ranah publik untuk memberi legitimasi pemimpin yang terpilih berdasarkan prinsip jujur dan adil.
Sangat disayangkan jika itu harus dinodai dengan cara-cara di luar aturan yang telah disepakati. Umumnya kecurangan dilakukan secara sistematis dengan modus seolah-olah ini terjadi karena kesalahan administrasi Pemilu/Pilkada atau kelalaian penyelenggara.
Ancaman terhadap proses demokrasi electoral yang perlu mendapat perhatian adalah terjadinya kecurangan yang sengaja dilakukan untuk memenangkan calon tertentu. Kecurangan Pemilu/Pilkada sering terjadi pada tahap rekapitulasi di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara dan Komisi Pemilihan Umum. Kecurangan atau manipulasi suara lebih sering terjadi pada tahap rekapitulasi, sedangkan peluang terjadinya kecurangan paling kecil ada di tingkat Tempat Pemungutan Suara.
Selayaknya KPU melakukan upaya perbaikan dalam semua unsur yang terkait agar data hasil perolehan suara di TPS tidak mengalami perubahan dan tetap terjaga validitasnya dengan tetap menjaga netralitas, integritas dan profesionalitas. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa profesionalitas dan integritas akan terbentuk oleh sistem dan keteladanan yang kuat. Namun demikian, kita masih bisa menggunakan dua hal yang lumayan membantu dalam menilai profesionalitas dan integritas seseorang. Kedua hal tersebut adalah waktu dan kepentingan.
Polemik Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jambi 2020 belum usai hingga Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan PSU 88 TPS di beberapa Kabupaten/Kota dan menilai KPU Provinsi Jambi tidak profesional dan tidak berintegritas. Polemik Pilgub tersebut diduga berawal dari pihak penyelenggara pemilu (KPU) itu sendiri, dengan membocorkan data secara ilegal ke salah satu paslon sehingga data tersebut menjadi modal untuk menggagalkan kemenangan calon Gubernur Jambi terpilih dengan cara menggugat ke MK.
Penulis teringat dengan kasus tertangkapnya Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Wahyu diduga ditangkap bersama tiga orang lainnya. Salah satu di antaranya merupakan Caleg dari PDIP. Caleg tersebut diduga menyuap Wahyu terkait pergantian antarwaktu di DPR.
Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi integritas KPU. Lalu, bagaimana dengan KPU di Provinsi Jambi? Pasca pengunduran diri M. Sanusi sebagai salah satu komisioner KPU Provinsi Jambi, ancaman-ancaman kecurangan itu tetap akan ada.
Potensi ancaman kecurangan bisa terjadi pada tingkat penyelenggara hingga peserta yang ingin meraih kemenangan. seperti yang penulis kutip dari laman resmi Bawaslu RI, (21/04/2021), Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Abhan mengatakan, potensi kecurangan meningkat kemungkinan terjadi dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada.
Menurutnya, hal ini terjadi karena selisih suara yang kecil antarpasangan calon kepala daerah yang diikutsertakan dalam PSU. PSU kali ini lebih kompetitif karena di antara pasangan calon karena masing-masing sudah mengetahui selisih perolehan suara sehingga membuat tingginya potensi pelanggaran.
Seperti yang ditulis oleh Aditya Perdana, Assistant Professor, Universitas Indonesia dalam The Conversation (30/01/2020), menurut Sarah Birch, profesor ilmu politik di King’s College London, Inggris, malapraktik pemilu merupakan tindakan manipulasi untuk mengganggu proses dan hasil pemilu sehingga kepentingan publik digantikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok yang mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut.
Malapraktik terjadi karena memang para peserta Pemilu/Pilkada yang merasa perlu untuk “mengutak-atik” proses demi keuntungan pribadi dan kelompoknya harus melibatkan para penyelenggara pemilu. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah dan selalu mengingatkan penyelenggara Pemilu/Pilkada dalam aspek integritas. Kasus-kasus yang menyangkut kemandirian dan profesionalitas para penyelenggara Pemilu/Pilkada tidak berkurang sama sekali.
Antara tahun 2018 dan 2019, ada 1.030 kasus pengaduan yang diterima oleh DKPP. Sebanyak 650 kasus disidangkan dan 144 orang penyelenggara pemilu diberhentikan tetap. Jika demokrasi itu oleh rakyat maka seharusnya penentuan tipikal pemimpin berdasarkan pertimbangan pribadi rakyat bukannya dimainkan oleh segelintir elite. Rakyat bawah selalu dijadikan obyek isu, sementara remote control issue dimainkan oleh para elite pragmatis.
Dampak dari mengotak-atik proses kemenangan yang harus dimenangkan dengan melibatkan para penyelenggara Pemilu/Pilkada adalah suatu tindakan yang sangat bertentangan dengan jiwa-jiwa pemimpin yang memperadabkan. Yang tidak kalah pentingnya adalah konsekuensi yang tidak sederhana, yaitu terhambatnya pembangunan dan peningkatan ekonomi masyarakat, potensi gesekan konflik lokal dan banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi karena biaya politik yang tinggi pada saat pencalonan.
Lalu, langkah-langkah atau strategi preventif apakah yang akan dilakukan oleh jajaran pengawas pemilu (Bawaslu) di daerah khususnya di Jambi yang sebentar lagi melakukan PSU, seperti persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), politik uang, yang tidak hanya sekadar dimaknai sebagai politik transaksi antara peserta Pemilu/Pilkada dengan pemilik suara tapi telah merambah dari peserta Pemilu/Pilkada dengan penyelenggara Pemilu/Pilkada atau kurang profesional dan integritas para penyelenggara? Sementara kejadian seperti ini terus berulang dari Pemilu/Pilkada ke Pemilu/Pilkada selanjutnya.
Selain sebagai ukuran pembeda, profesional dan integritas juga diyakini akan memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan institusi pengawas pemilu. Pengetahuan, keahlian dan visi memang diperlukan, tapi tanpa profesional dan integritas, semua itu hanya hiasan yang bisa jadi dimanfaatkan untuk mengelabui rakyat.
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post