AKU ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Sajak “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono ini melukiskan cinta dengan diksi-diksi yang unik. Lirik demi liriknya luar biasa tapi mudah dicerna.
Setiap kali membaca puisi yang ditulis oleh sastrawan legendaris, saya selalu kagum, “bagaimana para penyair merajut kata demi kata yang memukau.” Bukan kata-kata verbal seperti pidato pejabat, kampanye politikus, atau opini di koran pagi.
Atau sajak “Aku” dari Chairil Anwar yang sangat populer. Metafor dari pelopor sastrawan angkatan 45 ini sangat imajinatif
“Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang.”
Benarlah, kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri. “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.”
“Bila kata dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan….Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.” Tardji ingin mengatakan bahwa puisi bukanlah sebuah opini di surat kabar yang sarat dengan wacana dan argumentasi.
Menurut penyair Joko Pinurbo (Jokpin), banyak puisi bagus yang gagal karena si penyair tergoda untuk berceramah secara telanjang dan menyimpulkan sendiri puisi tersebut di ending-nya.
Padahal, menyimpulkan bacaan adalah otoritas pembaca. “Jangan bernafsu untuk menjadi nabi atau penceramah dalam puisimu. Jangan menceramahi pembaca lewat karya,” kata Jokpin.
Penyair Sapardi Djoko Damono juga punya kiat. Menurut Sapardi, seseorang harus mengosongkan pikiran dari emosi-emosi sebelum menulis puisi. Baik itu perasaan jatuh cinta atau kemarahan.
“Kalau sedang kelepek-kelepek jatuh cinta, kita nulis, yang keluar kata-kata cengeng dan jijikin,” ujarnya, suatu kali. “Kalau marah nulis sajak, isi setiap kalimat ada tanda seru. Yang baca kan susah kalau semua tanda seru. Kalau marah demo saja, enggak usah berpuisi,” katanya.
Saya kira, endapkan dulu rasa yang emosional. Temukan substansinya yang universal dan pilih diksi-diksi yang padat dan intens. Lalu, biarkan bait-bait bagai sungai mengalir, atau bak ombak menggulung dan berdebur di pantai. Kemudian pelototi lagi, siangi kata demi kata sehingga lebih energik dan imajinatif.
Tak berarti penyair tabu menulis kritik sosial politik. Penyair berhak seakan-akan berada di tengah massa melalui sajak-sajak sosial atau sajak protes.
Sajak sosial efektif menggunakan sajak liris, suatu gaya yang menekankan pengungkapan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat berkuasa dalam menatap suatu objek atau fenomena. Tapi tak mengabaikan zat estetis atau perangkat puitika, seperti dituntut sajak imajis-liris.
Kita ingat sebuah sajak Rendra yang bagus:
Aku mendengar suara
Jerit hewan terluka
Ada orang memanah rembulan
Ada burung kecil jatuh dari sarangnya
Orang orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan tetap terjaga
(Aku Mendengar Suara – WS Rendra; 1974)
Pun sajak Tanah Air Mata (1991) karya Sutardji Calzoum Bachri yang menguak ketimpangan sosial di Indonesia padahal tanahnya subur dan rakyatnya harusnya makmur.
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
Menjewer
Kita ingat pula sastrawan asal Amerika Serikat, Louise Gluck, peraih Nobel Sastra 2020. Karya-karyanya memiliki ciri khas tentang kehidupan masa kanak-kanak, orang tua dan saudara kandung merupakan tema-tema yang sering diangkat olehnya.
Berikut ini sajaknya yang memikat:
Persimpangan
Tubuhku, menyadari tak akan lagi kita bersama
mulai kurasakan kelembutan baru kepadamu, murni dan asing,
seperti cinta yang kuingat dari masa muda — cinta yang sering bodoh tujuannya
tapi agung pilihannya, juga kekuatannya.
Terlalu banyak dituntut di muka,
terlalu banyak yang tak bisa dijanjikannya –
Jiwaku begitu takut, begitu bergelora:
maafkan amukannya.
Seolah jiwa, tanganku membelaimu ragu. enggan mengusik tetapi ingin,
akhirnya, memberikan ungkapan
sekaligus intisari: bukan bumi ini yang akan aku rindu, tapi kau.
Masih ada Bob Dylan, seorang penyanyi, penulis lagu, musikus dan penyair Amerika. Karya-karya peraih Nobel Sastra 2016 itu, selama lebih dari enam dekade telah menyentuh hidup banyak orang dan memberi makna lebih pada pengalaman manusia.
Simaklah, lagu “Make You Feel My Love” milik Bob Dylan yang kemudian diremake oleh penyanyi Adele. Lagu ini menggambarkan perasaan cinta yang begitu dalam. Inilah, sebagian terjemahannya:
Ketika hujan membasahi wajahmu
Dan seluruh dunia menyalahkanmu
Aku bisa memberimu dekapan hangat
Agar kau merasakan cintaku
Saat malam membayang dan gemintang bermunculan
Dan tak ada yang mengusap air matamu
Aku bisa mendekapmu jutaan tahun
Agar kau merasakan cintaku
Ada satu lagu ciptaan Bob Dylan berjudul Masters of War. Liriknya sederhana tapi menyindir secara dingin:
Ayo, kau tuan perang
Anda yang membangun semua senjata
Anda yang membangun pesawat kematian
Anda yang membangun bom besar
Anda yang bersembunyi di balik dinding
Anda yang bersembunyi di balik meja tulis
Aku hanya ingin kamu tahu
Aku bisa melihat melalui topengmu
Dylan bagai menjewer Nixon dan George Bush, pemimpin Amerika Serikat yang maniak perang tanpa penuh carut-marut. Nah.
*wartawan senior, tinggal di Medan
Discussion about this post