PERKARA
Keluarga Japri Sakel Merasa Ditipu Oknum Pengurus DPC APRI Tebo, LPI Tipikor Minta Dalang Kasus PETI Diungkap Tuntas

DETAIL.ID, Tebo – Keluarga Japri Sakel merasa ditipu oleh oknum pengurus DPC Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Tebo. Ini disampaikan langsung oleh Ahmad Yani, kakak kandung tersangka pelaku Penambang Emas Ilegal (PETI) yang diamankan Polres Tebo, beberapa waktu yang lalu.
“Kami merasa tertipu oleh oknum pengurus DPC APRI Tebo,” kata Ahmad Yani, menyampaikan hak jawab yang disampaikan secara lisan kepada awak media pada Jumat, 6 Agustus 2021.
Hak koreksi yang disampaikan ini terkait klarifikasi berita Hak Jawab DPC APRI Tebo Atas Pemberitaan “Pelaku Mengaku Jual Emas Hasil PETI ke APRI”. Menurut dia, ada beberapa kalimat pada berita hak jawab tersebut yang dinilai tidak sesuai dengan fakta.
Sebelumnya, kata dia, adiknya itu bergabung sebagai anggota APRI Kabupaten Tebo hingga akhirnya dipercaya sebagai Ketua Kelompok Responsible Mining Community (RMC) Usaha Berkat di bawah naungan APRI Kabupaten Tebo.
Tidak itu saja, adiknya juga mendapat Sertifikat Anggota UMK APRI yang diterbitkan oleh Dewan Pimpinan Pusat APRI dan ditandatangani oleh Ketua Umum DPP APRI, Ir Gatot Sugiharto. Sertifikat ini diterbitkan pada 15 April 2021 dan berakhir pada 14 April 2022.
Selama bergabung menjadi anggota APRI dan memiliki Sertifikat Anggota UMK APRI, adiknya itu diiming-imingi oleh oknum pengurus DPC APRI Tebo soal keamanan dan kenyamanan kerja.
Atas dasar itu lanjut dia, adiknya melakukan kegiatan pembelian dan pengolahan emas dari hasil penambangan emas tanpa izin (PETI) atau dompeng. Yang disesalkan Yani, beberapa bulan yang lalu adiknya itu ditangkap pihak kepolisian saat mengolah emas, dan sampai sekarang kasusnya terus berlanjut.
“Katanya kalau masuk dalam anggota APRI dapat jaminan keamanan dan kenyamanan. Kok adik saya ditangkap,” katanya.
Begitu adiknya ditangkap, beberapa orang oknum pengurus DPC APRI Tebo menjumpainya. Mereka berjanji akan mengurus adiknya hingga bebas.
Namun ternyata ada biayanya. Ia, diminta Rp 20 juta dengan alasan untuk mengurus adiknya ke DPP APRI. Oknum pengurus APRI tersebut juga minta agar dia mengajukan praperadilan atas penangkapan adiknya itu.
Karena panik dan belum bisa berpikir normal, Ahmad Yani ikut saja. Dia langsung menyerahkan uang sesuai permintaan oknum pengurus DPC APRI tersebut.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”baca juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ include_category=”4″]
“Katanya kalau dipraperadilankan, dalam seminggu adik saya bisa bebas (keluar). Nyatanya, ini sudah dua bulan lebih, adik saya belum juga bebas. Bahkan kasusnya naik ke kejaksaan,” katanya.
Terkait biaya yang telah diserahkan sebanyak Rp 20 juta, baru dikembangkan sebesar Rp 5 juta lebih yakni, pada minggu pertama dibayar Rp 5 juta dan pada minggu kedua dibayar Rp 490 ribu dan ditambah Rp 270 ribu.
“Katanya ada iuran mingguan dan bulanan. Iuran ini gunanya untuk mengurus anggota bila terkena masalah. Kok ini malah uang saya untuk mengurusnya. Bahkan saya juga yang menanggung biaya pengacara yang mendampingi adik saya, mulai dari transportasi, penginapan dan makannya. Terus duit sumbangan yang selama ini ke mana,” katanya.
Diakui Yani, persoalan uang tersebut pernah diutarakan dalam grup WhatsApp APRI Tebo. Sempat beberapa kali terjadi perdebatan di dalam grup. Namun akhirnya, dia bersama adiknya Japri Sakel dan keponakannya, Comel dikeluarkan dari anggota grup itu.
“Sekarang saya tidak tahu lagi harus menghubungi siapa. Nomor oknum pengurus APRI itu sudah tidak bisa lagi dihubungi. Mungkin nomor saya sudah diblokirnya,” ucapnya.
Atas permasalahan ini, Yani mengaku pasrah. Dia menyerahkan kasus yang menjerat adiknya itu ke pihak penegak hukum. Dia juga mengaku telah menarik praperadilan terkait penangkapan adiknya itu.
“Sekarang saya pasrah. Saya percaya pihak penegak hukum, adil dalam menyikapi kasus adik saya,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Iqbal A SH, salah satu Anggota Investigasi DPP LPI Tipikor mendukung sepenuhnya proses hukum yang ditangani Polres Tebo untuk mengusut tuntas terkait dugaan penambang tanpa izin (ilegal) mulai dari penambang sampai ke penampung hasil tambang.
“Siapa pun yang melanggar hukum harus diproses sesuai hukum yang berlaku di negeri ini,” kata Iqbal.
Ketua Umum LPI Tipikor, Aidil Fitri SH juga mendukung sepenuhnya proses penegakan hukum kasus tersebut. Aidil berharap proses penegakan hukum dilakukan secara tuntas. Mulai dari hulu sampai ke hilirnya (dari penambang ilegal sampai ke penampung hasil tambang sesuai dengan UU RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Aidil juga meminta penyidik untuk mengembangkan kasus ini siapa oknum yang menjadi otak di balik ini semua sehingga mengorbankan rakyat dengan mengiming-imingi penambangan ini legal padahal ilegal.
“Akibatnya rakyat berani melakukan kegiatan melawan hukum dengan menambang tanpa izin dugaan ini. Penyidik harus bisa mengungkap siapa oknum pengurus DPC APRI biar ada efek jera,” katanya.
Ia juga berharap pihak penegak hukum jangan ada istilah pilah pilih dalam menegakkan hukum. “Siapa pun oknum pengurus DPC APRI harus diproses apabila kuat bukti-buktinya seperti yang disampaikan korban di atas,” ujarnya.
PERKARA
Mediasi Gagal, Mediator Keluarkan Anjuran Bagi YPTSA STIA Nusantara Sakti dan Pelapor

DETAIL.ID, Jambi – Proses mediasi antara pihak Yayasan Pendidikan Tinggi Sakti Alam Kerinci (YPTSA), selaku pengelola Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Nusantara Sakti dengan 15 orang dosen dan pegawainya berujung buntu.
Belum lama ini, mediator pada Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jambi pun akhirnya mengeluarkan anjuran atas perselisihan hak antara kedua belah pihak.
“Tindak lanjut penanganan kasus Yayasan Sakti Alam kemarin bahwa mediator hubungan industrial sudah menyampaikan anjuran,” ujar Kabid Hubungan Industrial, Dodi Haryanto pada Rabu, 2 Juli 2025.
Lebih lanjut, Kabid Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Hubungan Ketenagakerjaan tersebut mengungkap bahwa dalam secara umum mediator menganjurkan agar YPTSA dan Pimpinan STIA Nusa Sakti segera membayarkan hak-hak yang dituntut pekerja seperti upah yang belum dibayarkan, THR, serta hak atas pemutusan hubungan kerja.
“Dan masing-masing pihak diberikan waktu 10 hari untuk menjawab anjuran tersebut. Dalam anjuran mediator,” katanya.
Dodi sebelumnya juga mengungkap bahwa proses mediasi telah dilakukan beberapa kali yang mulai bergukir sejak 12 Maret 2025. Namun tak kunjung ada titik temu antar kedua belah pihak.
Dengan adanya anjuran dari Disnakertrans, sikap YPTSA dan STIA Nusantara Sakti jadi penentu. Apakah perselisihan hak bakal selesai, atau malah lanjut ke ranah hukum lebih tinggi yakni Pengadilan Hubungan Industrial.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Arief Efendi Terdakwa Korupsi di Kasus Bank Jambi Akui Perbuatannya, Minta Keringanan Hukum

DETAIL.ID, Jambi – Arief Efendi, salah satu terdakwa perkara korupsi gagal bayar Medium Term Note (MTN) Bank Jambi dengan PT SNP masih menghadapi serangkaian persidangan di Pengadilan Tipikor Jambi.
Sosok terdakwa yang sempat buron kemudian ditangkap tim Pidsus Kejati Jambi pada 13 Desember 2024 lalu itu kini menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa pada Selasa, 1 Juli 2025.
Di persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Syafrizal Fakhmi, terdakwa mengakui perbuatannya. Ia juga mengaku menyesal. Dirinya juga mengaku telah menyerahkan nilai kerugian negara sebesar Rp 1,7 miliar pada penyidik.
“Saya mengakui yang mulia (semua isi BAP). Uang Rp 1,7 miliar juga sudah saya kembalikan,” ujar terdakwa Arief di persidangan.
Dalam pernyataannya pada JPU. Arief pun tampak mengeluarkan air mata seraya memohon keringanan hukum atas perbuatannya.
“Banyak peristiwa yang sudah saya alami. Saya mohon keringanan,” ujarnya.
Usai sidang, JPU Suryadi dikonfirmasi mengakui bahwa sudah ada penitipan uang kerugian negara dari terdakwa sebesar Rp 1,7 miliar. Nilai itu disebut berasal dari fee (kutipan) tidak resmi yang dilakukan terdakwa dalam proses pencairan MTN PT SNP pada Bank Jambi tahun 2017 – 2018. Adapun duit itu kini berada di rekening penitipan Kejari Jambi.
“Pada intinya, si terdakwa mengakui terkait apa yang diperbuatnya. Sementara uang tersebut dititip di rekening kejaksaan,” ujar Suryadi.
Dengan pengakuan dan segala fakta persidangan yang didapati sejauh ini, JPU mengaku bakal jadi pertimbangan dalam tuntutan yang bakal bergulir dua pekan ke depan.
Sementara penasihat hukum terdakwa Azuri Nasution berharap ada keringanan hukum bagi kliennya lantaran sikap kooperatif dan pengembalian kerugian juga sudah dilakukan.
Dalam kasus ini, Arif, mantan Kepala Divisi Fixed Income PT MNC Sekuritas didakwa secara bersama-sama dengan terpidana Yunsak El Halcon yang telah divonis penjara selama 13 tahun, Dadang Suryanto (divonis 9 tahun) dan Andri Irvandi (divonis 13 tahun), serta terdakwa Leo Darwin (tahap kasasi).
Telah melakukan tindak pidana korupsi terkait gagal bayar pembelian Medium Term Note (MTN) PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) pada tahun 2017–2018 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 310.118.271.000.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Hasil TPPU, BPN Ungkap Tek Hui Punya Tanah 2.857 Meter Persegi di Muarojambi

DETAIL.ID, Jambi – Terdakwa perkara narkotika Dedi Susanto alias Tek Hui kembali menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jambi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Kali ini sidang Tek Hui kedatangan saksi dari BPN Muarojambi yakni Muhammad Andri. Dirinya menyebut bahwa terdakwa Tek Hui memiliki tanah di Desa Lopak Alai, Kecamatan Kumpeh Ulu seluas 2.857 meter persegi.
“Dibeli milik Haireni pada tanggal 19 Juli 2024,” ujar Andri di persidangan.
Aset tanah tersebut menurut saksi lengkap dengan SHM. Dan telah dilakukan balik nama atas nama Dedi Susanto. Dia pun sudah punya sertifikat elektronik atas aset tanah yang didakwa sebagai hasil TPPU. Dia mengurus aset tanah tersebut dengan menggunakan surat kuasa pada orang lain.
“Dia (Tek Hui) beli Rp 200 juta,” katanya.
Penuntut umum kembali mencecar soal kepemilikan tanah atas nama Haireni sebelum dijual pada Tek Hui. Soal ini, Andri bilang, Haireni sebelumnya membeli tanah tersebut dari orang lain pada rentang 2017.
“Kalau pemilik sebelumnya, tidak tahu,” katanya.
Adapun aset tanah dengan nomor SHM 00430 atas nama Dedi Susanto tersebut kini jadi salah satu bukti dalam perkara TPPU yang dilakukan oleh Tek Hui.
Reporter: Juan Ambarita