Connect with us

LINGKUNGAN

Kawasan Perumahan SAD Beralih Fungsi Menjadi Kebun Sawit

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Tebo – Beberapa tahun yang lalu, Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI) membangun 50 unit perumahan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Sayangnya, perumahan yang diperuntukkan bagi warga Suku Anak Dalam (SAD) ini telah beralih fungsi menjadi kebun sawit.

“Sudah jadi kebun sawit semua. Paling yang tersisa hanya 3 unit, itupun bukan warga SAD yang menempati,” kata salah seorang warga Tebo, Yudi pada Rabu, 1 September 2021.

Hal ini dibenarkan oleh Ketua Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK), Ahmad Firdaus. Dia menjelaskan, lokasi perumahan itu di Sungai Jelapang, Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo. Saat ini kata dia, di lokasi perumahan tersebut hanya berdiri tugu, papan informasi dan 3 unit perumahan KAT. “Selebihnya pohon sawit. Sepertinya baru ditanam,” kata Firdaus.

Dia mengaku jika dahulunya rumah itu dibangun untuk warga SAD kelompok Temenggung Apung, Temenggung Tupang Besak dan Temenggung Lidah Pembangun. Di area lokasi perumahan itu juga dibangun sekolah alam.

“Sudah lama mereka (SAD) tinggalkan. Dulu memang rumah itu sempat dihuni sama mereka,” ujar Firdaus.

Firdaus menjelaskan, alasan SAD meninggalkan perumahan tersebut karena wilayah tempat mereka mencari kehidupan sangat jauh, ditambah lagi mereka belum terbiasa hidup menetap dan tinggal di rumah.

“Jarak antar rumah sangat berdekatan. Konstruksi rumahnya juga tidak sesuai dengan kemauan mereka. Lokasinya juga di tengah-tengah perkebunan masyarakat dan perusahaan. Sehingga waktu itu sering terjadi konflik antara warga desa dengan SAD maupun konflik pihak perusahaan dengan SAD,” ujar dia.

Sekarang ini, lanjut Firdaus, warga SAD telah hidup menetap dan berkebun. Mereka tinggal di RT.32 Dusun Wonorejo, Desa Muara Kilis.

“Di sana mereka berkebun karet dan kelapa sawit. Alhamdulillah, ekonomi mereka mulai terbangun. Dari hasil kebun, mereka juga bisa membangun rumah, menyekolahkan anak dan menabung,” kata dia.

Meski demikian, Firdaus berharap lokasi perumahan tersebut bisa diamankan. Apalagi kata dia, informasinya lokasi tersebut sudah diterbitkan sertifikatnya oleh pihak BPN Tebo.

“Saya tidak tahu siapa yang menanam sawit di sana, Yang jelas lokasi itu sudah masuk dalam aset. Jangan sampai dibiarkan saja. Nanti khawatirnya bakal menjadi konflik,” ucapnya.

Reporter: Syahrial

LINGKUNGAN

Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.

Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.

Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.

Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.

Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.

“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.

Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Perkumpulan Hijau Bakal Laporkan Tambang Batu Bara PT GAL di Tebo Atas Pencemaran Lingkungan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Setelah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan Polda Jambi, Perkumpulan Hijau (PH) kembali menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif batu bara yaitu PT Globalindo Alam Lestari (GAL).

Perusahaan tambang batu bara yang berada di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo tersebut menjadi ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari permukiman warga.

Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.

“Risiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujar Feri dalam pernyataannya.

Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo Suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam. Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.

“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” katanya.

Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.

Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT Globalindo Alam Lestari (GAL) dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.

Hasil investigasi Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yang sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke Sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru.

Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.

Feri menambahkan, dalam izin PT GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.

“Berdasarkan analisis Tim GIS ‘Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak direklamasi oleh PT Globalindo Alam Lestari (GAL) ialah luas lobang tambang 7,64 hektare dan luas lahan yang terbuka 10,97 hektare.

Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu. Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya inspektorat tambang, menteri lingkungan hidup untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka.

“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.

Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.

Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan di lokasi PT GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.

“Kami akan laporkan PT GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” katanya. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Walhi Bentang Spanduk di Seminar Pemkot Jambi: JBC, Jamtos, dan Roma Estate Dinilai Jadi Penyebab Banjir

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi mendesak pemerintah daerah segera menghentikan proyek-proyek pembangunan yang dinilai memperparah kerusakan lingkungan dan menyebabkan banjir di Kota Jambi. Tuntutan itu disampaikan dalam aksi protes saat forum Seminar Sehari “Pemkot Jambi Mendengar” di Rumah Dinas Wali Kota Jambi pada Rabu, 14 Mei 2025.

Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyebut tiga proyek utama yang menjadi penyebab terganggunya fungsi ekologis di kota ini, yakni Jambi Business Center (JBC), Jamtos, dan Perumahan Roma Estate. Ketiga proyek tersebut, kata Oscar, telah mengubah kawasan sepadan sungai menjadi beton dan menutup daerah tangkapan air.

“JBC dibangun di kawasan rawan banjir dan justru memperparah dampak lingkungan. Alih-alih memperhatikan daya dukung wilayah, pengembang malah merusaknya,” kata Oscar.

Menurut Walhi, banjir yang melanda kawasan Simpang Mayang dan sekitarnya pada April lalu merupakan dampak langsung dari buruknya tata ruang dan pembangunan tanpa pertimbangan lingkungan. Area JBC dan Jamtos disebut berada di dataran rendah atau cekungan, yang secara alami berfungsi sebagai tempat penampungan air dari drainase sekitar.

Pembangunan di kawasan tersebut dinilai bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air serta Perda Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2024–2044, yang menetapkan kawasan JBC sebagai wilayah rawan bencana banjir.

“Kami tidak menolak pembangunan, tetapi menolak pembangunan yang menyengsarakan warga demi keuntungan pengusaha,” ujarnya.

Dalam aksinya, Walhi Jambi menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah;

  1.  Tinjau ulang kerja sama antara Pemprov Jambi dan pengelola JBC.
  2. Kembalikan fungsi ekologis kawasan JBC, Jamtos, dan Roma Estate.
  3. Putus kerja sama jika ditemukan pelanggaran lingkungan.
  4.  Cabut izin proyek yang terbukti merusak lingkungan.
  5. Hentikan seluruh pembangunan yang tak sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Aksi ini bertepatan dilakukan dalam seminar bertema “Model Kolaborasi Penanganan Banjir” yang diselenggarakan Sahabat Alam Jambi dan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads