Connect with us
Advertisement

LINGKUNGAN

Diundang Kementerian LHK Terkait Penyelesaian Konflik dengan PT LAJ, Temenggung Buyung Malah Makin Bingung

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Keinginan kelompok Suku Anak Dalam (SAD) di Sungai Mandelang, Desa Muara Sekalo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo pimpinan Temenggung Buyung sangat sederhana. Mereka hanya ingin hidup nyaman dan tenang di atas tanah mereka sendiri. Mereka tak ingin terusik lagi oleh pihak mana pun.

Konflik antara SAD dengan PT Lestari Asri Jaya (LAJ) – anak perusahaan PT Royal Lestari Utama (RLU) yang merupakan joint venture antara Barito Pacific Group (Indonesia) dan Michelin Group (Prancis), salah satu produsen ban terbesar di dunia – yang kian berlarut pun membuat kelompok SAD terbuka untuk penyelesaian konflik. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada kejelasan atas hak wilayah mereka.

Pada tahun 2016 lalu, Kelompok Tani Bersatu Mandelang telah melaporkan dugaan penyerobotan lahan petani oleh PT LAJ secara tertulis kepada Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Selain itu, disebutkan juga lahan SAD juga ikut diserobot.

Harapan Tumenggung Buyung menyeruak lagi ketika ia menerima undangan. Ia pikir, akan ada upaya penyelesaian konflik antara pihaknya dengan PT LAJ yang kian berlarut-larut.

“Kami terimo undangan. Katonyo dari Kementerian, makonyo kami hadir. Tapi kami dibawa ke Jambi. Kami bingung, kami dak tahu ikut acara apo dan ngapoin, dak dikasih tahu,” ujar Temenggung Buyung pada Minggu, 24 Oktober 2021.

Kebingungan Temenggung Buyung bukan tanpa alasan, ia yang tak bisa baca tulis butuh pendampingan untuk bisa paham. Ia hadir dalam acara bertajuk “Fasilitasi Resolusi Konflik Berbasis Pelatihan Tahap II” yang dihadiri pula oleh pihak PT LAJ, KKI Warsi, Koperasi Masyarakat Tujuh Koto (Komasko), KPHP Tebo Barat, Temenggung Buyung dan Perwakilan Temenggung Hasan di Hotel Aston pada Minggu 24 Oktober 2021. Kegiatan ini berlangsung hingga 27 Oktober 2021.

Di tengah kebingungan, Temenggung Buyung sempat menghubungi Ketua Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK), Ahmad Firdaus untuk meminta pendampingan dalam acara tersebut. Pihak ORIK kemudian mengutus Syahrial untuk mendampingi Temenggung Buyung.

Syahrial pun langsung berupaya menjumpai Temenggung Buyung di Hotel Aston untuk mengikuti acara tersebut. Namun, menurut pria yang akrab disapa Iyal ini, ia merasa acara tersebut tak menunjukkan upaya penyelesaian konflik secara konkret. Saat itu sedang berlangsung seminar pemaparan dari salah seorang pemateri, yang dianggap Iyal bahwa materi tersebut tentunya sulit dipahami oleh Suku Anak Dalam.

“Mereka hanya butuh kejelasan atas hak lahan mereka. Di pemaparan tersebut rasanya SAD sulit memahami apa maksud dan tujuannya. Itu terlalu tinggi untuk SAD,” ujarnya.

Dijelaskannya, dalam acara tersebut dipaparkan soal bumi dan antariksa. Bahwa bumi itu sangat kecil dan seperti debu. Maka, tak layak rasanya untuk hidup di bumi yang kecil jika terus berkonflik. “Tidak ada yang ingin berkonflik. Suku Anak Dalam hanya ingin hidup tenang dan tidak lagi terusik,” kata Iyal.

Temenggung Buyung pun sempat bercerita bahwa dahulu sebelum lahan Suku Anak Dalam digusur dan diserobot mereka sempat mengikuti keinginan pihak PT LAJ. “Dulu kami dak boleh tanam sawit, tapi kalau tanam karet boleh. Kami belilah bibit pokok karet, kami tanam. Sudah kami tanam dan hampir biso disadap, lahan tu digusur. 6 hektare lahan kami tu digusur, kami ko sudah ikut maunyo, tapi malah digusur,” ujar Temenggung.

Syahrial sendiri tak ingin Suku Anak Dalam dijebak dalam kesepakatan tertulis yang tidak dipahami mereka, sebab mereka tidak paham baca tulis. Penyelesaian konflik harus jelas dan konkret, sehingga Suku Anak Dalam tak dirugikan. Mereka sepatutnya menerima penjelasan lengkap soal kegiatan yang mereka ikuti.

Sementara itu, perwakilan PT LAJ melalui Arifadi mengonfirmasi kehadirannya saat dihubungi Senin, 25 Oktober 2021. “Betul, kami mendapatkan dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera. Dalam undangan hadir juga KPHP Tebo Barat dan KKI Warsi,” ujarnya.

LINGKUNGAN

Sarat Masalah Pengelolaan Ekosistem Gambut

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah persoalan dalam kebijakan dan implementasi pengelolaan ekosistem gambut di Provinsi Jambi kembali mengemuka. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Rudi Syaff, mengungkap eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem gambut berdampak sangat signifikan tergadap perubahan iklim.

Secara sederhana dia menguraikan bahwa kenaikan suhu global berbanding lurus dengan kenaikan permukaan air laut. Gambut di daerah sekitar pesisir pun lebih cepat kering, dan ketika terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Sementara 2023 lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menahan tingkat emisi diangka 29% secara mandiri.

“Kalau kita mau mempertahankan emisinya. Artinya mempertahankan hutannya dan mempertahankan muka air. Supaya gambut tidak kering dan emisi lepas. Bagaimama mempertahankan gambut, itu yang sangat penting,” kata Rudi Syaf, dalam dialog media Integrated Management of Peatland Lanscape in Indonesia (IMPLI), Kamis 23 Oktober 2025.

50 Persen Gambut Sudah Disulap

KKI Warsi mencatat, terdapat setidaknya 617 ribu hektar Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Jambi. Namun 50% diantaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).

Padahal Undang Undang sudah melarang agar lahan gambut dengan kedalaman 3 Meter lebih tidak boleh dikelola untuk perkebunan alias berstatus hutan lindung gambut. Namun dilapangan, kriteria tersebut nyatanya dilabrak oleh pihak-pihak tak bertanggungjwab.

“Karna dia gambut dalam, Undang Undang bilang gambut diatas 3 meter itu (statusnya) lindung. Tapi prakteknya sudah berubah jadi kebun. Ada inkonsistensi kebijakan. Padahal berfungsi sangat penting bagi kehidupan,” ujarnya.

Padahal menurut Direktur KKI Warsi tersebut, lahan gambut Jambi dengan potensi kandungan karbon yang sangat tinggi sejatinya punya nilai ekonomi tinggi bagi Jambi maupun Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik sebagaimana skema perdagangan karbon.

Oleh karena itu, ia pun mendorong peran aktif negara hingga penguatan peran masyatakat dalam menjaga dan merestorasi kawasan gambut. Menjaga gambut, kata Rudi, itu menjaga kehidupan, kunci keberhasilan kolaborasi, kebijakan yang berpihak hingga ekonomi lestari.

Penanganan Karhutla Belum Berfokus Pencegahan

Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Dr. Helmi yang juga merupakan pakar hukum lingkungan mengungkap persoalan krusial dalam paradigma penanggulangan karhutla yang belum sepenuhnya berfokus pada pencegahan. Prof Helmi, bahkan menilai terdapat politik anggaran yang ‘represif’ dalam hal karhutla.

“Ketika suatu kawasan ditetapkan masuk bencana, baru anggaran penanggulangan dicairkan. Karna (menggunakan) paradigma api dan asap, maka anggaran juga bukan angaran (untuk) mencegah atau mengatasi penyebab,” ujar Helmi.

Rektor Universitas Jambi tersebut berpandangan bahwa setidaknya terdapat beberapa penyebab yang sangat mendasar, mulai dari tata kelola lahan hingga sistem perizinan. Dia kembali mengungkit soal ketentuan perundang-undangan yang mengklasifikasikan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih tidak boleh diusahakan lantaran masuk kawasan lindung. Namun pada prakteknya rawan pelanggaran dan minim penertiban.

“Trus apa yang harus dilakukan? Bagaimana kemudian memantau ini secara berkepanjangan? Cabut izinnya jika terjadi karhutla,” katanya.

Berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, karhutla yang terjadi dalam areal konsesi atau HTI suatu badan usaha, sangsinya jelas yakni berupa pencabutan izin usaha atau administratif.

Namun pada prakteknya, kasus-kasus karhutla masih bergulir panjang pada proses pembuktian di persidangan. Padahal UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menegaskan soal Strict Liability (Tanggungjawab Mutlak).

Dimana pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan atau pihak pemegang izin usaha dapat dimintai tanggung jawab hukum atas terjadinya kebakaran di arealnya, tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian.

“Jadi tidak pas menurut saya, tanggungjawab mutlak itu jelas sangsinya administratif, langsung saja dicabut izinnya,” katanya.

Ditengah tantangan pemulihan, konsistensi kebijakan, tekanan konversi, dan minimnya insentif. Restorasi gambut lewat pengelolaan berkelanjutan FOLU Net Sink atau pemanfaatan hutan dan lahan dengan netral dinilai menjadi kunci. Hal itu demi menjaga kelestarian ekosistem gambut, hingga menekan laju naiknya suhu dan muka air laut.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Pertemuan Mendadak DPRD, PT SAS dan Sejumlah Warga Picu Kontroversi

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Pertemuan mendadak antara DPRD Provinsi Jambi, PT SAS, dan sejumlah warga Aur Kenali serta Mendalo Darat pada Kamis kenarin, 2 Oktober 2025 menuai sorotan tajam. Warga menilai agenda tersebut melanggar kesepakatan sebelumnya dengan Gubernur Jambi.

Ketua DPRD Provinsi Jambi Hafiz Fattah, Wakil Ketua I Ivan Wirata, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta sejumlah warga hadir dalam forum yang disebut sebagai mediasi. Namun, masyarakat mengaku baru menerima pemberitahuan dua jam sebelum pelaksanaan tanpa adanya surat undangan resmi.

Dalam rekaman video yang beredar, warga menolak berdialog. Mereka menyatakan pertemuan itu tidak sesuai jalur komunikasi yang telah ditetapkan bersama gubernur.

“Kami hadir hanya untuk memastikan tidak ada dialog. Yang harus ditindaklanjuti sekarang adalah adu data PT SAS mengenai rencana aktivitas mereka di lokasi stockpile,” kata perwakilan warga, Dlomiri.

Masyarakat menegaskan bahwa dialog resmi sudah pernah difasilitasi gubernur, sehingga tidak perlu ada pertemuan serupa. Mereka menuntut DPRD menyatakan sikap tegas menolak keberadaan stockpile PT SAS, bukan justru memfasilitasi dialog baru.

Selain itu, warga juga mempertanyakan kehadiran salah satu petinggi organisasi masyarakat dan perwakilan media tertentu dalam forum tersebut. Mereka menduga ada kepentingan lain di balik keterlibatan pihak yang dinilai tidak relevan.

“Yang kami butuhkan dari DPR bukan memediasi pertemuan, tapi berdiri bersama rakyat dengan jelas menolak stockpile PT SAS,” ujarnya.

Rencana pembangunan stokpile PT SAS di kawasan tersebut ditolak warga karena dinilai berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan mengganggu kehidupan masyarakat sekitar.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Makatara Ungkap Dugaan Pelanggaran Tata Ruang di Rencana Terminal Batu Bara PT SAS

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Perkumpulan Makatara (Masyarakat Anti Kerusakan Lingkungan dan Tata Ruang) membeberkan temuan dugaan pelanggaran pemanfaatan lahan pada rencana pembangunan terminal batu bara atau Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) milik PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.

Dalam rilis resmi yang diterima Sabtu 20 September 2025, Makatara menyebut hasil pengamatan citra satelit resolusi tinggi periode 2018-2025 menunjukkan perubahan tutupan lahan seluas 47,6 hektare. Area yang sebelumnya berupa lahan pertanian dan hamparan hijau kini menjadi lahan terbuka. Temuan itu diperkuat dengan pengecekan lapangan.

“Penggunaan lahan di lokasi beririsan dengan kawasan perumahan 56 persen, kawasan lindung 30 persen, tanaman pangan 9 persen, serta perdagangan dan jasa 5 persen,” kata Sekretaris Umum Makatara, Willy Marlupi.

Pemetaan tersebut mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi Nomor 5/2024, data Kementerian ATR/BPN, peta rupa bumi BIG, serta verifikasi lapangan. Makatara juga menemukan lahan rencana terminal batubara berada dekat aliran sungai, intake PDAM Aur Duri, jalan lintas Sumatra, perkantoran, dan permukiman.

Sejumlah titik lahan disebut terindikasi sengketa, terlihat dari pemasangan plang dan panel beton. Warga sekitar telah menyampaikan surat penolakan, sementara Pemkot Jambi disebut telah menyurati Gubernur Jambi agar rencana penggunaan lahan ditinjau ulang.

Temuan lain menunjukkan sebagian lahan masuk dalam Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) Kota Jambi yang ditetapkan Perda No.5/2024 seluas 459 hektare. Berdasarkan UU No.41/2009, lahan KP2B dilarang dialihfungsikan kecuali untuk kepentingan umum.

“Jika terjadi alih fungsi, segala perizinannya batal demi hukum,” ujarnya.

Makatara menilai kegiatan terminal batubara tidak termasuk dalam peruntukan tata ruang yang diatur, mulai dari kawasan lindung, perumahan, tanaman pangan, hingga perdagangan dan jasa. Laporan resmi sudah disampaikan ke Wali Kota Jambi, Dinas Lingkungan Hidup, dan Kantor BPN sejak 12 September, namun hingga kini belum mendapat jawaban.

“Penolakan ini bukan sekadar aspirasi masyarakat, tetapi upaya menegakkan aturan tata ruang dan perlindungan lingkungan,” katanya.

Makatara mendesak pemerintah kota dan provinsi menindaklanjuti temuan tersebut sesuai ketentuan peraturan, termasuk Perda RTRW Kota Jambi No.5/2024, PP No.21/2021 tentang Penataan Ruang, UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No.32/2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup dan UU Cipta Kerja No.6/2023. (*)

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs