LINGKUNGAN
Ismet Raja Tengah Malam, Seniman Sekaligus Aktivis Jambi

Dari seni hingga aksi, Ismet tak ingin rakyat ditelanjangi di kampung halaman sendiri. Melalui musik ia sampaikan kritik, dengan aksi kamisan pun ia menyiratkan pesan. Hingga Ismet pun sempat dituding Provokator.
ISMET berang. Acara nonton bareng film “Bara Dwipa” karya Watchdoc di Sarolangun mendadak dibatalkan. Panitia penyelenggara melaporkan kepadanya bahwa acaranya tidak jadi sebab tidak ada yang datang.
Orang-orang ketakutan. Salah satu pemilik tambang batu bara di Sarolangun yang merupakan salah satu pejabat tinggi pemerintahan di Sarolangun disebut-sebut jadi dalangnya.
“Kalau seperti itu lama-lama mereka akan ditelanjangi di kampung halaman sendiri. Mengapa sudah menghirup udara kotor malah diam tak mau melawan, sama saja hanya menjadi penonton atas perusakan lingkungan yang terus-terus berlangsung dan mengaminkan hal tersebut,” tutur Ismet dengan nada sedikit meninggi, kepada detail pada Sabtu 20 November 2021.
Ismet menyebut bahwa kontribusi batu bara sebenarnya minim. Menurutnya, dari sekian banyak perusahaan tambang yang berada di Provinsi Jambi sama sekali tidak berdampak banyak terhadap kesejahteraan masyarakat. “Karena uangnya enggak berputar di Jambi malah berputarnya di luar, yang menikmatinya pun hanya segelintir elite lokal yang tidak peduli terhadap persoalan yang timbul di masyarakat,” keluhnya.
Meski tak menampik bahwa batu bara berkontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun dampak lingkungan yang disebabkan oleh tambang batu bara merupakan hal serius. Dengan tegas ia katakan, seberapa penting hal itu jika dibandingkan dengan hak lingkungan yang sehat bagi masyarakat dalam jangka panjang?
“Jujur saya katakan saya tidak pro pada tambang batu bara, kalau kita bicara kesejahteraan. Buktinya apa? Kembalikanlah kepada fitrahnya Jambi, kepada pertanian, perkebunan. Karena ini (batu bara) merupakan kenikmatan sesaat, begitu ia sudah habis dikeruk dan lingkungan sudah terlanjur rusak parah warga Jambi juga yang merasakan berbagai macam dampak yang akan timbul,” ujar Ismet.
Anak Petani di Desa yang Belum Teraliri Listrik
Ismet menghabiskan masa kecilnya di Desa Sekaladi, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Kala di desanya belum tersentuh listrik, Ismet kecil masih asyik bermain di hutan, membantu orang tuanya yang berprofesi sebagai petani.
Bakat Ismet kecil perlahan mulai terlihat. Awalnya ia menyukai musik daerah. Musik dengan genre melayu serta dangdut. Jika ada acara pesta di kampung halamannya, ia kerap mengajukan diri untuk tampil menyanyikan lagu dangdut.
“Tahun 2002 aku sudah mengenal musik punk, semenjak pindah ke Jambi baru menekuni aliran punk,” kata pria dengan nama panggung, Ismet Raja Tengah Malam pada Sabtu, 20 November 2021.
Dari aliran musik dangdut, melayu kemudian Ismet yang merantau ke Jambi pada tahun 2002 ini mulai mengenal musik beraliran punk. Ia pun mulai tampil sebagai sosok anak punk, rambut mohawk, dengan anting besar menghiasi penampilannya. Kecintaannya pada musik punk membulatkan tekad untuk menjelajahi nusantara, berkelana sambil manggung di berbagai tempat di kota-kota di Indonesia.
“Waktu itu (2002) sudah banyak aliran yang jumpa, tapi aku masih sekadar suka aja, saat pindah ke Jambi aku kenal music punk, aku nyetreet keliling Sumatra modal numpang, paling jauh itu udah pernah nyetreet sampai ke Lombok,” ujar pria kelahiran 39 tahun silam ini.
Band Rancid menjadi salah satu musik punk yang sering didengar oleh Ismet, kemudian band-band lokal seperti Marginal, Superman Is Dead, dan berbagai band lain. Pengalaman hidup Ismet memunculkan niatannya untuk mencoba mendirikan suatu band Punk bernama “Blog Head” di masa kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Negeri Jambi.
“Tahun 2004 aku coba buat band punk bernama “Blog Head” artinya manusia bodoh. Karena manusia bodoh adalah manusia yang tidak bisa menggunakan pikiran mereka dengan positif, kenapa kamu dibodohi dengan pikiran kamu sendiri, sedangkan pikiran adalah untuk membuka wawasan kamu,” kata ayah dua anak ini.
Pria dengan nama asli Ismet Isnaini, yang menyandang nama Ismet Raja Tengah Malam ini menjelaskan bahwa kata Raja Tengah Malam yang ia pakai sebagai nama panggungnya merupakan terdiri dari berbagai paduan arti. Raja adalah kependekan dari rakyat jantan dan tengah malam merupakan waktu untuk ia menyendiri untuk menenangkan pikiran, menurutnya tengah malam adalah waktu yang tepat untuk merenung dan bahkan dengan pohon ia pernah berbicara.
Bagi Ismet, bernyanyi dan bermain musik adalah berdoa dua kali, kita memberi semangat dan harapan untuk para petani untuk tetap semangat dalam perjuangannya. Karena kita hidup untuk berjuang, dan berproses kemudian berjuang lagi.
Sebagai sosok seniman yang selalu vokal menyuarakan kritiknya lewat alunan lagu-lagunya, perbincangan dengan Ismet sangat banyak mengkritisi kondisi Jambi hari ini dan juga kondisi negeri ini, suatu kegundahan mungkin melihat kebobrokan dan kebobrokan terus-menerus dipraktikkan oleh para pemimpin di sana.
Baginya, hidup itu harus berani. Berangkat dari fakta itu, ia menuangkannya ke dalam lirik lagu. “Hidup bukan sebatas hidup, hidup itu berjuang berproses, aku dak mau diam, teman jangan diam, jangan jadi pendiam, jangan jadi generasi pendiam, jangan jadi pecundang, anjing!”
“Kita lihat keadaan di negeri kita sendiri, kita lihat Jambi, begitu bodoh kamu menghancurkan diri sendiri, kok ada gitu orang yang mencuri uang negara sendiri, itu kan namanya manusia yang goblog. Itu merupakan asal usul penamaan band kita dulu (blog head),” ujar Ismet.
Kecintaannya pada musik punk pun ia aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya saat pentas atau manggung. Di kampus pun ketika sedang kuliah ia tetap menerapkan prinsip-prinsip punk. Namun, berbicara punk tentu tak lepas dari citra negatif yang merupakan pandangan bagi sebagian masyarakat. Menanggapi hal tersebut Ismet berpendapat bahwa citra negatif di kalangan masyarakat tersebut merupakan ulah dari oknum yang gagal dalam mengartikan punk yang sebenarnya, sehingga mengarah kepada kebebasan yang tak mengakui aturan, menjadi kriminal.
“Untuk menangkis citra tersebut, arti lantunan lagu punk perlu dimengerti. Jadi kita jangan hanya menilai dari passion punk lagi, tapi pemikirannya gitu,” kata Ismet.
Sebelum kuliah dirinya yang sudah menekuni dunia punk merasa bahwa pemikiran dan pengetahuannya dari segi keilmuan perlu diperluas, dan benar saja sewaktu menempuh Pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Jambi ia menemukan hikmah bahwa tujuan kuliah bukan hanya untuk memperoleh ijazah namun lebih dari itu adalah untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh dan bisa bermanfaat bagi masyarakat secara umum.
“Jadi kuliah bukan berbicara sebagai proses sebelum berkarier di dunia pekerjaan lagi atau berbicara ijazah lagi tapi mempertanggungjawabkan ilmu yang diperolehnya untuk diterapkan di dunia setelah selesai kuliah, itu yang harus ditekankan,” kata Ismet.
Hijau Biru, Cerita Tentang Hak Petani, Buruh, dan Lingkungan
Album pertama Ismet diberi nama Hijau dan Biru. Sebuah album yang menceritakan tentang hak petani, buruh, dan lingkungan. Belakangan Ismet tengah sibuk untuk menyelesaikan album keduanya yang akan ia beri nama “Rimba Terakhir”.
“Kita kembali ke sejarah bahwa negara kita, Jambi ini adalah negeri agraris. Kita tidak terlahir dari tambang, kita terlahir dari orang tua kita petani dan nelayan. Ini yang menghidupkan kita,” kata Ismet.
Dirinya pun menceritakan sebuah lagu yang baru saja selesai ia ciptakan. Sebuah lagu yang menceritakan tentang kisah masa lalu dan pergolakan yang dihadapi oleh para petani saat ini.
“Ada lirik lagu yang baru selesai aku buat. Aku dilahirkan oleh Tuhan di rahim perempuan yaitu ibuku, aku dibesarkan dan tumbuh bersama seorang lelaki itu ialah ayahku. Bapakku petani, ibuku petani, nenekku petani, kakekku petani, sampai leluhurku adalah petani. Aku hidup dan mati dari tanah ini, dari itu aku menghargai petani karena hari ini petanilah yang menjadi salah satu penyokong kehidupan bangsa ini, setelah semua itu kenapa kita harus munafik? Kenapa kita mengkhianati petani?” kata Ismet kesal.
Ketika disinggung terkait persoalan “Food Estate” yang sedang ramai jadi topik perbincangan. Menurutnya petani akan dijadikan komoditi, akan dijadikan sebagai bisnis oleh orang-orang yang mendapatkan keuntungan. Apakah akan berdampak positif terhadap petani? Tidak. Petani dijadikan kambing hitam, pemerintah hari ini melihat bahwa petani adalah sebuah Komoditi yang pasar. Akhirnya timbul “Food Estate” padahal kalau kita lihat ke belakang, Suharto pernah gagal, itu cukup menjadi bukti bahwa “Food Estate” tidak cocok dengan Indonesia yang di mana adalah negara agraris, negara yang masyarakatnya mayoritas berprofesi sebagai petani.
“Ada hak-hak petani yang dirampas oleh korporasi, tanah-tanah mereka dirampas oleh pihak perusahaan. Namun sebelum korporasi beraksi, tentu ada izin atas lokasinya. Nah yang memberi izin kepada perusahaan kan pemerintah, hari ini berapa banyak kondisi di mana tanah masyarakat dirampas? Berarti pemerintah memberi izin untuk korporasi merampas tanah-tanah masyarakat,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu bertempat di Gedung DPRD Kabupaten Sarolangun, di depan para wakil rakyat serta para pejabat pemerintahan ia dengan lantang menyanyikan lagu Tolak Peti, Hanya Air Mata, dan Sarolangun Betuah. Ismet mengatakan bahwa lagu-lagu itu sengaja dibawakan untuk mengingatkan para wakil rakyat agar bekerja untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Karena menurutnya, para wakil rakyat seharusnya memperjuangkan aspirasi rakyat, namun dalam kenyataannya malah terbalik wakil rakyat berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan.
Sungai Batanghari Kian Tercemari
Setelah petani dan tambang batu bara kini giliran Sungai Batanghari yang menjadi bahan perbincangan. Kondisi sungai Batanghari yang makin hari makin memprihatinkan tak bisa dipungkiri harus segera mendapat perhatian dan pembenahan dari pemerintah.
“Kembali pada sejarah, Sungai Batanghari adalah urat nadi peradaban. Kalau kita bicara urat nadi begitu dekat dengan jiwa kita, berapa kehidupan yang menggunakan kehidupan tersebut. Hari ini sungai Batanghari sedang mengalir dari kejayaan menuju kerusakan. Apabila kita anak muda, masyarakat, semuanya abai. Sungai Batanghari bisa tinggal sejarah, tinggal sebuah lagu, cuman sebatas cerita nanti untuk anak cucu kita. Apakah kita mau hal itu terjadi?” katanya.
Makanya, lanjut Ismet, nanti 25 November kita berencana untuk mengadakan aksi, itu bertepatan juga dengan hari pohon. Kita akan adakan aksi bersama teman-teman NGO, bersama teman-teman mahasiswa. Suara dari hilir memperingati hari pohon kemudian 100 hari Wo Haris menjabat Gubernur Jambi untuk mendorong pemerintah dan seluruh elemen. Ayo bersama-sama kita kembalikan sungai Batanghari bersih seperti sediakala.
Menurutnya, ini merupakan tanggung jawab bersama, pemerintah punya kebijakan, rakyat punya hak. Ayo kita satu padukan. Ayo kita cari solusi. Bicara hari ini bicara ekonomi bicara perut tapi negara, pemerintah tidak bertanggungjawab terhadap perut rakyat, siapa yang salah? Jelas-jelas pemerintah yang salah, kenapa karena pemerintah tidak mampu memberikan kehidupan yang layak terhadap rakyatnya. Bicara air bersih, itu sudah melanggar hak terhadap lingkungan yang sehat. Kita akan gugat pemerintah karena tidak mampu memenuhi hak masyarakat untuk beroleh air bersih, lingkungan yang bersih terhadap rakyat Jambi.
Ketika ditanya pandangan politiknya terhadap pemimpin Provinsi Jambi hari ini ia mengatakan bahwa hari-hari ini Jambi semakin bobrok secara politik, orang Jambi sudah kehilangan jati dirinya. Dalam segi politik idealnya partai adalah perahu bukan menjadi motor untuk mengintimidasi pemimpin, pemimpin bukan alat. Hari ini, baik pemerintah maupun partai politik sama-sama tidak memberikan sebuah solusi konkret terhadap permasalahan yang terjadi, yang ada hanya orientasi pada kekuasaan.
Melihat berbagai persoalan Jambi hari ini, ada pilihan untuk memperbaharui dari dalam dan luar. Namun saat dihadapkan kepada pilihan tersebut, Ismet menjawab untuk tetap memperbaharui dari luar. Ketika ada kesempatan untuk terjun ke dalam politik, ia mengatakan bahwa esensi dari kekuasaan adalah menindas. Tapi kalau melihat kondisi sekarang, Kalau bicara untuk kesejahteraan kemanusiaan kita suatu saat harus terjun ke dalam sistem.
Karena kalau kita tidak terjun ke dalam politik, orang yang tidak baik akan mengisi posisi tersebut dan melancarkan dengan leluasa niatan dan hasratnya. Tapi hari ini kita lihat orang-orang dalam sistem berarti orang-orang di dalam itu semua orang jahat, karena dalam berbagai pembicaraan yang kita temui ya tidak jauh-jauh dari proyek, investasi. Tidak ada perbincangan ke arah kesejahteraan rakyat.
“Bicara hari ini politik sudah banyak yang mengajak saya untuk bergabung tapi saya selalu tolak, apa penting? Ya aku masih nyaman dengan perlawanan-perlawanan yang terus aku lontarkan gitu, karena politik adalah jebakan sebenarnya. Tidak sedikit yang terjebak itu teman-teman kita itu yang di gedung-gedung sana, kita coba kritis menyarankan suatu isu, dia tidak ada. kita ajak diskusi di warung kopi juga tidak ada. mungkin sudah terlalu nyaman dengan AC kantorlah,” ujar Ismet.
Terkait aksi Kamisan yang telah cukup lama berlangsung di Jambi, ia mengatakan bahwa Kamisan bicara tentang semangat untuk memperoleh keadilan bagi warga Jambi, hak atas lingkungan yang sehat. Karena sudah tidak sedikit yang menjadi Korban.
Melalui aksi Kamisan yang setiap hari kamis ia gelar di Simpang 4 BI Telanaipura, ia ingin menyadarkan orang-orang bahwa ada banyak persoalan yang mendera Jambi. Ia ingin agar persoalan itu dituntaskan oleh pemerintah. Masyarakat Jambi sudah tidur dengan berbagai kenyamanan yang tersedia. Jambi masih dalam kondisi berkembang sekarang ini cuman dipaksakan seolah-olah sudah maju,” katanya.
“Saya pernah dituduh memprovokasi suatu pergerakan untuk menentang pemerintah, namun semua itu ia terima dan hadapi dengan kebenaran dan prinsip yang ia pegang teguh. Meski sakit dan pasti ada konsekuensinya ia mengatakan bahwa hidup harus berani,” ujarnya.
Menurut aktivis sekaligus seniman ini, sama seperti Munir, kebenaran memang bernyawa dan kita harus konsisten. Hal seperti somasi maupun ancaman terhadap berbagai aksi dan kritik lantamnya ia anggap sebagai trigger untuk memantapkan diri.
“Mau berhenti atau maju, aku memilih untuk tetap maju dengan kebenaran dan prinsip yang aku pegang. Apa yang kulihat dengan mataku, apa yang kurasakan dengan hatiku akan kujalani dan kuperjuangkan. karena hidup bukan sebatas hidup, hidup itu berjuang, berproses, berjuang dan berproses, sampai mati,” katanya.
Ismet Berbicara Generasi Milenial
Hidup itu harus berani ya, generasi muda anak-anak muda Jambi harus berani. Berani menyuarakan suatu hal yang tidak baik, berani menyuarakan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.
Kalau hari ini tidak diperjuangkan mungkin akan terasa pahit ke depannya. Hidup itu jangan jadi pecundang, tak bisa kamu turun ke jalan kamu berdoa kepada tuhan, jangan jadi generasi masa bodo yang apatis, pasrah pesimis, bunuh diri di Sungai Batanghari. Hidup kok sebatas itu?
Ia juga mengatakan bulan 2 tahun depan “Insya Allah bulan 2 kita ada acara bersama seniman Jerman untuk mengenal musik alam bersama beberapa seniman dari berbagai daerah di Indonesia, nanti kalau selesai, Insya Allah akan ditampilkan di Jerman, nah itu orang Jerman saja sampai mengapresiasi musik kita kenapa kita tidak? Orang luar jauh-jauh ke negeri kita untuk mengetahui itu, miris kan.
Kepada generasi muda ia berpesan, untuk kawan-kawan generasi muda khususnya mahasiswa ayo kita pekalah, ubah mindset–lah terhadap kondisi daerah kita provinsi Jambi ini, seberapa penting sih air itu, seberapa penting sih tambang-tambang itu, seberapa penting itu semua dibanding dengan lingkungan yang sehat bagi kita.
Bicara politik, menurut Ismet kita harus paham politik, kita bukan orang munafik kita juga harus ikut berpartisipasi dalam mengawal perjalanan politik karena apa-apa hari ini dipolitisasi. Apabila kebijakan politik itu tidak dilawan maka politik itu akan menindas kita. Untuk teman-teman ayo kita terus berjuang, jangan jadi generasi pendiam, jangan jadi generasi pecundang, ayo rebut berproses, berjuang setelah itu teman-teman silakan mati. Dalam artian bukan masuk kubur, nikmati dan wariskan hasil perjuangan itu kepada generasi selanjutnya.
Untuk para penguasa ia berpesan, “Teruntuk penguasa, eh loe itu digaji rakyat loe yah, loe adalah pelayan rakyat, loe itu adalah watchdog, loe adalah anjingnya rakyat, tapi kenapa loe malah ngegonggong sama rakyat, harusnya loe sadar, loe harus amanah, loe ingat mati, kematian itu pasti, kematian itu lebih dekat dari segalanya, jadi berubah dan bertobatlah.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
PLTU Milik PT Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai Ale, Sudah Dilaporkan Namun Belum Ada Perubahan

DETAIL.ID, Sarolangun – PLTU milik PT Permata Prima Elektrindo (PPE) yang berlokasi di Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, diduga telah mencemari ekosistem Sungai Ale melalui pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). Hal ini terungkap dari hasil investigasi Lembaga Tiga Beradik (LTB) pada Selasa, 3 Juni 2025.
Tim LTB menemukan bahwa limbah FABA diangkut menggunakan kendaraan roda empat dan dibuang ke lahan terbuka seluas sekitar 1,3 hektare hanya berjarak 40 meter dari anak Sungai Ale. Lokasi pembuangan tersebut merupakan area rawa yang rawan banjir dan seharusnya menjadi daerah resapan air tanah.
“Kegiatan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun, khususnya Pasal 25 ayat 4 huruf b serta Pasal 28 ayat 1 huruf b dan e,” ujar Manager Advokasi LTB, Deri lewat keterangan tertulisnya.
Dampak dari aktivitas ini dirasakan langsung oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Sungai Ale. Air sungai kini tercemar lumpur hitam limbah FABA, yang jika digunakan bisa membahayakan kesehatan.
Deri menegaskan bahwa jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penindakan dari pihak berwenang, pencemaran bisa meluas hingga Sungai Tembesi yang menjadi hilir dari Sungai Ale.
“Pada Mei 2024 lalu, luapan Sungai Tembesi mencapai lokasi pembuangan limbah FABA dan membawa lumpur hitam yang menyebabkan kerusakan ekosistem di Sungai Ale,” katanya.
Menurut Deri, laporan sudah disampaikan kepada perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun pada kegiatan Sedekah Bumi tahun 2024 di RT 06, pintu masuk menuju lokasi PLTU. Namun hingga kini belum ada respons atau tindakan konkret.
“Kami menilai bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun lalai dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap aktivitas PLTU Semaran milik PT Permata Prima Elektrindo. Oleh karena itu, kami menuntut agar perusahaan diberi sanksi tegas oleh pihak terkait,” katanya. (*)
LINGKUNGAN
Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.
Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.
Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.
Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.
Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.
“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.
Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)
LINGKUNGAN
Perkumpulan Hijau Bakal Laporkan Tambang Batu Bara PT GAL di Tebo Atas Pencemaran Lingkungan

DETAIL.ID, Jambi – Setelah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan Polda Jambi, Perkumpulan Hijau (PH) kembali menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif batu bara yaitu PT Globalindo Alam Lestari (GAL).
Perusahaan tambang batu bara yang berada di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo tersebut menjadi ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari permukiman warga.
Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
“Risiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujar Feri dalam pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo Suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam. Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.
“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” katanya.
Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.
Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT Globalindo Alam Lestari (GAL) dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.
Hasil investigasi Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yang sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke Sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru.
Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.
Feri menambahkan, dalam izin PT GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.
“Berdasarkan analisis Tim GIS ‘Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak direklamasi oleh PT Globalindo Alam Lestari (GAL) ialah luas lobang tambang 7,64 hektare dan luas lahan yang terbuka 10,97 hektare.
Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu. Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya inspektorat tambang, menteri lingkungan hidup untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka.
“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.
Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.
Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan di lokasi PT GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.
“Kami akan laporkan PT GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” katanya. (*)