LINGKUNGAN
Ismet Raja Tengah Malam, Seniman Sekaligus Aktivis Jambi
Dari seni hingga aksi, Ismet tak ingin rakyat ditelanjangi di kampung halaman sendiri. Melalui musik ia sampaikan kritik, dengan aksi kamisan pun ia menyiratkan pesan. Hingga Ismet pun sempat dituding Provokator.
ISMET berang. Acara nonton bareng film “Bara Dwipa” karya Watchdoc di Sarolangun mendadak dibatalkan. Panitia penyelenggara melaporkan kepadanya bahwa acaranya tidak jadi sebab tidak ada yang datang.
Orang-orang ketakutan. Salah satu pemilik tambang batu bara di Sarolangun yang merupakan salah satu pejabat tinggi pemerintahan di Sarolangun disebut-sebut jadi dalangnya.
“Kalau seperti itu lama-lama mereka akan ditelanjangi di kampung halaman sendiri. Mengapa sudah menghirup udara kotor malah diam tak mau melawan, sama saja hanya menjadi penonton atas perusakan lingkungan yang terus-terus berlangsung dan mengaminkan hal tersebut,” tutur Ismet dengan nada sedikit meninggi, kepada detail pada Sabtu 20 November 2021.
Ismet menyebut bahwa kontribusi batu bara sebenarnya minim. Menurutnya, dari sekian banyak perusahaan tambang yang berada di Provinsi Jambi sama sekali tidak berdampak banyak terhadap kesejahteraan masyarakat. “Karena uangnya enggak berputar di Jambi malah berputarnya di luar, yang menikmatinya pun hanya segelintir elite lokal yang tidak peduli terhadap persoalan yang timbul di masyarakat,” keluhnya.
Meski tak menampik bahwa batu bara berkontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun dampak lingkungan yang disebabkan oleh tambang batu bara merupakan hal serius. Dengan tegas ia katakan, seberapa penting hal itu jika dibandingkan dengan hak lingkungan yang sehat bagi masyarakat dalam jangka panjang?
“Jujur saya katakan saya tidak pro pada tambang batu bara, kalau kita bicara kesejahteraan. Buktinya apa? Kembalikanlah kepada fitrahnya Jambi, kepada pertanian, perkebunan. Karena ini (batu bara) merupakan kenikmatan sesaat, begitu ia sudah habis dikeruk dan lingkungan sudah terlanjur rusak parah warga Jambi juga yang merasakan berbagai macam dampak yang akan timbul,” ujar Ismet.

Anak Petani di Desa yang Belum Teraliri Listrik
Ismet menghabiskan masa kecilnya di Desa Sekaladi, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Kala di desanya belum tersentuh listrik, Ismet kecil masih asyik bermain di hutan, membantu orang tuanya yang berprofesi sebagai petani.
Bakat Ismet kecil perlahan mulai terlihat. Awalnya ia menyukai musik daerah. Musik dengan genre melayu serta dangdut. Jika ada acara pesta di kampung halamannya, ia kerap mengajukan diri untuk tampil menyanyikan lagu dangdut.
“Tahun 2002 aku sudah mengenal musik punk, semenjak pindah ke Jambi baru menekuni aliran punk,” kata pria dengan nama panggung, Ismet Raja Tengah Malam pada Sabtu, 20 November 2021.
Dari aliran musik dangdut, melayu kemudian Ismet yang merantau ke Jambi pada tahun 2002 ini mulai mengenal musik beraliran punk. Ia pun mulai tampil sebagai sosok anak punk, rambut mohawk, dengan anting besar menghiasi penampilannya. Kecintaannya pada musik punk membulatkan tekad untuk menjelajahi nusantara, berkelana sambil manggung di berbagai tempat di kota-kota di Indonesia.
“Waktu itu (2002) sudah banyak aliran yang jumpa, tapi aku masih sekadar suka aja, saat pindah ke Jambi aku kenal music punk, aku nyetreet keliling Sumatra modal numpang, paling jauh itu udah pernah nyetreet sampai ke Lombok,” ujar pria kelahiran 39 tahun silam ini.
Band Rancid menjadi salah satu musik punk yang sering didengar oleh Ismet, kemudian band-band lokal seperti Marginal, Superman Is Dead, dan berbagai band lain. Pengalaman hidup Ismet memunculkan niatannya untuk mencoba mendirikan suatu band Punk bernama “Blog Head” di masa kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Negeri Jambi.
“Tahun 2004 aku coba buat band punk bernama “Blog Head” artinya manusia bodoh. Karena manusia bodoh adalah manusia yang tidak bisa menggunakan pikiran mereka dengan positif, kenapa kamu dibodohi dengan pikiran kamu sendiri, sedangkan pikiran adalah untuk membuka wawasan kamu,” kata ayah dua anak ini.
Pria dengan nama asli Ismet Isnaini, yang menyandang nama Ismet Raja Tengah Malam ini menjelaskan bahwa kata Raja Tengah Malam yang ia pakai sebagai nama panggungnya merupakan terdiri dari berbagai paduan arti. Raja adalah kependekan dari rakyat jantan dan tengah malam merupakan waktu untuk ia menyendiri untuk menenangkan pikiran, menurutnya tengah malam adalah waktu yang tepat untuk merenung dan bahkan dengan pohon ia pernah berbicara.
Bagi Ismet, bernyanyi dan bermain musik adalah berdoa dua kali, kita memberi semangat dan harapan untuk para petani untuk tetap semangat dalam perjuangannya. Karena kita hidup untuk berjuang, dan berproses kemudian berjuang lagi.
Sebagai sosok seniman yang selalu vokal menyuarakan kritiknya lewat alunan lagu-lagunya, perbincangan dengan Ismet sangat banyak mengkritisi kondisi Jambi hari ini dan juga kondisi negeri ini, suatu kegundahan mungkin melihat kebobrokan dan kebobrokan terus-menerus dipraktikkan oleh para pemimpin di sana.
Baginya, hidup itu harus berani. Berangkat dari fakta itu, ia menuangkannya ke dalam lirik lagu. “Hidup bukan sebatas hidup, hidup itu berjuang berproses, aku dak mau diam, teman jangan diam, jangan jadi pendiam, jangan jadi generasi pendiam, jangan jadi pecundang, anjing!”
“Kita lihat keadaan di negeri kita sendiri, kita lihat Jambi, begitu bodoh kamu menghancurkan diri sendiri, kok ada gitu orang yang mencuri uang negara sendiri, itu kan namanya manusia yang goblog. Itu merupakan asal usul penamaan band kita dulu (blog head),” ujar Ismet.
Kecintaannya pada musik punk pun ia aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya saat pentas atau manggung. Di kampus pun ketika sedang kuliah ia tetap menerapkan prinsip-prinsip punk. Namun, berbicara punk tentu tak lepas dari citra negatif yang merupakan pandangan bagi sebagian masyarakat. Menanggapi hal tersebut Ismet berpendapat bahwa citra negatif di kalangan masyarakat tersebut merupakan ulah dari oknum yang gagal dalam mengartikan punk yang sebenarnya, sehingga mengarah kepada kebebasan yang tak mengakui aturan, menjadi kriminal.
“Untuk menangkis citra tersebut, arti lantunan lagu punk perlu dimengerti. Jadi kita jangan hanya menilai dari passion punk lagi, tapi pemikirannya gitu,” kata Ismet.
Sebelum kuliah dirinya yang sudah menekuni dunia punk merasa bahwa pemikiran dan pengetahuannya dari segi keilmuan perlu diperluas, dan benar saja sewaktu menempuh Pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Jambi ia menemukan hikmah bahwa tujuan kuliah bukan hanya untuk memperoleh ijazah namun lebih dari itu adalah untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh dan bisa bermanfaat bagi masyarakat secara umum.
“Jadi kuliah bukan berbicara sebagai proses sebelum berkarier di dunia pekerjaan lagi atau berbicara ijazah lagi tapi mempertanggungjawabkan ilmu yang diperolehnya untuk diterapkan di dunia setelah selesai kuliah, itu yang harus ditekankan,” kata Ismet.

Hijau Biru, Cerita Tentang Hak Petani, Buruh, dan Lingkungan
Album pertama Ismet diberi nama Hijau dan Biru. Sebuah album yang menceritakan tentang hak petani, buruh, dan lingkungan. Belakangan Ismet tengah sibuk untuk menyelesaikan album keduanya yang akan ia beri nama “Rimba Terakhir”.
“Kita kembali ke sejarah bahwa negara kita, Jambi ini adalah negeri agraris. Kita tidak terlahir dari tambang, kita terlahir dari orang tua kita petani dan nelayan. Ini yang menghidupkan kita,” kata Ismet.
Dirinya pun menceritakan sebuah lagu yang baru saja selesai ia ciptakan. Sebuah lagu yang menceritakan tentang kisah masa lalu dan pergolakan yang dihadapi oleh para petani saat ini.
“Ada lirik lagu yang baru selesai aku buat. Aku dilahirkan oleh Tuhan di rahim perempuan yaitu ibuku, aku dibesarkan dan tumbuh bersama seorang lelaki itu ialah ayahku. Bapakku petani, ibuku petani, nenekku petani, kakekku petani, sampai leluhurku adalah petani. Aku hidup dan mati dari tanah ini, dari itu aku menghargai petani karena hari ini petanilah yang menjadi salah satu penyokong kehidupan bangsa ini, setelah semua itu kenapa kita harus munafik? Kenapa kita mengkhianati petani?” kata Ismet kesal.
Ketika disinggung terkait persoalan “Food Estate” yang sedang ramai jadi topik perbincangan. Menurutnya petani akan dijadikan komoditi, akan dijadikan sebagai bisnis oleh orang-orang yang mendapatkan keuntungan. Apakah akan berdampak positif terhadap petani? Tidak. Petani dijadikan kambing hitam, pemerintah hari ini melihat bahwa petani adalah sebuah Komoditi yang pasar. Akhirnya timbul “Food Estate” padahal kalau kita lihat ke belakang, Suharto pernah gagal, itu cukup menjadi bukti bahwa “Food Estate” tidak cocok dengan Indonesia yang di mana adalah negara agraris, negara yang masyarakatnya mayoritas berprofesi sebagai petani.
“Ada hak-hak petani yang dirampas oleh korporasi, tanah-tanah mereka dirampas oleh pihak perusahaan. Namun sebelum korporasi beraksi, tentu ada izin atas lokasinya. Nah yang memberi izin kepada perusahaan kan pemerintah, hari ini berapa banyak kondisi di mana tanah masyarakat dirampas? Berarti pemerintah memberi izin untuk korporasi merampas tanah-tanah masyarakat,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu bertempat di Gedung DPRD Kabupaten Sarolangun, di depan para wakil rakyat serta para pejabat pemerintahan ia dengan lantang menyanyikan lagu Tolak Peti, Hanya Air Mata, dan Sarolangun Betuah. Ismet mengatakan bahwa lagu-lagu itu sengaja dibawakan untuk mengingatkan para wakil rakyat agar bekerja untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Karena menurutnya, para wakil rakyat seharusnya memperjuangkan aspirasi rakyat, namun dalam kenyataannya malah terbalik wakil rakyat berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan.

Sungai Batanghari Kian Tercemari
Setelah petani dan tambang batu bara kini giliran Sungai Batanghari yang menjadi bahan perbincangan. Kondisi sungai Batanghari yang makin hari makin memprihatinkan tak bisa dipungkiri harus segera mendapat perhatian dan pembenahan dari pemerintah.
“Kembali pada sejarah, Sungai Batanghari adalah urat nadi peradaban. Kalau kita bicara urat nadi begitu dekat dengan jiwa kita, berapa kehidupan yang menggunakan kehidupan tersebut. Hari ini sungai Batanghari sedang mengalir dari kejayaan menuju kerusakan. Apabila kita anak muda, masyarakat, semuanya abai. Sungai Batanghari bisa tinggal sejarah, tinggal sebuah lagu, cuman sebatas cerita nanti untuk anak cucu kita. Apakah kita mau hal itu terjadi?” katanya.
Makanya, lanjut Ismet, nanti 25 November kita berencana untuk mengadakan aksi, itu bertepatan juga dengan hari pohon. Kita akan adakan aksi bersama teman-teman NGO, bersama teman-teman mahasiswa. Suara dari hilir memperingati hari pohon kemudian 100 hari Wo Haris menjabat Gubernur Jambi untuk mendorong pemerintah dan seluruh elemen. Ayo bersama-sama kita kembalikan sungai Batanghari bersih seperti sediakala.
Menurutnya, ini merupakan tanggung jawab bersama, pemerintah punya kebijakan, rakyat punya hak. Ayo kita satu padukan. Ayo kita cari solusi. Bicara hari ini bicara ekonomi bicara perut tapi negara, pemerintah tidak bertanggungjawab terhadap perut rakyat, siapa yang salah? Jelas-jelas pemerintah yang salah, kenapa karena pemerintah tidak mampu memberikan kehidupan yang layak terhadap rakyatnya. Bicara air bersih, itu sudah melanggar hak terhadap lingkungan yang sehat. Kita akan gugat pemerintah karena tidak mampu memenuhi hak masyarakat untuk beroleh air bersih, lingkungan yang bersih terhadap rakyat Jambi.
Ketika ditanya pandangan politiknya terhadap pemimpin Provinsi Jambi hari ini ia mengatakan bahwa hari-hari ini Jambi semakin bobrok secara politik, orang Jambi sudah kehilangan jati dirinya. Dalam segi politik idealnya partai adalah perahu bukan menjadi motor untuk mengintimidasi pemimpin, pemimpin bukan alat. Hari ini, baik pemerintah maupun partai politik sama-sama tidak memberikan sebuah solusi konkret terhadap permasalahan yang terjadi, yang ada hanya orientasi pada kekuasaan.
Melihat berbagai persoalan Jambi hari ini, ada pilihan untuk memperbaharui dari dalam dan luar. Namun saat dihadapkan kepada pilihan tersebut, Ismet menjawab untuk tetap memperbaharui dari luar. Ketika ada kesempatan untuk terjun ke dalam politik, ia mengatakan bahwa esensi dari kekuasaan adalah menindas. Tapi kalau melihat kondisi sekarang, Kalau bicara untuk kesejahteraan kemanusiaan kita suatu saat harus terjun ke dalam sistem.
Karena kalau kita tidak terjun ke dalam politik, orang yang tidak baik akan mengisi posisi tersebut dan melancarkan dengan leluasa niatan dan hasratnya. Tapi hari ini kita lihat orang-orang dalam sistem berarti orang-orang di dalam itu semua orang jahat, karena dalam berbagai pembicaraan yang kita temui ya tidak jauh-jauh dari proyek, investasi. Tidak ada perbincangan ke arah kesejahteraan rakyat.
“Bicara hari ini politik sudah banyak yang mengajak saya untuk bergabung tapi saya selalu tolak, apa penting? Ya aku masih nyaman dengan perlawanan-perlawanan yang terus aku lontarkan gitu, karena politik adalah jebakan sebenarnya. Tidak sedikit yang terjebak itu teman-teman kita itu yang di gedung-gedung sana, kita coba kritis menyarankan suatu isu, dia tidak ada. kita ajak diskusi di warung kopi juga tidak ada. mungkin sudah terlalu nyaman dengan AC kantorlah,” ujar Ismet.
Terkait aksi Kamisan yang telah cukup lama berlangsung di Jambi, ia mengatakan bahwa Kamisan bicara tentang semangat untuk memperoleh keadilan bagi warga Jambi, hak atas lingkungan yang sehat. Karena sudah tidak sedikit yang menjadi Korban.
Melalui aksi Kamisan yang setiap hari kamis ia gelar di Simpang 4 BI Telanaipura, ia ingin menyadarkan orang-orang bahwa ada banyak persoalan yang mendera Jambi. Ia ingin agar persoalan itu dituntaskan oleh pemerintah. Masyarakat Jambi sudah tidur dengan berbagai kenyamanan yang tersedia. Jambi masih dalam kondisi berkembang sekarang ini cuman dipaksakan seolah-olah sudah maju,” katanya.
“Saya pernah dituduh memprovokasi suatu pergerakan untuk menentang pemerintah, namun semua itu ia terima dan hadapi dengan kebenaran dan prinsip yang ia pegang teguh. Meski sakit dan pasti ada konsekuensinya ia mengatakan bahwa hidup harus berani,” ujarnya.
Menurut aktivis sekaligus seniman ini, sama seperti Munir, kebenaran memang bernyawa dan kita harus konsisten. Hal seperti somasi maupun ancaman terhadap berbagai aksi dan kritik lantamnya ia anggap sebagai trigger untuk memantapkan diri.
“Mau berhenti atau maju, aku memilih untuk tetap maju dengan kebenaran dan prinsip yang aku pegang. Apa yang kulihat dengan mataku, apa yang kurasakan dengan hatiku akan kujalani dan kuperjuangkan. karena hidup bukan sebatas hidup, hidup itu berjuang, berproses, berjuang dan berproses, sampai mati,” katanya.

Ismet Berbicara Generasi Milenial
Hidup itu harus berani ya, generasi muda anak-anak muda Jambi harus berani. Berani menyuarakan suatu hal yang tidak baik, berani menyuarakan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.
Kalau hari ini tidak diperjuangkan mungkin akan terasa pahit ke depannya. Hidup itu jangan jadi pecundang, tak bisa kamu turun ke jalan kamu berdoa kepada tuhan, jangan jadi generasi masa bodo yang apatis, pasrah pesimis, bunuh diri di Sungai Batanghari. Hidup kok sebatas itu?
Ia juga mengatakan bulan 2 tahun depan “Insya Allah bulan 2 kita ada acara bersama seniman Jerman untuk mengenal musik alam bersama beberapa seniman dari berbagai daerah di Indonesia, nanti kalau selesai, Insya Allah akan ditampilkan di Jerman, nah itu orang Jerman saja sampai mengapresiasi musik kita kenapa kita tidak? Orang luar jauh-jauh ke negeri kita untuk mengetahui itu, miris kan.
Kepada generasi muda ia berpesan, untuk kawan-kawan generasi muda khususnya mahasiswa ayo kita pekalah, ubah mindset–lah terhadap kondisi daerah kita provinsi Jambi ini, seberapa penting sih air itu, seberapa penting sih tambang-tambang itu, seberapa penting itu semua dibanding dengan lingkungan yang sehat bagi kita.
Bicara politik, menurut Ismet kita harus paham politik, kita bukan orang munafik kita juga harus ikut berpartisipasi dalam mengawal perjalanan politik karena apa-apa hari ini dipolitisasi. Apabila kebijakan politik itu tidak dilawan maka politik itu akan menindas kita. Untuk teman-teman ayo kita terus berjuang, jangan jadi generasi pendiam, jangan jadi generasi pecundang, ayo rebut berproses, berjuang setelah itu teman-teman silakan mati. Dalam artian bukan masuk kubur, nikmati dan wariskan hasil perjuangan itu kepada generasi selanjutnya.
Untuk para penguasa ia berpesan, “Teruntuk penguasa, eh loe itu digaji rakyat loe yah, loe adalah pelayan rakyat, loe itu adalah watchdog, loe adalah anjingnya rakyat, tapi kenapa loe malah ngegonggong sama rakyat, harusnya loe sadar, loe harus amanah, loe ingat mati, kematian itu pasti, kematian itu lebih dekat dari segalanya, jadi berubah dan bertobatlah.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Sarat Masalah Pengelolaan Ekosistem Gambut
DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah persoalan dalam kebijakan dan implementasi pengelolaan ekosistem gambut di Provinsi Jambi kembali mengemuka. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Rudi Syaff, mengungkap eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem gambut berdampak sangat signifikan tergadap perubahan iklim.
Secara sederhana dia menguraikan bahwa kenaikan suhu global berbanding lurus dengan kenaikan permukaan air laut. Gambut di daerah sekitar pesisir pun lebih cepat kering, dan ketika terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Sementara 2023 lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menahan tingkat emisi diangka 29% secara mandiri.
“Kalau kita mau mempertahankan emisinya. Artinya mempertahankan hutannya dan mempertahankan muka air. Supaya gambut tidak kering dan emisi lepas. Bagaimama mempertahankan gambut, itu yang sangat penting,” kata Rudi Syaf, dalam dialog media Integrated Management of Peatland Lanscape in Indonesia (IMPLI), Kamis 23 Oktober 2025.
50 Persen Gambut Sudah Disulap
KKI Warsi mencatat, terdapat setidaknya 617 ribu hektar Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Jambi. Namun 50% diantaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).
Padahal Undang Undang sudah melarang agar lahan gambut dengan kedalaman 3 Meter lebih tidak boleh dikelola untuk perkebunan alias berstatus hutan lindung gambut. Namun dilapangan, kriteria tersebut nyatanya dilabrak oleh pihak-pihak tak bertanggungjwab.
“Karna dia gambut dalam, Undang Undang bilang gambut diatas 3 meter itu (statusnya) lindung. Tapi prakteknya sudah berubah jadi kebun. Ada inkonsistensi kebijakan. Padahal berfungsi sangat penting bagi kehidupan,” ujarnya.
Padahal menurut Direktur KKI Warsi tersebut, lahan gambut Jambi dengan potensi kandungan karbon yang sangat tinggi sejatinya punya nilai ekonomi tinggi bagi Jambi maupun Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik sebagaimana skema perdagangan karbon.
Oleh karena itu, ia pun mendorong peran aktif negara hingga penguatan peran masyatakat dalam menjaga dan merestorasi kawasan gambut. Menjaga gambut, kata Rudi, itu menjaga kehidupan, kunci keberhasilan kolaborasi, kebijakan yang berpihak hingga ekonomi lestari.
Penanganan Karhutla Belum Berfokus Pencegahan
Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Dr. Helmi yang juga merupakan pakar hukum lingkungan mengungkap persoalan krusial dalam paradigma penanggulangan karhutla yang belum sepenuhnya berfokus pada pencegahan. Prof Helmi, bahkan menilai terdapat politik anggaran yang ‘represif’ dalam hal karhutla.
“Ketika suatu kawasan ditetapkan masuk bencana, baru anggaran penanggulangan dicairkan. Karna (menggunakan) paradigma api dan asap, maka anggaran juga bukan angaran (untuk) mencegah atau mengatasi penyebab,” ujar Helmi.
Rektor Universitas Jambi tersebut berpandangan bahwa setidaknya terdapat beberapa penyebab yang sangat mendasar, mulai dari tata kelola lahan hingga sistem perizinan. Dia kembali mengungkit soal ketentuan perundang-undangan yang mengklasifikasikan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih tidak boleh diusahakan lantaran masuk kawasan lindung. Namun pada prakteknya rawan pelanggaran dan minim penertiban.
“Trus apa yang harus dilakukan? Bagaimana kemudian memantau ini secara berkepanjangan? Cabut izinnya jika terjadi karhutla,” katanya.
Berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, karhutla yang terjadi dalam areal konsesi atau HTI suatu badan usaha, sangsinya jelas yakni berupa pencabutan izin usaha atau administratif.
Namun pada prakteknya, kasus-kasus karhutla masih bergulir panjang pada proses pembuktian di persidangan. Padahal UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menegaskan soal Strict Liability (Tanggungjawab Mutlak).
Dimana pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan atau pihak pemegang izin usaha dapat dimintai tanggung jawab hukum atas terjadinya kebakaran di arealnya, tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian.
“Jadi tidak pas menurut saya, tanggungjawab mutlak itu jelas sangsinya administratif, langsung saja dicabut izinnya,” katanya.
Ditengah tantangan pemulihan, konsistensi kebijakan, tekanan konversi, dan minimnya insentif. Restorasi gambut lewat pengelolaan berkelanjutan FOLU Net Sink atau pemanfaatan hutan dan lahan dengan netral dinilai menjadi kunci. Hal itu demi menjaga kelestarian ekosistem gambut, hingga menekan laju naiknya suhu dan muka air laut.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Pertemuan Mendadak DPRD, PT SAS dan Sejumlah Warga Picu Kontroversi
DETAIL.ID, Jambi – Pertemuan mendadak antara DPRD Provinsi Jambi, PT SAS, dan sejumlah warga Aur Kenali serta Mendalo Darat pada Kamis kenarin, 2 Oktober 2025 menuai sorotan tajam. Warga menilai agenda tersebut melanggar kesepakatan sebelumnya dengan Gubernur Jambi.
Ketua DPRD Provinsi Jambi Hafiz Fattah, Wakil Ketua I Ivan Wirata, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta sejumlah warga hadir dalam forum yang disebut sebagai mediasi. Namun, masyarakat mengaku baru menerima pemberitahuan dua jam sebelum pelaksanaan tanpa adanya surat undangan resmi.
Dalam rekaman video yang beredar, warga menolak berdialog. Mereka menyatakan pertemuan itu tidak sesuai jalur komunikasi yang telah ditetapkan bersama gubernur.
“Kami hadir hanya untuk memastikan tidak ada dialog. Yang harus ditindaklanjuti sekarang adalah adu data PT SAS mengenai rencana aktivitas mereka di lokasi stockpile,” kata perwakilan warga, Dlomiri.
Masyarakat menegaskan bahwa dialog resmi sudah pernah difasilitasi gubernur, sehingga tidak perlu ada pertemuan serupa. Mereka menuntut DPRD menyatakan sikap tegas menolak keberadaan stockpile PT SAS, bukan justru memfasilitasi dialog baru.
Selain itu, warga juga mempertanyakan kehadiran salah satu petinggi organisasi masyarakat dan perwakilan media tertentu dalam forum tersebut. Mereka menduga ada kepentingan lain di balik keterlibatan pihak yang dinilai tidak relevan.
“Yang kami butuhkan dari DPR bukan memediasi pertemuan, tapi berdiri bersama rakyat dengan jelas menolak stockpile PT SAS,” ujarnya.
Rencana pembangunan stokpile PT SAS di kawasan tersebut ditolak warga karena dinilai berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan mengganggu kehidupan masyarakat sekitar.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Makatara Ungkap Dugaan Pelanggaran Tata Ruang di Rencana Terminal Batu Bara PT SAS
DETAIL.ID, Jambi – Perkumpulan Makatara (Masyarakat Anti Kerusakan Lingkungan dan Tata Ruang) membeberkan temuan dugaan pelanggaran pemanfaatan lahan pada rencana pembangunan terminal batu bara atau Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) milik PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.
Dalam rilis resmi yang diterima Sabtu 20 September 2025, Makatara menyebut hasil pengamatan citra satelit resolusi tinggi periode 2018-2025 menunjukkan perubahan tutupan lahan seluas 47,6 hektare. Area yang sebelumnya berupa lahan pertanian dan hamparan hijau kini menjadi lahan terbuka. Temuan itu diperkuat dengan pengecekan lapangan.
“Penggunaan lahan di lokasi beririsan dengan kawasan perumahan 56 persen, kawasan lindung 30 persen, tanaman pangan 9 persen, serta perdagangan dan jasa 5 persen,” kata Sekretaris Umum Makatara, Willy Marlupi.
Pemetaan tersebut mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi Nomor 5/2024, data Kementerian ATR/BPN, peta rupa bumi BIG, serta verifikasi lapangan. Makatara juga menemukan lahan rencana terminal batubara berada dekat aliran sungai, intake PDAM Aur Duri, jalan lintas Sumatra, perkantoran, dan permukiman.
Sejumlah titik lahan disebut terindikasi sengketa, terlihat dari pemasangan plang dan panel beton. Warga sekitar telah menyampaikan surat penolakan, sementara Pemkot Jambi disebut telah menyurati Gubernur Jambi agar rencana penggunaan lahan ditinjau ulang.
Temuan lain menunjukkan sebagian lahan masuk dalam Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) Kota Jambi yang ditetapkan Perda No.5/2024 seluas 459 hektare. Berdasarkan UU No.41/2009, lahan KP2B dilarang dialihfungsikan kecuali untuk kepentingan umum.
“Jika terjadi alih fungsi, segala perizinannya batal demi hukum,” ujarnya.
Makatara menilai kegiatan terminal batubara tidak termasuk dalam peruntukan tata ruang yang diatur, mulai dari kawasan lindung, perumahan, tanaman pangan, hingga perdagangan dan jasa. Laporan resmi sudah disampaikan ke Wali Kota Jambi, Dinas Lingkungan Hidup, dan Kantor BPN sejak 12 September, namun hingga kini belum mendapat jawaban.
“Penolakan ini bukan sekadar aspirasi masyarakat, tetapi upaya menegakkan aturan tata ruang dan perlindungan lingkungan,” katanya.
Makatara mendesak pemerintah kota dan provinsi menindaklanjuti temuan tersebut sesuai ketentuan peraturan, termasuk Perda RTRW Kota Jambi No.5/2024, PP No.21/2021 tentang Penataan Ruang, UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No.32/2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup dan UU Cipta Kerja No.6/2023. (*)

