DETAIL.ID, Jakarta – Jaksa Agung ST Burhanuddin menerbitkan surat pedoman untuk menangani kasus-kasus narkotika dan obat-obatan terlarang atau narkoba dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice.
Nantinya, kasus penyalahgunaan narkotika akan diselesaikan dengan rehabilitasi.
Ia meneken Surat Pedoman nomor 18 Tahun 2021 terhitung sejak 1 November 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika Melalui Rehabilitasi.
“Pada saat pedoman ini mulai berlaku, tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika yang perkaranya belum dilimpahkan ke Pengadilan, penanganan perkaranya dilakukan berdasarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulis, Minggu 7 November 2021.
Dilansir dari CNNIndonesia, Burhanuddin menekankan sejumlah persyaratan agar rehabilitasi dapat dilakukan dalam kasus penyalahgunaan narkotika. Khususnya, dalam tahap prapenuntutan hingga penuntutan sebagaimana merupakan tugas dan kewenangan Jaksa.
Dalam BAB IV tentang Penuntutan huruf B ayat (2), rehabilitasi dapat dilakukan terhadap tersangka yang disangka melanggar Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika. Adapun dua jenis rehabilitasi ialah medis dan sosial.
Kemudian, dalam poin keempat huruf B dijelaskan bahwa syarat rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba ialah mereka yang berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik, tersangka positif menggunakan narkoba.
Lalu, berikutnya tersangka tidak terlibat dengan jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir. Lanjut dia, tersangka tertangkap tangan tanpa barang bukti narkotika atau dengan barang bukti narkotika yang tidak melebihi jumlah pemakaian satu hari.
Poin berikutnya, Burhanuddin menekankan bahwa tersangka harus dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika, penyalahgunaan narkotika atau penyalahguna narkotika berdasarkan hasil asesmen terpadu.
Tersangka, tulis Burhanuddin dalam pedoman, belum pernah menjalani rehabilitasi. Atau, jika sudah pernah direhabilitasi tidak lebih dari dua kali dan dukung dengan surat keterangan dari pejabat atau lembaga yang berwenang.
Pengajuan rehabilitasi melalui proses hukum dapat dilakukan saat pelimpahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) dari kepolisian ke Kejaksaan. Nantinya, JPU akan memberitahukan bahwa penyelesaian perkara akan dilakukan melalui rehabilitasi.
Rehabilitasi dapat dilakukan apabila tersangka bersedia menjalaninya. Nantinya, tersangka akan membuat surat pernyataan kesediaan menjalani rehabilitasi melalui proses hukum. Sementara, pihak keluarga atau bali tersangka akan membuat surat jaminan.
“Dalam hal diperlukan, pengajuan rehabilitasi melalui proses hukum sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat dilakukan ekspose dengan pimpinan,” tulis Burhanuddin dalam BAB IV huruf C point 4 sebagaimana dikutip.
Jika tersangka tak bersedia menjalani rehabilitasi, maka proses penuntutan akan dilanjutkan di pengadilan.
Pengawasan rehabilitasi akan dilakukan oleh penuntut umum dengan cara tersangka melakukan wajib lapor dalam waktu yang ditentukan. Kemudian, hal itu didukung dengan surat keterangan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi.
Tersangka akan diultimatum melalui peringatan tertulis apabila tak menjalani rehabilitasi tidak sesuai dengan penetapan. Jika peringatan tak diindahkan, maka proses penuntutan dan upaya paksa akan dilakukan.
Sebagai informasi, pedoman itu terdiri atas 9 BAB yang mengatur dari proses pra penuntutan, penuntutan, pengawasan, pelatihan hingga pembiayaan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.
Kebijakan ini diterbitkan dengan memperhatikan sistem pidana yang cenderung punitif. Hal itu, tercermin dari jumlah penghuni lapas yang melebihi kapasitas dan sebagian besarnya merupakan narapidana tindak pidana narkotika.
Discussion about this post