Connect with us
Advertisement

OPINI

Pendidikan, Puasa Ramadan dan Menjaga Lisan

DETAIL.ID

Published

on

PUASA Ramadan memang istimewa. Diistimewakan oleh Yang Maha Istimewa, Allah SWT. Keistimewaannya, Allah sendiri yang menyatakan: “Puasa itu milik-Ku dan Akulah yang akan memberi balasan pahalanya”. Begitulah bentuk keistimewaan dan pengakuan Allah terhadap puasa Ramadan.

Alquran menyebutkan bahwa Ramadan itu lebih baik dari seribu bulan (Al-Qadar:3). Ibadah sunah dinilai sebagai sesuatu yang fardu, sementara yang fardu dilipat gandakan pahalanya. Kemudian, Nabi mengatakan bahwa Ramadan bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya merdeka dari neraka.

Sebenarnya, ibadah puasa Ramadan adalah ‘sekolah’, Allah SWT menyiapkan ‘sekolah’ bagi kaum beriman untuk belajar, menuntut ilmu dan mengisi ulang (recharge) keimanan sebagai media membangun karakter dan peningkatan ketakwaan kita. Di sekolah ini orang yang beriman belajar banyak hal berhubungan dengan Allah SWT (hablum minallah) dan dengan manusia (hablum minan-nas)

Takwa adalah buah yang diharapkan dan dihasilkan dari menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Taqwa merupakan tujuan paripurna dari ibadah puasa yang bertransformasi dalam beragam aktivitas sehari-hari. “Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”( Siyar A’lamin Nubala).

Walau diistimewakan, tapi puasa ini penuh dengan ujian. Ini ciri khas sekolah ini, ujian dilaksanakan sepanjang waktu, setiap detik diuji. Tapi, jika di sekolah umum, biasanya kita belajar dulu, kemudian diberi ujian, Tapi dalam ibadah puasa, biasanya kita mendapat ujian dulu, baru setelah itu kita mendapat pelajaran.

Akhir dari sekolah Ramadan adalah semakin takwa kita dan salah satu ciri takwa adalah mampu menjaga lisan. Dalam anatomi tubuh kita, lidah kita ‘dijaga rapat’ oleh gigi yang begitu rapi dan kokoh, dan dibantengi oleh dua bibir. Kenapa lidah perlu ‘dijaga’, karena lidah bisa lebih tajam dari mata pisau yang dapat menembus ulu hati. Pisau bisa melukai tubuh masih bisa diobati, tapi jika lidah sudah menyayat hati ke mana obat hendak dicari.

Penyakit jiwa timbul karena penggunaan tutur kata yang tidak benar (Alfred Korzybski). Di era media sosial seperti sekarang, menjaga lisan kadang-kadang sulit dilakukan. Dalam konteks tertentu, kita berkomunikasi tanpa bertemu dengan lawan bicara kita, tanpa tatap muka dan sering berakibat kita ‘bebas’ berbicara apa saja.

“Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” (H.R. al-Bukhari). Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)” (HR: al-Bukhari dan Muslim).

Kita harus belajar dari Alquran, bagaimana Komunikasi Santun. Pertama, qaulan ma‘rufan, perkataan yang baik, yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat (Quraish Shihab). Perkataan sejenis ini pantas sesuai dengan status sosial, tidak menyinggung perasaan, serta mendatangkan kemaslahatan, dan menimbulkan kebaikan bagi lawan bicara kita.

Perkataan ini tidak menyakitkan dan identik dengan kerendahan hati. Alquran mensinyalir bahwa mengucapkan qawlun ma’ruf lebih baik daripada bersedekah yang disertai kedengkian (QS Albaqarah [2]: 263).

Kedua, qaulan sadidan (perkataan yang tegas, jujur dan benar). Qaulan sadid adalah perkataan yang tidak mengandung unsur kebohongan, apa adanya sesuai dengan apa yang terjadi, perkataan yang memiliki kesinkronan antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.

Usahakan jangan sampai kita menyampaikan informasi yang belum tentu kebenarannya (hoaks), apalagi informasi itu benar-benar salah. Hoaks bertumbuh-kembang seiring dengan penggunaan media sosial yang masif. Media sosial memungkinkan semua orang menjadi ‘produser’ atau penyebar berita.

Ketiga, qaulan layyinan, perkataan yang lemah lembut, dengan suara yang enak didengar, lunak, tidak memvonis, penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud layyina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata-kata terus terang atau lugas, apalagi kasar, tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara.

Salah satu cara paling komunikatif untuk menerapkan layyina adalah dengan menggunakan implikatur percakapan, yakni, mengatakan sesuatu secara tidak langsung, bisa juga mengatakan sesuatu tetapi maksudnya bukan itu, misalnya, Kita berkata kepada ibu kita: “Bu, baju saya robek”. Sebenarnya bukan menginformasikan bahwa baju itu robek, tapi sebenarnya, minta uang untuk beli baju baru.

Keempat, qaulan maisuran (perkataan yang mudah), Yakni mudah dicerna dan mudah dimengerti oleh orang lain. Ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat, dan tidak berbelit-belit. Prinsip perkataan ini adalah yang memudahkan segala kesukaran yang menimpa orang lain, dan menghiburnya guna meringankan beban kesedihan (QS Al-Isra [17]: 28).

Kelima, qaulan balighan (perkataan yang membekas pada jiwa), perkataan yang efektif, tepat sasaran, cermat, padat berisi, mudah dipahami. Perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi pesan adalah suatu kebenaran (Wijaya, 2015). Perkataan ini disampaikan kepada orang-orang yang benar-benar memerlukan.

Keenam, qaulan kariman (perkataan yang mulia), dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak merendahkan harkat dan martabat orang lain. Dalam QS Al-Isra’: 23, perkataan yang mulia wajib dilakukan waktu berkomunikasi dengan kedua orang tua. Siapa pun dilarang mengucapkan kata-kata yang bisa menyakiti hati mereka.

Rasulullah adalah orang mulia paling santun berbahasa, berbicara sangat santun kepada siapa pun dalam keadaan bagaimana pun. Ketika ‘Aisyah menjawab “doa” kecelakaan bagi Nabi Muhammad SAW yang diucapkan oleh beberapa orang Yahudi, beliau meminta agar ‘Aisyah membiasakan bertutur lemah lembut. Nabi bersabda, “Sabarlah, ‘Aisyah. Biasa­kan lemah lembut dan tinggalkanlah kekerasan dan kekasaran!” (Republika)

Dalam puasa Ramadan kali ini, kita latihan menjaga lisan kita, agar hidup kita menjadi lebih bermakna. Insya Allah!

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah

Advertisement Advertisement

OPINI

Sibuk Merayakan Maulid, Lupa Meneladani Amanah Rasulullah

Oleh: Naz*

DETAIL.ID

Published

on

SETIAP tahun, suasana Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu dirayakan dengan gegap gempita di berbagai daerah. Namun, ada ironi besar di balik semua itu. Semangat merayakan hari lahir Rasulullah sering kali hanya berhenti pada simbol, tidak menembus ke substansi.

Rasulullah SAW bukanlah figur yang gemar pada kemewahan perayaan. Beliau diutus membawa risalah kebenaran, menegakkan amanah, kejujuran, dan keadilan. Yang beliau wariskan bukanlah seremonial kosong, melainkan teladan akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman para pemimpin umat, termasuk pemimpin daerah kita.

Padahal, inti dari peringatan Maulid bukanlah sekadar mendengar ceramah atau memajang baliho besar gambar Kepala Daerah di masjid. Inti Maulid adalah meneguhkan kembali teladan Rasulullah:

1. Amanah dalam kepemimpinan;
Rasulullah menunjukkan bahwa jabatan adalah titipan, bukan alat memperkaya diri atau keluarga. Kepala daerah hari ini mestinya meneladani itu, memastikan setiap rupiah APBD digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperbesar rekening pribadi.

2. Kejujuran dalam setiap kebijakan;
Rasulullah tidak pernah berbohong meski dalam perkara kecil. Pemimpin seharusnya berani berkata jujur pada rakyat: tentang kondisi keuangan daerah, tentang keterbatasan, bahkan tentang kegagalan. Bukan malah menutup-nutupi dengan angka manipulatif demi pencitraan.

3. Kesederhanaan hidup;
Rasulullah hidup sederhana, bahkan ketika memiliki peluang untuk kaya raya. Sedangkan para kepala daerah kita sering kali larut dalam gaya hidup mewah: mobil dinas berderet, perjalanan dinas berulang, pesta perayaan digelar besar-besaran, sementara rakyat kecil masih kesulitan biaya pendidikan dan kesehatan.

Jika para kepala daerah benar-benar ingin menjadikan Maulid sebagai momen penting, seharusnya mereka tidak hanya sibuk di atas panggung, tapi juga menjadikan amanah dan kejujuran sebagai kompas kepemimpinan sehari-hari. Tidak ada artinya mengeluarkan kata-kata manis tentang Rasulullah jika kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat.

Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang paling dicintai rakyat karena keadilannya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyat karena kezalimannya.

Pertanyaannya: apakah kepala daerah hari ini sudah berada di jalan yang benar? Ataukah mereka hanya menumpang nama Rasulullah untuk memperindah citra di depan rakyat?
Maulid seharusnya menjadi alarm moral: jangan sibuk dengan perayaan tapi lalai dari keteladanan.

Jadikanlah Rasulullah sebagai teladan dalam kejujuran, jadilah pemimpin yang Al-Amin bukan yang Al-Korup. Sebab, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah panggung megah dan sambutan panjang, melainkan pemimpin yang benar-benar meneladani sifat Al-Amin, Amanah, Jujur, dan Adil.

*Pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi

Continue Reading

OPINI

PETI Dicaci, PETI Pemberi Rezeki: Siapa yang Ditumbalkan?

Oleh: Daryanto*

DETAIL.ID

Published

on

FENOMENA Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti), bukanlah terjadi baru-baru ini saja. Sejak transmigrasi masuk, sudah banyak bekas galian PETI di sepanjang lokasi yang dijadikan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Renah Pamenang, Pamenang Selatan misalnya, bekas galian para warga yang mencari butiran emas bisa disaksikan secara kasat mata. Hanya saja cara mereka awalnya hanya mengunakan dulang atau alat tradisional yang digunakan untuk memisahkan butiran pasir dan buliran emas, cara mereka menggalinya pun mengunakan alat sederhana seperti linggis.

Namun memasuki tahun 2010, aktivitas PETI berubah total, dari yang awalnya tradisional, berubah mengunakan mesin dan merambah mengunakan alat berat sampai sekarang.

Tapi diakui atau tidak, di Provinsi Jambi, aktivitas peti khususnya di Jambi Wilayah Barat, seperti Tebo, Muara Bungo, Merangin, dan Sarolangun aktivitas PETI terus terjadi, namun pola-pola yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan emas dilakukan dengan tiga cara, seperti dompeng darat, lanting, dan menggunakan box

Dompeng darat, biasanya oknum masyarakat mencari emas menggunakan alat berat dengan cara mengali tanah dengan kedalam tertentu, dibantu dua mesin penyedot air dan mesin penyedot batu dan mampu menampung sampai delapan tenaga kerja, dengan kelebihannya setelah ditambang bisa direklamasi ulang dan bisa ditanami kembali.

Berbeda dengan dompeng lanting, biasanya masyarakat mengunakan rakit buatan yang dilakukan di dalam sungai, dengan cara menyedot batu dan pasir di dalam sungai dengan dua mesin yang biasanya dilakukan oleh tiga tenaga kerja, Terkadang pasir yang disedot dimasukan kembali ke sungai sehingga membuat aliran sungai menjadi dangkal.

Lain halnya PETI menggunakan alat berat yang bekerja, mengambil pasir dan batu menggunakan baket alat berat kemudian dimasukan dalam alat box, dan biasanya ada dua sampai tiga pekerja yang melakukan pekerjaan secara terus menerus di bantaran aliran sungai sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah dan susah untuk direklamasi ulang.

Tentu ada hal yang menarik dari tiga katagori PETI yang sering dilakukan oleh warga, Bagaimana pengunaan merkuri atau logam berat. Dari pantauan penulis, masyarakat yang beraktivitas PETI rata-rata mengunakan logam berat untuk memisahkan emas dari pasir hitam dengan cara memasukan ke dalam ember, kemudian diaduk di satu tempat agar logam berat tidak terbuang lalu di peras mengunakan kain tipis untuk memisahkan emas dan logam berat, atau bagi masyarakat pendompeng mengenalnya dengan istilah “ngepok”, setelah terpisah air tak tadi dimasukan ke dalam botol untuk bisa dipergunakan lagi.

Lalu kemana para pemain petugas menjual hasilnya? Banyak di sejumlah tempat yang biasa menampung hasil PETI, ada pemilik modal yang bekerja sama dengan cara main “DO”, dengan sistem pembelian yang berbeda dengan harga toko emas, dan ada juga yang langsung menjual lepas ke penadah emas dengan harga yang lebih tinggi di banding pemilik “DO”. Tak perlu harus menelisik toko emas mana yang menjadi langganan pelaku PETI menjual hasilnya dan “aman dari pengamatan petugas” dan sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Merangin.

Dari sisi ekonomi, bagi sebagian masyarakat, kerja di Penambangan Emas Tanpa Izin tentu sangat menjanjikan, sebab banyak masyarakat yang tertolong dari pinjaman pinjol, tagihan angsuran bank, angsuran kredit motor dan biaya anak sekolah, belum lagi bagi oknum NGO, oknum organisasi profesi, institusi tertentu, yang sering mendapatkan rezeki dari para pemilik mesin dompeng, walaupun hanya sekedar berbasa-basi dengan pemilik PETI.

Lalu bagaimana PETI yang sudah terjadi puluhan tahun tetap berlangsung sampai saat ini? Meskipun sudah banyak pekerja PETI yang tertangkap dan dipenjara, apakah ada efek jera?

Bagi sebagian kecil pekerja pasti dapat efek jera, sebab hanya pekerja saja yang jadi tumbal dan jarang pemilik dan pemodal PETI yang tertangkap. Namun fakta di lapangan bisa dilihat hari ini dirazia aparat keamanan berhenti bekerja, besok pasti sudah bekerja lagi demi tuntutan kebutuhan perut.

Terkadang ada juga faktor x yang berpengaruh, agar saat razia terkesan ada hasil, di lokasi tertentu para pemilik alat berat dan dompeng bisa berkoordinasi dengan baik dengan para oknum, maka sudah pasti akan selamat, tetapi jika di satu wilayah para pemain alat berat dan pemilik dompeng di anggap “pelit”, dan sering masuk pemberitaan bisa dipastikan bakal ada yang kena, dan ini fakta yang terus menerus terjadi.

Mari kita lihat bagaimana peran penting PETI yang dicaci tetapi membawa rezeki. PETI tidaklah akan berjalan sampai hari ini jika bahan bakar distop dari hulunya, tetapi ada fakta lainnya yang tidak bisa dipisahkan, ibarat PETI adalah gula manis, tentu banyak jenis semut yang mendekati untuk mendapatkan rasa manisnya.

Siapa yang berani menjual bahan bakar PETI seperti solar subsidi dalam jumlah besar jika bukan ada oknum aparat keamanan yang bermain? Pemandangan antrian solar subsidi pasti mengular di sejumlah SPBU di Merangin yang menyediakan bio solar, banyak cara dilakukan dengan mengisi berkali kali dengan nomor barcode yang berbeda beda, lalu hasil antrian solar sudah pasti sudah ada pembeli yang dijual ke lokasi PETI. Lalu kenapa PETI bisa sebagian aman saat dirazia dan sudah bocor duluan saat didatangi ke lokasi, sudah bisa diduga ada oknum aparat keamanan yang pasti ikut mendapatkan bagian dari kegiatan ilegal tersebut, dan bahasa sederhananya adalah mendapatkan “bulanan” per alat berat di setiap wilayah di Merangin pasti berbeda beda nominalnya.

Lalu ada peran Pemerintah Daerah yang tidak mau kehilangan cara, dengan menerbitkan surat edaran Kepala Daerah yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan kecamatan hingga level desa untuk tidak terlibat PETI, apalagi Kades merupakan pemangku adat di desanya.

Situasi ini tentunya mudah disampaikan tapi sulit dikerjakan. sebagian besar masyarakat di Merangin sudah puluhan tahun banyak yang bekerja dan menggantungkan hidup di sektor “per-PETI-an” , dan saat pemerintah menghimbau tidak melakukan aktivitas PETI tetapi sayangnya edaran tersebut tidak disertai solusi konkrit yang bisa dikerjakan masyarakat agar bisa beralih ke pekerjaan lainnya selain kerja PETI.

Jikalau mau dan serius dalam memberantas PETI, Pemerintah Daerah wajib membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kerja sama dan secara serius mencarikan solusi agar masyarakat bisa mendapatkan pilihan pekerjaan selain PETI, dan berani tegas untuk menindak semua oknum aparat keamanan yang berani menjual BBM kepada para pelaku PETI, tidak menerima uang bulanan, dan sama-sama mengawal kebijakan soal wilayah pertambangan rakyat, bagaimana izin pertambangan rakyat bisa didapatkan, sehingga tidak ada lagi cara-cara ilegal untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup masyarakat banyak.

Seperti kaga pepatah, jika air keruh di hilir tengoklah dari hulunya.

Salam santun.

*Penulis adalah wartawan DETAIL.ID yang tinggal di Kabupaten Merangin.

Continue Reading

OPINI

Pembangunan Stockpile Batu Bara dan Penolakan Warga: Ujian Serius Bagi Pemerintah

Oleh: Eko Saputra S. Lumban Gaol, SH*

DETAIL.ID

Published

on

PEMBANGUNAN stockpile batu bara di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, telah memicu gelombang penolakan besar. Warga menilai proyek ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak hidup mereka.

Provinsi Jambi selama ini menjadi salah satu lumbung batu bara nasional. Namun, di balik sumbangan devisa, masyarakat justru menanggung dampak: jalan rusak akibat truk over tonase, kemacetan kronis, polusi udara yang memicu penyakit, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berujung korban jiwa. Terakhir, pembangunan stockpile batu bara di tengah pemukiman padat semakin memperparah beban masyarakat.

Pemerintah Harus Memihak Rakyat

PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), pemilik IUP ±1.273 hektare di Sarolangun, mengklaim memiliki izin sah untuk membangun stockpile sekaligus pelabuhan pengangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan minimnya keterbukaan:

  • Tidak ada sosialisasi yang layak bagi warga terdampak.
  • Lokasi di jantung pemukiman yang rawan banjir, macet, dan polusi.
  • Dugaan pelanggaran tata ruang dan peruntukan lahan.

Penolakan pun meluas, para aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, hingga warga sekitar menegaskan ketidaksetujuan mereka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan peluang ekonomi, melainkan ancaman hidup.

Klaim PT SAS soal kepatuhan izin tak bisa menjadi tameng. Pemerintah dari pusat hingga kota dituntut berhenti bersikap pasif. Jika izin memang diberikan, prosesnya perlu diaudit terbuka. Bila memang menyalahi RTRW atau mengancam keselamatan warga, pencabutan izin atau relokasi harus menjadi langkah tegas.

Just Transition Bukan Sekadar Konsep

Transisi energi yang adil (Just Transition) adalah pendekatan yang menekankan perlunya transisi energi yang adil, inklusif dan adil untuk semua pihak. Di Aur Kenali, Just Transition menjadi satu hal yang prinsip, tidak ada pembangunan yang mengorbankan kesehatan, keselamatan, dan ruang hidup warga yang mengatasnamakan investasi dan keuntungan segelintir perusahaan.

Penolakan warga Aur Kenali adalah peringatan keras bahwa investasi tak boleh menindas hak masyarakat, tapi seyogyanya mendorong transisi energi dan ekonomi yang adil, dengan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar pemberi izin. Tanpa keberpihakan tegas, pembangunan stockpile batu bara hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.

*Warga RT 014/002 Desa Mendalo Darat, mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi dan Ketua DPC FSB NIKEUBA Muarojambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs