OPINI
Pendidikan, Puasa Ramadan dan Menjaga Lisan

PUASA Ramadan memang istimewa. Diistimewakan oleh Yang Maha Istimewa, Allah SWT. Keistimewaannya, Allah sendiri yang menyatakan: “Puasa itu milik-Ku dan Akulah yang akan memberi balasan pahalanya”. Begitulah bentuk keistimewaan dan pengakuan Allah terhadap puasa Ramadan.
Alquran menyebutkan bahwa Ramadan itu lebih baik dari seribu bulan (Al-Qadar:3). Ibadah sunah dinilai sebagai sesuatu yang fardu, sementara yang fardu dilipat gandakan pahalanya. Kemudian, Nabi mengatakan bahwa Ramadan bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya merdeka dari neraka.
Sebenarnya, ibadah puasa Ramadan adalah ‘sekolah’, Allah SWT menyiapkan ‘sekolah’ bagi kaum beriman untuk belajar, menuntut ilmu dan mengisi ulang (recharge) keimanan sebagai media membangun karakter dan peningkatan ketakwaan kita. Di sekolah ini orang yang beriman belajar banyak hal berhubungan dengan Allah SWT (hablum minallah) dan dengan manusia (hablum minan-nas)
Takwa adalah buah yang diharapkan dan dihasilkan dari menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Taqwa merupakan tujuan paripurna dari ibadah puasa yang bertransformasi dalam beragam aktivitas sehari-hari. “Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”( Siyar A’lamin Nubala).
Walau diistimewakan, tapi puasa ini penuh dengan ujian. Ini ciri khas sekolah ini, ujian dilaksanakan sepanjang waktu, setiap detik diuji. Tapi, jika di sekolah umum, biasanya kita belajar dulu, kemudian diberi ujian, Tapi dalam ibadah puasa, biasanya kita mendapat ujian dulu, baru setelah itu kita mendapat pelajaran.
Akhir dari sekolah Ramadan adalah semakin takwa kita dan salah satu ciri takwa adalah mampu menjaga lisan. Dalam anatomi tubuh kita, lidah kita ‘dijaga rapat’ oleh gigi yang begitu rapi dan kokoh, dan dibantengi oleh dua bibir. Kenapa lidah perlu ‘dijaga’, karena lidah bisa lebih tajam dari mata pisau yang dapat menembus ulu hati. Pisau bisa melukai tubuh masih bisa diobati, tapi jika lidah sudah menyayat hati ke mana obat hendak dicari.
Penyakit jiwa timbul karena penggunaan tutur kata yang tidak benar (Alfred Korzybski). Di era media sosial seperti sekarang, menjaga lisan kadang-kadang sulit dilakukan. Dalam konteks tertentu, kita berkomunikasi tanpa bertemu dengan lawan bicara kita, tanpa tatap muka dan sering berakibat kita ‘bebas’ berbicara apa saja.
“Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” (H.R. al-Bukhari). Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)” (HR: al-Bukhari dan Muslim).
Kita harus belajar dari Alquran, bagaimana Komunikasi Santun. Pertama, qaulan ma‘rufan, perkataan yang baik, yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat (Quraish Shihab). Perkataan sejenis ini pantas sesuai dengan status sosial, tidak menyinggung perasaan, serta mendatangkan kemaslahatan, dan menimbulkan kebaikan bagi lawan bicara kita.
Perkataan ini tidak menyakitkan dan identik dengan kerendahan hati. Alquran mensinyalir bahwa mengucapkan qawlun ma’ruf lebih baik daripada bersedekah yang disertai kedengkian (QS Albaqarah [2]: 263).
Kedua, qaulan sadidan (perkataan yang tegas, jujur dan benar). Qaulan sadid adalah perkataan yang tidak mengandung unsur kebohongan, apa adanya sesuai dengan apa yang terjadi, perkataan yang memiliki kesinkronan antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.
Usahakan jangan sampai kita menyampaikan informasi yang belum tentu kebenarannya (hoaks), apalagi informasi itu benar-benar salah. Hoaks bertumbuh-kembang seiring dengan penggunaan media sosial yang masif. Media sosial memungkinkan semua orang menjadi ‘produser’ atau penyebar berita.
Ketiga, qaulan layyinan, perkataan yang lemah lembut, dengan suara yang enak didengar, lunak, tidak memvonis, penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud layyina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata-kata terus terang atau lugas, apalagi kasar, tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara.
Salah satu cara paling komunikatif untuk menerapkan layyina adalah dengan menggunakan implikatur percakapan, yakni, mengatakan sesuatu secara tidak langsung, bisa juga mengatakan sesuatu tetapi maksudnya bukan itu, misalnya, Kita berkata kepada ibu kita: “Bu, baju saya robek”. Sebenarnya bukan menginformasikan bahwa baju itu robek, tapi sebenarnya, minta uang untuk beli baju baru.
Keempat, qaulan maisuran (perkataan yang mudah), Yakni mudah dicerna dan mudah dimengerti oleh orang lain. Ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat, dan tidak berbelit-belit. Prinsip perkataan ini adalah yang memudahkan segala kesukaran yang menimpa orang lain, dan menghiburnya guna meringankan beban kesedihan (QS Al-Isra [17]: 28).
Kelima, qaulan balighan (perkataan yang membekas pada jiwa), perkataan yang efektif, tepat sasaran, cermat, padat berisi, mudah dipahami. Perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi pesan adalah suatu kebenaran (Wijaya, 2015). Perkataan ini disampaikan kepada orang-orang yang benar-benar memerlukan.
Keenam, qaulan kariman (perkataan yang mulia), dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak merendahkan harkat dan martabat orang lain. Dalam QS Al-Isra’: 23, perkataan yang mulia wajib dilakukan waktu berkomunikasi dengan kedua orang tua. Siapa pun dilarang mengucapkan kata-kata yang bisa menyakiti hati mereka.
Rasulullah adalah orang mulia paling santun berbahasa, berbicara sangat santun kepada siapa pun dalam keadaan bagaimana pun. Ketika ‘Aisyah menjawab “doa” kecelakaan bagi Nabi Muhammad SAW yang diucapkan oleh beberapa orang Yahudi, beliau meminta agar ‘Aisyah membiasakan bertutur lemah lembut. Nabi bersabda, “Sabarlah, ‘Aisyah. Biasakan lemah lembut dan tinggalkanlah kekerasan dan kekasaran!” (Republika)
Dalam puasa Ramadan kali ini, kita latihan menjaga lisan kita, agar hidup kita menjadi lebih bermakna. Insya Allah!
*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah
OPINI
Geopark Merangin: Dari Simbolisme ke Realitas Nyata Pembangunan Daerah
Oleh: Dr. Agus, S.Sos., M. Hum., CIIQA

General Manager UNESCO Global Geopark Merangin Jambi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Unja
Tulisan di Sumateradaily.com yang menyoroti Merangin Jambi UNESCO Global Geopark (MJUGGp) sebagai sekadar proyek simbolisme yang mengabaikan realitas lokal, tampaknya hanya membaca satu sisi kacamata sempit dan mengabaikan fakta-fakta di lapangan. Alih-alih menilai geopark sebagai proyek elitis, realitasnya menunjukkan bahwa geopark justru telah menjadi katalis pembangunan daerah, pemberdayaan masyarakat, serta diplomasi kebudayaan Indonesia di tingkat global.
Pertama, status UNESCO Global Geopark (UGGp) bukan sekadar predikat simbolik, melainkan hasil evaluasi ketat dari lembaga internasional yang mengedepankan prinsip sustainable development mengintegrasikan konservasi, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Kinerja geopark bukanlah kenerja sembilan atau lebih tim Badan pengelola, tetapi kinerja semua stakeholder, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jambi, Pemerintah Kabupaten, Kelompok Masyarakat adat, penggiat wisata, NGO, Perusahaan dan semua pihak terkait lainnya. Menurut UNESCO (2023), geopark adalah living laboratories yang menghubungkan warisan geologi dengan pembangunan berkelanjutan masyarakat. Dengan pengakuan global ini, Merangin kini sejajar dengan geopark lain di dunia seperti Langkawi (Malaysia) dan Jeju (Korea Selatan), Lesvos (Yunani) dan UGGp lainnya, dalam pengelolaannya mencakup 11 Tujuan Pembangunan berkelanjutan, Pariwisata merupakan satu subsector yang harus terus di dorong pengembangannya.
Kedua, argumen bahwa masyarakat lokal diabaikan jelas menyalahi fakta. Pemerintah Kabupaten Merangin melalui Dinas Pariwisata dan stakeholder terkait justru telah melibatkan komunitas lokal dalam berbagai program. Jika ditinjau dari sisi pariwisata, Data dari Dinas Pariwisata Merangin (2023) mencatat setidaknya 15 kelompok sadar wisata (pokdarwis) di sekitar kawasan geopark yang aktif mengelola homestay, kerajinan tangan, hingga jasa pemandu wisata berbasis kearifan lokal. Bahkan, menurut laporan Badan Pengelola MJUGGp (2023), terdapat peningkatan pendapatan rata-rata 20–25% bagi pelaku UMKM di sekitar kawasan geopark sejak status UGGp ditetapkan.
Ketiga, jika dikatakan geopark hanya berhenti pada simbolisme, bagaimana menjelaskan fakta bahwa kawasan ini telah menjadi instrumen diplomasi budaya? Pada sesi General Conference UNESCO di Marokko (2023), kinerja Masyarakat adat di Merangin Jambi Geopark mendapat penghargaan tertinggi “The First Bast Practice Global Geopark Network kategori Mikro Hydro Plant” dipresentasikan sebagai contoh best practice terbaik dunia dalam pengelolaan warisan geologi, bio diversity dan cultural diversity secara nyata yang turun temurun, hal ini telah memperkuat citra Indonesia di panggung internasional. simbolisme semata tentu tidak cukup untuk bisa lolos verifikasi dan diapresiasi dunia ini.
Keempat, narasi bahwa ada realitas lokal yang terabaikan patut ditinjau ulang. Faktanya, geopark justru menjadi instrumen untuk mengatasi ancaman kerusakan lingkungan seperti penambangan emas tanpa izin (PETI) dan deforestasi. Sebagai contoh nyata penanggulangan PETI pada segmen inti Geopark, Badan Pengelola, Polres Merangin dan Pemerintah Kabupaten Merangin telah berhasil menghentikan akivitas PETI dengan cara persuasive yang elegan, begitu juga untuk menahan laju deforetasi dikawasan khususnya di serampas, Masyarakat adat berhasil menahan laju perambahan diwilayah Masyarakat adat serampas. Praktek baik ini terus akan dilakukan dengan penguatan kalborasi yang kuat dengan semua stakeholder.
Dengan kalaborasi multy pihak saling menguatkan geopark tidak mengabaikan realitas, melainkan menghadirkan solusi berbasis konservasi.
Oleh karena itu, menyederhanakan geopark sebagai proyek simbolisme sama artinya dengan menutup mata dari capaian nyata yang telah dihasilkan. Memang, pekerjaan rumah masih ada, termasuk dalam hal infrastruktur penunjang dan distribusi manfaat ekonomi yang lebih merata. Namun, arah kebijakan jelas menunjukkan bahwa Merangin Jambi UGGp bukan proyek elitis, melainkan strategi pembangunan daerah yang berakar pada konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, dan pengakuan dunia.
Geopark Merangin adalah rumah bagi semua dan semua orang, kelompok bisa berkontribusi dalam pengelolaannya baik itu dari fungsi konservasi, edukasi dan pemberdayaan Masyarakat yang harus terus dikelola secara berkelanjutan. Menafikannya hanya sebagai simbol, justru merupakan reduksi berlebihan yang mengaburkan realitas nyata dan mendiskriditkan praktek baik para penggiat, Masyarakat adat dan dan kinerja Masyarakat di tapak yang terus berupaya memuliakan bumi untuk secara bertahap meningkatkan kesejahteraan.
Catatan Sumber Data:
* UNESCO. (2023). UNESCO Global Geoparks.
* Dinas Pariwisata Kabupaten Merangin. (2023). Laporan Tahunan.
* Badan Pengelola MJUGGp. (2023). *Monitoring dan Evaluasi.
* Kementerian ESDM. (2022). Laporan Aktivitas PETI di Provinsi Jambi.

Kabupaten Merangin Merupakan Salah Satu JANTUNG WISATA JAMBI, sebuah kawasan yang kini mulai berdetak semakin kencang seiring tumbuhnya perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara. Di sinilah keindahan alam berpadu dengan sejarah geologi dunia, menghadirkan sebuah destinasi yang tidak hanya mempesona mata, tetapi juga memperkaya jiwa. Pesona Merangin dengan Geopark yang telah diakui UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) adalah kebanggaan sekaligus harapan besar bagi masyarakat Jambi. Setiap tebing, sungai, dan batuan di Merangin bukan sekadar bentang alam, melainkan catatan sejarah bumi yang usianya mencapai ratusan juta tahun. Di sinilah wisatawan bisa menemukan fosil flora berusia lebih dari 300 juta tahun, sebuah kekayaan geologi yang tidak dimiliki banyak daerah di dunia.
Kehadiran Geopark Merangin membawa titik terang baru bagi wajah pariwisata Jambi. Jika dahulu Jambi lebih dikenal sebagai daerah penghasil komoditas perkebunan dan energi, maka kini wajahnya mulai bergeser ke arah destinasi wisata yang bernilai tinggi. Panorama sungai Batang Merangin yang menantang untuk dijelajahi, air terjun yang tersembunyi di balik perbukitan hijau, serta desa-desa wisata yang mempertahankan tradisi lokal adalah bukti bahwa Merangin menyimpan harta yang luar biasa. Para pencinta petualangan bisa merasakan derasnya arung jeram, sementara para penikmat ketenangan dapat menemukan harmoni di tengah alam yang masih terjaga.
Peningkatan minat wisatawan ke Provinsi Jambi dalam beberapa tahun terakhir adalah buah dari promosi yang terus digencarkan, baik melalui festival daerah, pameran pariwisata, maupun kehadiran media sosial yang menampilkan potret keindahan Merangin secara visual. Wisatawan dari luar Sumatra semakin banyak yang menjadikan Jambi sebagai pilihan liburan, bukan hanya untuk rekreasi keluarga, tetapi juga untuk penelitian dan wisata edukasi. Bahkan turis mancanegara dengan ketertarikan khusus pada geopark dan keunikan geologi dunia kini mulai berdatangan. Hal ini tentu menjadi sinyal bahwa pariwisata Jambi perlahan memasuki panggung yang lebih luas, bersaing dengan destinasi lain di Indonesia. Tentu saja, geliat ini tidak mungkin berjalan tanpa dukungan berbagai pihak. Salah satu yang memainkan peranan penting adalah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jambi. Melalui jaringan hotel dan restoran yang tersebar di berbagai wilayah, PHRI memastikan para wisatawan yang datang tidak hanya sekadar singgah, tetapi juga merasa nyaman dan ingin kembali. Hotel-hotel di Jambi semakin meningkatkan kualitas pelayanan, memperhatikan standar kebersihan, serta memadukan keramahan lokal dengan standar internasional. Restoran-restoran pun berlomba menghadirkan kuliner khas Jambi dengan sentuhan modern, sehingga setiap wisatawan bisa merasakan pengalaman kuliner yang berkesan. Tidak dapat dipungkiri, kuliner adalah bagian penting dari pariwisata, dan Jambi kaya dengan sajian khas seperti tempoyak, gulai terjun, dan kopi liberika yang mampu memikat lidah siapa saja.
Perkembangan pariwisata Merangin juga berdampak langsung terhadap perekonomian lokal, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. UMKM menjadi salah satu penopang utama dalam ekosistem wisata. Di sekitar Merangin, banyak masyarakat yang kini mengandalkan hidup dari penjualan kerajinan tangan, kuliner tradisional, hingga jasa transportasi dan pemandu wisata. Produk batik Jambi, anyaman bambu, serta kopi Merangin semakin dikenal luas berkat kehadiran wisatawan. Dengan promosi yang tepat, produk-produk UMKM ini tidak hanya laris di pasar lokal, tetapi juga berpeluang menembus pasar nasional bahkan internasional. Setiap wisatawan yang membeli suvenir atau mencicipi makanan tradisional berarti ikut serta dalam menghidupkan ekonomi rakyat.
Pemerintah Provinsi Jambi sendiri tidak tinggal diam. Melalui visi besar “Jambi Mantap 2025-2029: Berdaya Saing dan Berkelanjutan”, pemerintah menetapkan arah pembangunan pariwisata yang jelas. Geopark Merangin ditempatkan sebagai salah satu prioritas unggulan untuk didorong ke tingkat internasional. Prinsip berdaya saing berarti Jambi harus mampu menghadirkan layanan dan fasilitas yang setara bahkan lebih baik dibandingkan destinasi lain di Indonesia. Sementara prinsip berkelanjutan berarti pengembangan wisata tidak boleh merusak alam, melainkan harus menjaga kelestarian lingkungan agar generasi mendatang tetap dapat menikmatinya. Merangin menjadi contoh nyata bagaimana pariwisata bisa dikembangkan dengan tiga pilar utama : konservasi, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi. Wisatawan yang datang bukan hanya menikmati keindahan pemandangan, tetapi juga belajar tentang geologi, kebudayaan lokal, dan pentingnya menjaga lingkungan. Di saat yang sama, masyarakat lokal mendapatkan manfaat ekonomi dengan tetap menjaga kearifan lokal yang menjadi identitas mereka. Dengan sinergi seperti ini, pariwisata Merangin tidak hanya sekadar industri hiburan, melainkan juga sebuah gerakan sosial yang memberi makna lebih dalam.
Sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat adalah kunci keberhasilan ini. Pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator yang menyediakan infrastruktur dan kebijakan. Swasta melalui PHRI dan investor mendukung pembangunan fasilitas penunjang. Masyarakat sendiri menjadi aktor utama yang menjaga dan mengelola destinasi wisata secara langsung. Contoh nyatanya terlihat pada desa wisata yang semakin banyak berkembang di Merangin. Masyarakat menyediakan homestay, paket wisata budaya, hingga sajian kuliner khas, sementara pemerintah memberi pendampingan dan pelatihan. Dengan cara ini, masyarakat bukan hanya penonton, melainkan pemilik sejati pariwisata di tanah mereka sendiri.
Harapan ke depan, Geopark Merangin dapat menjadi ikon pariwisata Jambi yang mendunia. Status sebagai UNESCO Global Geopark harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memperluas jaringan promosi. Namun lebih dari itu, pengakuan dunia ini juga harus menjadi dorongan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Dengan promosi digital yang tepat, Merangin bisa lebih dikenal di kalangan generasi muda global yang gemar mencari destinasi unik. Dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia pariwisata, Merangin mampu memberi pelayanan setara dengan destinasi kelas dunia. Dengan dukungan UMKM, ekonomi masyarakat lokal terus tumbuh seiring meningkatnya kunjungan wisatawan.
Merangin sejatinya adalah jantung wisata Jambi, pusat denyut yang akan menghidupkan pariwisata di provinsi ini. Dari Merangin, geliat wisata bisa menjalar ke daerah lain di Jambi seperti Kerinci dengan Danau Gunung Tujuhnya, Tanjung Jabung dengan wisata mangrove, atau Batanghari dengan sejarahnya. Merangin menjadi pintu gerbang, titik terang yang akan menyalakan cahaya bagi masa depan pariwisata Jambi. Setiap wisatawan yang pulang dari Merangin akan membawa cerita. Cerita tentang sungai deras yang menguji adrenalin, tentang fosil kuno yang mengajarkan sejarah bumi, tentang keramahan masyarakat desa yang menawarkan secangkir kopi hangat, tentang senyum anak-anak yang bangga dengan budaya mereka. Cerita-cerita itu akan menumbuhkan rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu akan mengundang kunjungan baru. Inilah lingkaran kebaikan dari pariwisata yang jika terus dijaga akan menghasilkan manfaat jangka panjang bagi semua pihak.
PENULIS : Titik Terang Geopark Merangin Bukan Sekadar Cahaya Sesaat, Melainkan Cahaya Yang Bisa Menerangi Jalan Jambi Menuju Masa Depan Pariwisata Yang Lebih Cerah. Dengan KOMITMEN Pada Visi Jambi Mantap Berdaya Saing Dan Berkelanjutan, Dengan Dukungan PHRI, Dengan Tumbuhnya UMKM, Dan Dengan Peran Aktif Masyarakat, Geopark Merangin Akan Terus Berdetak Sebagai Jantung Pariwisata Jambi.
OPINI
Paradoks Masa Depan Daerah Penghasil Migas: Politik Fiskal, Data dan DBH
Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP

Akademisi UIN STS Jambi
Provinsi Jambi adalah potret nyata daerah kaya sumber daya yang terjebak dalam paradoks struktural. Minyak dan gas bumi, batu bara, serta crude palm oil (CPO) mengalir deras, menopang energi nasional dan memberi kontribusi besar pada penerimaan negara. Namun, aliran manfaat bagi daerah penghasil tidak sebanding dengan kontribusinya. Dana Bagi Hasil (DBH) migas berfluktuasi, akses terhadap data lifting migas nyaris tertutup, dan formula pembagiannya didesain sepenuhnya di pusat. Ketiganya membentuk simpul persoalan yang bukan sekadar teknis, tetapi juga politis menentukan siapa yang berkuasa atas angka, dan pada akhirnya, siapa yang berkuasa atas fiskal daerah. Kondisi serupa juga dialami oleh daerah penghasil energi terbarukan yang menuntut pembagian pendapatan negara secara lebih adil, sebagaimana diberitakan (https://kompas.id/).
Untuk keluar dari jebakan ini, Jambi membutuhkan terobosan yang menggabungkan transparansi, keadilan, dan kolaborasi. Dialog konstruktif antara pemerintah daerah, legislatif, dan pemerintah pusat menjadi kunci, bukan hanya untuk membuka akses data lifting migas dan meninjau ulang formula DBH, tetapi juga untuk memastikan bahwa kontribusi besar Jambi pada energi nasional berbanding lurus dengan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya. Momentum terpilihnya Gubernur Jambi, Al Haris, sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030 memberi ruang strategis untuk mengangkat isu ini dari sekadar keluhan daerah menjadi agenda nasional yang berpihak pada daerah penghasil.
Faktor Eksternal, Ketidakpastian Fiskal, dan Tantangan Jambi sebagai Daerah Penghasil Migas.
Perekonomian Jambi sangat bergantung pada sektor ekstraktif dan perkebunan. Fluktuasi harga CPO, batu bara, dan migas di pasar global langsung mempengaruhi pendapatan daerah melalui skema DBH. Ketika harga komoditas tersebut menurun, DBH yang ditransfer pemerintah pusat ikut tergerus, membatasi kemampuan fiskal daerah untuk membiayai program prioritas. Khusus sektor migas, tantangan semakin kompleks karena Jambi selama ini hanya menerima royalti tanpa memiliki akses penuh terhadap informasi riil mengenai volume lifting, sehingga proyeksi fiskal daerah kerap berbasis asumsi yang tidak pasti.
Berdasarkan data resmi, Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang diterima Provinsi Jambi menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan dalam periode 2019–2023. Fluktuasi DBH Migas Provinsi Jambi dalam periode 2019–2023 mencerminkan ketergantungan fiskal pada harga komoditas global dan formula pembagian pusat. Pada 2019, total DBH Migas mencapai Rp 1,232 triliun, dengan penerimaan Pemprov sebesar Rp 236,83 miliar ((https://jambiindependent.disway.id)). Tahun 2020 turun menjadi total Rp477,2 miliar, dengan Pemprov menerima Rp95,9 miliar ((https://aksesjambi.com). Tren penurunan berlanjut pada 2021 menjadi total Rp 451,2 miliar dan Pemprov Rp 92 miliar ((https://rri.co.id), membaik pada 2022 menjadi total Rp605 miliar dengan Pemprov Rp 154,2 miliar (https://aksesjambi.com), namun pada 2023 kembali turun menjadi Rp90,5 miliar (https://aksesjambi.com). Fluktuasi ini memperlihatkan rapuhnya ketahanan fiskal Jambi, sejalan dengan defisit APBD tiga tahun berturut-turut.
Fluktuasi ini mencerminkan rapuhnya ketahanan fiskal Jambi yang sangat bergantung pada harga migas global dan formula DBH dari pemerintah pusat yang belum transparan. Kondisi ini sejalan dengan latar belakang masalah defisit APBD Provinsi Jambi yang sudah berlangsung selama tiga tahun berturut-turut, sebagaimana tercermin dalam data keuangan daerah.
Kerangka Hukum Pengelolaan APBD dan Dana Bagi Hasil di Provinsi Jambi.
Pelaksanaan Dana Bagi Hasil (DBH) dan pengelolaan APBD Provinsi Jambi berada dalam koridor hukum yang ketat, berlandaskan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. Khusus DBH Migas, hak daerah penghasil diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD, yang menetapkan alokasi lebih proporsional sesuai jenis penerimaan dan kebutuhan fiskal serta memperkuat desentralisasi fiskal. Penerimaan Provinsi Jambi sangat bergantung pada formula pembagian pemerintah pusat dan data lifting migas dari Kementerian ESDM, keterbatasan akses data ini dapat mempengaruhi perencanaan fiskal dan meningkatkan risiko defisit APBD.
Pengelolaan keuangan daerah juga mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sementara Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dan Permendagri Nomor 84 Tahun 2022 memberikan panduan teknis mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban keuangan.
Selain DBH Migas, DBH Kelapa Sawit diatur oleh UU No. 1 Tahun 2022, dengan alokasi minimal 4% dari pungutan ekspor: 20% untuk provinsi, 60% kabupaten/kota penghasil, dan 20% kabupaten/kota berbatasan langsung (PP No. 38/2023). Formula alokasi umumnya memadukan 90% berdasarkan realisasi penerimaan dan kebutuhan fiskal serta 10% kinerja daerah (Seknas FITRA, 2024), mendorong pemerataan pembangunan dan penguatan kapasitas fiskal.
Seluruh kerangka hukum ini diperkuat di tingkat daerah melalui Perda APBD Provinsi Jambi dan Pergub Penjabaran APBD, yang mengatur perencanaan, penganggaran, pelaksanaan program, hingga evaluasi dan pengawasan. Dengan demikian, pengelolaan APBD, termasuk DBH Migas dan Kelapa Sawit, memiliki payung hukum lengkap, meski transparansi dan akurasi data lifting tetap menjadi tantangan utama.
Preseden Nasional: Kasus Meranti dan Relevansinya bagi Jambi
Kondisi yang dihadapi Jambi sejatinya bukanlah fenomena tunggal. Pada Desember 2022, Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, menyuarakan protes keras kepada pemerintah pusat karena Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang diterima daerahnya tidak sebanding dengan peningkatan produksi minyak. Meski volume lifting meningkat, jumlah DBH yang masuk tetap stagnan. Protes ini dibawa langsung ke Menteri Dalam Negeri dan menjadi sorotan media nasional, menandakan potensi ketegangan fiskal antara daerah penghasil dan pemerintah pusat akibat formula pembagian yang dinilai tidak adil.
Bagi Jambi, kasus Meranti menjadi preseden penting untuk memperjuangkan transparansi data lifting sekaligus mendorong peninjauan ulang formula DBH. Akar persoalan terletak pada sistem hubungan keuangan pusat dan daerah yang belum sepenuhnya berpihak kepada daerah penghasil, khususnya migas dan pertambangan. Pola ini membuat potensi fiskal daerah penghasil menjadi terbatas, meskipun mereka berkontribusi besar terhadap pasokan energi dan pendapatan negara.
Momentum Strategis Kepemimpinan Al Haris di ADPMET
Dalam konteks ketidakpastian penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) migas dan terbatasnya akses daerah terhadap data lifting, terpilihnya Gubernur Jambi, Al Haris, sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030 merupakan momentum strategis yang sarat potensi. ADPMET yang beranggotakan 89 daerah penghasil migas dibentuk sebagai wadah kolektif untuk memperjuangkan transparansi data lifting, reformasi formula DBH, dan kepentingan fiskal daerah penghasil secara bersama (https://adpmet.or.id/profile/sejarah). Kepemimpinan Al Haris di ADPMET membuka peluang konkret untuk:
1. Memperjuangkan keterbukaan data lifting di Kementerian ESDM, sehingga proyeksi pendapatan daerah lebih akurat dan terukur.
2. Mengusulkan reformasi formula DBH berbasis volume produksi riil, bukan semata-mata asumsi pusat, sehingga pembagian dana lebih adil.
3. Mempercepat implementasi Participating Interest (PI) 10% bagi BUMD Jambi, yang dapat meningkatkan kontribusi langsung migas terhadap PAD.
4. Menggalang solidaritas antar daerah penghasil untuk memperkuat posisi tawar bersama terhadap pemerintah pusat dalam negosiasi kebijakan fiskal.
Dengan memanfaatkan kerangka hukum yang telah ada, posisi ini dapat menjadi instrumen efektif bagi Jambi untuk memperkuat advokasi di tingkat nasional, meningkatkan akurasi proyeksi pendapatan, dan memastikan distribusi DBH yang lebih adil. Lebih jauh, langkah ini berpotensi memperkuat kemandirian fiskal daerah dan mengoptimalkan peran sektor migas sebagai penopang pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi.
Arah Kebijakan: Menuju Ketahanan Fiskal dan Kemandirian Ekonomi
Reformasi DBH dan transparansi lifting adalah langkah awal. Keberlanjutan fiskal Jambi memerlukan strategi diversifikasi ekonomi, termasuk pengembangan industri hilir dan energi terbarukan. Dengan memanfaatkan jaringan ADPMET, Jambi berpotensi menjadi pelopor transisi energi yang berkeadilan dan mengurangi ketergantungan pada komoditas primer yang rawan fluktuasi harga.
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketergantungan pada mekanisme pembagian DBH yang tertutup dan berpusat di pemerintah pusat membuat daerah penghasil migas, termasuk Jambi, selalu berada pada posisi lemah dalam menentukan nasib fiskalnya. Potensi energi yang melimpah tidak otomatis menjelma menjadi kemakmuran jika kendali informasi dan formula pembagian tetap dimonopoli pusat.
Kepemimpinan Al Haris di ADPMET membuka ruang langka untuk mengubah peta kekuatan ini. Dengan dukungan legislatif daerah dan jejaring 89 daerah penghasil migas, Jambi memiliki kesempatan strategis untuk memimpin agenda reformasi tata kelola migas nasional. Jika peluang ini dioptimalkan melalui negosiasi berbasis data, reformasi regulasi, dan solidaritas kolektif, bukan hanya Jambi yang akan merasakan manfaatnya, tetapi seluruh daerah penghasil migas di Indonesia. Hal ini akan memberi dampak besar bagi keakuratan perencanaan, keberlanjutan fiskal, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, jika momentum ini terlewat, kita akan kembali pada siklus lama,yaitu daerah kaya sumber daya, tetapi miskin manfaat.