OPINI
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada (Konsep, Sistem dan Pelaksanaannya)

A. Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu adalah sengketa yang terjadi sepanjang Proses Pemilu, sengketa Proses pemilu dalam pengertian pasal 466 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah “Sengketa Proses meliputi Sengketa yang terjadi antar-peserta Pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota”.
Hasil Keputusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu, para pihak dapat mengajukan upaya hukum atas ketidaksetujuannya terhadap putusan tersebut kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Proses penyelesaian sengketa pemilu di Bawaslu adalah 12 hari, mulai dari menerima permohonan penyelesaian sengketa hingga memutus penyelesaian sengketa. Putusan Bawaslu sendiri bersifat final dan binding, kecuali terhadap putusan mengenai verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta penetapan pasangan calon.
Selanjutnya, dalam ketentuan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bahwa Kewenangan Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota diatur lebih jelas dalam ketentuan Pasal 143 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 terakhir diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Dalam proses penanganan Penyelesaian Sengketa Pemilihan terdapat dua pokok permasalahan perselisihan yang timbul yaitu, pertama perselisihan yang terjadi antara peserta Pemilihan dengan peserta Pemilihan; kedua perselisihan yang timbul akibat perselisihan antara Peserta Pemilihan dengan Penyelenggara Pemilihan akibat dikeluarkannya Keputusan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan diluar tindak pidana pemilihan dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota.
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota juga mempunyai kewenangan menyelesaikan Sengketa Proses Pilkada, Kewenangan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (1) UU 6/2020 menjelaskan, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142. Ayat berikutnya menyebutkan, bahwa Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan paling lama 12 (dua belas) hari sejak permohonan diregistrasi.
B. Konsep, Sistem dan Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu/Pilkada
a. Konsep Penyelesaian Sengketa Proses
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada selama ini telah dilaksanakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mulai dari tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yaitu dengan cara menggunakan teknis yang sebut dengan “Mediasi/Musyawarah dan sidang Ajudikasi” dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa proses antar peserta pemilu dan peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu dalam hal ini yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota guna mendapatkan keputusan yang berkepastian hukum dengan menggunakan dan mengedepankan tehnik musyawarah untuk mufakat tanpa merugikan hak-hak kedua belah pihak sehingga hasil dari keputusan yang dikeluarkan oleh pengawas pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat patuhi dan dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa.
Teknik Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada yang mengedepankan Mediasi atau Musyawarah sebagaimana telah dilakukan, memang lebih baik dan tepat digunakan karena penyelesaian suatu perselisihan atau sengketa yang terjadi diselesaikan dengan cara mengedepankan win-win solusion (solusi yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan) yang mana ini lebih bisa diterima oleh masing-masing pihak.
Namun dalam pelaksanaannya selama ini masih terdapat beberapa kekurangan dan permasalahan yang dihadapi oleh Pengawas Pemilu sebagai Mediator maupun sebagai Majelis sidang Adjudikasi dalam menyelesaikan sengketa proses antara lain, Sumber Daya Manusia (SDM) Pengawas Pemilu dan Pilkada yang masih sangat terbatas yaitu kurang mempunyai Pengalaman, jam terbang yang masih sangat terbatas, pelatihan atau peningkatan kompetensi yang masih sangat kurang serta pengetahuan masing-masing Pengawas Pemilu dan Pilkada yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Hal ini tentu sangat mempengaruhi kualitas setiap putusan yang dikeluarkan, sehingga kadang kala keputusan yang di hasilkan oleh lembaga pengawas pemilu dan Pilkada bisa berbeda antara satu dan yang lainnya dengan permasalahan yang hampir sama. Demikian juga selama ini setiap Keputusan yang telah dikeluarkan oleh Lembaga yakni Bawaslu sering kali tidak diterima dan dilakukan banding ke Lembaga Hukum lainnya seperti PTUN dan PT.TUN. Hal ini disebabkan juga tentu oleh banyak faktor akan tetapi salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu Keputusan yang dihasilkan dianggap tidak memuaskan para pihak yang bersengketa, karena mereka mempertanyakan keputusan dihasilkan dari suatu proses yang tidak memiliki kompeten dibidangnya.
Konsep Penyelesaian Sengketa yang saat ini dipakai masih sangat relevan akan tetapi perlu mempersiapkan Pranata dan Perangkat yang mumpuni antara lain, mempersiapkan dengan sistematik alur, proses dan penanganan Penyelesaian Sengketa sehingga dapat di mengerti dan dipahami oleh semua pihak dan tidak menimbulkan multi tafsir dalam pelaksanaannya, Sumber Daya Manusia yang mumpuni yang mempunyai kemampuan sesuai disiplin ilmu yang dibutuhkan, berpengalaman dan mempunyai integritas tinggi yang berkomitmen membangun dan membawa perubahan bagi Demokrasi yang berkualitas. Hal ini penting karena diketahui saat ini masih banyak sekali Penyelenggara Pemilu dan Pilkada yang terbukti melanggar etika penyelenggara pemilu akibat ketidak profesionalitas dan integritas yang tercedrai dalam menjalankan amanah dan ketentuan aturan perundang-undangan.
b. Sistem Penyelesaian Sengketa Proses
Saat ini sistem yang dipakai oleh Bawaslu dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu dan Pilkada adalah sama hal nya yang sering diistilahkan dengan “Peradilan Semu” yang mana tata cara penyelesaian sengketa dengan menggunakan metode Mediasi/Musyawarah dan Sidang Adjudikasi sama halnya seperti prosedur dan tata cara sebagaimana sistem peradilan Tata Usaha Negara.
Akan tetapi yang menjadi persoalan saat ini yaitu pelaksanaannya dilaksanakan oleh lembaga seperti Bawaslu dimana tata cara perekrutan calon penyelenggara pemilu yang nantinya akan menjadi mediator atau majelis sidang diseleksi oleh Tim Seleksi yang sebenarnya jika dilihat dari rekam jejak tidak memiliki pengetahuan dan keilmuan di bidang Kepemiluan bahkan Majelis sidang disetarakan dengan “Hakim” Peradilan yang tentu telah mempunyai keahlian dan kemampuan khusus untuk menangani suatu permasalahan hukum.
Alangkah baiknya kedepan jika dibentuk suatu sistem Peradilan Pemilu, guna menyelesaikan suatu sengketa pemilu dan Pilkada yang secara khusus dibentuk dan dilaksanakan dengan SDM yang sesuai dengan keahliannya.
Sistem Peradilan Pemilu dan Pilkada yang dimaksud yaitu, pertama Kelembagaan Bawaslu mempunyai Biro khusus Peradilan Pemilu dengan SDM yang mempunyai latar belakang hukum, dan mempunyai pengalaman dibidang kepemiluan baik langsung maupun tidak langsung sekurang-kurangnya minimal. 2 (dua) Tahun atau Lebih. kedua dibentuk suatu Peradilan Khusus Pemilu yang terpisah dari Lembaga Bawaslu yang Independen, yang mana pelaksanaan dan Kewenangan terpisah dari Pengawas Pemilu sehingga lebih terfokus dalam menyelesaikan sengketa Pemilu dan Pilkada saja.
Dan ini tentu membutuhkan sistem penyelesaian sengketa yang lebih terarah dan terukur dan melibatkan Sumber Daya Manusia yang mempunyai keahlian dan latar belakang khusus pula.
Dengan demikian, penyelesaian sengketa proses pemilu dan Pilkada bisa lebih komprehensif dan berkepastian hukum karena dilaksanakan oleh lembaga yang berwibawa dan SDM yang profesional dan berkompeten.
c. Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Proses
Dari segi pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada yang selama ini dilakukan di Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota masih memiliki sangat banyak tantangan dan kendala yang dihadapi oleh Pengawas Pemilu dalam praktiknya misalkan pemahaman tentang Regulasi yang multi tafsir, pemahaman regulasi yang berbeda oleh tiap-tiap individu, Kewenangan kelembagaan yang masih sangat lemah, serta kemampuan SDM Pengawas Pemilu khususnya pada tingkat Kabupaten/Kota yang sangat minim dalam hal kompetensi dan profesionalitas dalam menjalankan tufoksi dan kewenangan yang dimiliki sehingga sangat menghambat pelaksanaan penyelesaian sengketa Pemilu dan Pilkada.
Dalam praktiknya seorang Pengawas Pemilu dan Pilkada tentu harus memahami dan mengerti pokok permasalahan yang lebih komprehensif dari segala sudut pandang baik dari pemahaman hukum, sosiologi, psikologi dan kemampuan personal, mempunyai pengalaman serta jam terbang yang tinggi mengenai teknik dan strategi penyelesaian sengketa proses Pemilu dan Pilkada. Tentu ini tidak mudah didapat dalam waktu yang singkat, seperti halnya kata pepatah “bisa karena terbiasa” dalam menyelesaikan suatu sengketa proses Pemilu dan Pilkada tentunya harus didukung dengan kemampuan dan skil secara personal dari seorang Pengawas Pemilu yang mumpuni dapat melaksanakan pekerjaannya secara profesional dan berintegritas.
Seperti layaknya seorang “Hakim Ulung” dalam menyelesaikan suatu perkara atau kasus yang ditangani telah melewati suatu proses pemahaman, penelitian, dan kajian hukum yang mendalam sesuai dengan disiplin ilmu dibidangnya, pengalaman dan jam terbang tinggi dalam menyelesaiakan suatu perkara atau permasalahan hukum agar menghasilkan suatu putusan yang berwibawa dan berkeadilan bagi para pihak.
*( Penulis adalah staf teknis di Sekretariat Bawaslu Provinsi Jambi )
OPINI
Gen Z, Stop Overthinking Soal Jurusan Kuliah

Tidak sedikit dari kita, para Gen Z, yang masih bingung soal masa depan. Mikirin jurusan kuliah, kerja nanti mau jadi apa, atau jalan hidup mana yang paling tepat. Aku pun pernah ada di posisi itu, dan jujur aja, penuh drama.
Dulu aku pengen banget jadi arsitek. Bayangin deh, bikin desain bangunan keren, terus bisa lihat hasil karyaku berdiri megah di tengah kota. Keren banget, kan?
Tapi ternyata hidup punya arah lain. Pas kuliah, aku malah masuk jurusan Mass Communication. Awalnya agak kecewa juga sih, tapi ternyata ini justru salah satu keputusan terbaik yang pernah aku ambil.
Kalau dipikir-pikir, mungkin aku bakal stres berat kalau beneran masuk arsitektur. Ngerjain struktur bangunan, mikirin faktor keamanan, dan tanggung jawab gede? Bisa-bisa tiap malam nggak bisa tidur. Ternyata Mass Comm jauh lebih cocok buat aku.
Dari Hobi Doang, Jadi Serius
Aku dari kecil udah suka banget sama yang namanya bikin konten. Dulu pernah iseng bikin konten gaming di YouTube, vlog santai dan edit video-video, waktu itu sih nggak kepikiran bisa jadi kerjaan beneran. Tapi sejak masuk kuliah, aku baru sadar dunia komunikasi itu luas banget. Ada broadcasting, PR, digital media, advertising, dan banyak lagi. Dan sekarang, bikin konten udah jadi profesi yang nyata banget.
Apalagi pas lihat temen-temen mulai bikin proyek sendiri, mulai dari short movie, vlog, sampai podcast mahasiswa. Itu bikin aku makin semangat. Aku mulai ikutan bikin juga, walaupun masih kecil-kecilan. Tapi rasanya seru, dan di situ aku mulai ngerasa, “Kayaknya ini deh passion ku.”
Saat Merasa Ketinggalan
Tapi namanya juga manusia, kadang overthinking itu datang lagi. Scroll TikTok, lihat temen-temen views-nya ratusan ribu. Buka YouTube, nemu kreator baru yang udah punya jutaan subscriber. IG story temen? Isinya endorse-an semua.
Terus aku mikir, “Kok aku masih gini-gini aja ya?” Padahal aku juga udah coba bikin konten, belajar editing, ngerjain proyek. Tapi tetap aja ngerasa belum cukup. Ditambah lagi kadang ada yang nanya, “Nanti lulus mau jadi wartawan ya?”
Seakan-akan lulusan Mass Comm cuma bisa kerja di media konvensional, padahal sekarang pilihan kariernya banyak banget.
Timeline Tiap Orang Beda-Beda
Sampai akhirnya aku sadar juga, kenapa sih harus selalu ngebandingin diriku sama orang lain? Ada yang sukses di umur 18, ada yang baru nemu jalannya di umur 25.
Yang penting itu bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang konsisten terus belajar dan berkembang. Sejak itu, aku mulai fokus ke proses. Setiap tugas kampus, vlog, atau video promosi yang aku kerjain, aku anggap latihan. Aku belajar hal baru, coba gaya baru, dan ngembangin skill-ku pelan-pelan.
Dan yang paling penting: aku mulai menikmati prosesnya. Aku berhenti mikir kapan bakal sukses, dan lebih fokus nikmatin tiap langkahnya.
Passion vs Prospek? Kenapa Nggak Dua-Duanya
Dulu aku mikir harus pilih salah satu: passion atau prospek. Ternyata, nggak harus gitu. Kuliah di Mass Comm ngasih aku banyak bekal. Aku ngerti gimana komunikasi yang efektif, gimana cara bangun hubungan sama audiens, dan gimana strategi media itu jalan. Itu semua kepake banget buat dunia konten sekarang.
Aku bisa kerja di digital agency, sambil tetap bangun personal brand-ku sendiri atau jadi freelance videographer, sambil bikin konten yang aku suka. Bahkan bisa mulai dari content writer, sambil belajar podcast-an pas weekend. Intinya? Aku bisa punya “kerjaan aman” dan tetap ngejar mimpi.
Mulai dari Sekarang, Bukan Nanti
Buat kamu yang masih galau, jangan tunggu semuanya sempurna dulu. Mulai aja dari yang kamu punya. Punya HP? Bikin konten.Punya laptop? Belajar editing. Punya ide? Tulis, rekam, dan bagikan.
Yang penting itu konsisten, bukan sempurna. Dan terakhir, jangan bandingin hidupmu sama orang lain. Setiap orang punya timing masing-masing, dan kamu juga pasti bakal nemu jalurmu sendiri.
Aku nggak nyangka, dari yang awalnya pengin jadi arsitek, aku malah nemu passion sejati di dunia konten. Hidup emang penuh kejutan. Tapi selama kita siap, terbuka, dan mau jalanin prosesnya, semuanya bakal jadi cerita yang keren.
Karier itu bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling tahan jalanin proses. Jadi daripada sibuk ngebandingin diri sama orang lain, mending fokus aja sama versi terbaik dari dirimu sendiri. Karena mungkin, jurusan yang awalnya kamu anggap “jalan kedua” justru jadi pintu utama menuju hidup yang kamu impikan.
Penulis: Puteri Nazwa Layla, Mass of Communication Student, BINUS UNIVERSITY
OPINI
Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.
Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.
Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.
Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.
Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.
Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.
Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.
Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.
Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.
Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.
Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.
Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.
Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.
Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.
Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.
Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.
Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.
Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.
Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.
Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.
Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.
Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.
Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.
Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.
Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.
Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.
Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.
Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)
*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani
OPINI
Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.
Pandangan Pemangku Kebijakan
Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)
Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara
Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.
Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”
Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.
Tantangan yang Dihadapi
Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.
Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.
Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.
Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial
Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.
Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.
Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)