DETAIL.ID, Merangin – Ketua DPD Apkasindo Merangin, Joko Wahyono melihat masih menumpuknya CPO di Indonesia disebabkan oleh pajak CPO tinggi. Menurutnya sistem atau syarat ekspor pun menyulitkan.
Menurut Joko, ekspor CPO memiliki pajak sampai Rp 14.200/ kilogram. “Tentunya berdampak pada harga TBS yang dipencet oleh PKS,” kata Joko , Kamis 24 Juni 2022, malam.
“Terus regulasi ekspor sulit untuk keluar. Sehingga CPO numpuk. Pemerintah harus bertanggung-jawab. Untuk itu pemerintah harus permudah regulasi ekspor dan turunkan pajak ekspor,” ujarnya.
Ia melanjutkan, masyarakat perlu tahu kenapa harga CPO di pasar global tinggi USD 1,7 atau Rp 25.000/kg. Harga CPO di dalam negeri (KPBN) sangat rendah hingga Rp 10.800/kg. Setara harga TBS di PKS Rp 2.100/kg (rendemen 20%). Misteri di mata publik ini perlu diurai agar jadi bahan informasi edukasi.
Menurutnya, fakta lapangan TBS petani Rp 1.600/kg bahkan banyak di bawahnya. Padahal biaya produksi Rp 1.800/kg. Rugi massal. Bahkan ada yang tidak laku akibat PKS nya tutup, dampak dari tangki timbun CPO nya di PKS masih penuh, akibat belum bisa ekspor. Padahal TBS di Malaysia Rp 5.200/kg.
“Alasan utamanya, pertama, Malaysia punya karakter sama persis dengan Thailand dan Vietnam. Pajak ekspor “diminimalkan” demi kemandirian rakyatnya. Agar produknya bisa bersaing maksimal di pasar global akibat beban bea keluar rendah. Iklim usaha ini mendorong lahirnya pengusaha baru massal. Prosentase jumlah pengusahanya di atas kita,” ujarnya.
Kemudian, ia melanjutkan, pengusaha sebagai pembayar pajak pendukung PDB dan APBN nya agar tinggi. Lowongan kerja jadi banyak, hingga tenaga kerja impor termasuk dari Indonesia (TKI). Contoh hari ini, Malaysia krisis naker 1,2 juta, di dalamnya untuk industri sawit butuh 500.000 naker. Mau didatangkan dari Indonesia.
“Kedua, Indonesia punya karakter sebaliknya dari mereka Malaysia, Thailand dan Vietnam. Pajak dan pungutan ekspor kita ” dimaksimalkan “. Mungkin demi dapat dana untuk bansos dan subsidi. Dampaknya produk kita kalah bersaing di pasar global. Iklim usaha ini mematikan pelaku usaha, contoh petani sawit saat ini,” tuturnya.
Konkretnya, CPO global Rp 25.000 karena pungutan ekspor (PE/BPDPKS), pajak ekspor (Bea Keluar/BK), DMO, DPO dan lainnya. Jadi harganya tinggal Rp 10.800/kg di KPBN. Artinya pemerintah dapat Rp 25.000 – Rp 10.800 = Rp 14.200/kg CPO.
“Kalau volume ekspornya 34 juta ton/tahun sudah jelas dapatnya berapa? Bagaimana nasib petani dan pengusaha industri sawit?” ujarnya bertanya.
Petani, HPP biaya produksinya Rp 1.800 tapi harga di PKS riilnya Rp 1.600. Rugi bangkrut massal. Berdampak serius pada kesejahteraan moril materiilnya. Lebih sejahtera jadi TKI Malaysia di kebun sawit. Dibanding punya kebun 10 ha di Indonesia. Makanya banyak pekerja dan petani jadi TKI Malaysia.
Lalu lahan dan kebun sawit kita terlantar tidak dipanen karena merugi massal. Yang sudah mandiri jadi miskin antri agar dapat jatah bansos subsidi dari tingginya pajak pungutan ekspor. Ada jadi TKI. Lahan ditelantarkan. Industrinya dibangkrutkan massal.
Discussion about this post