DETAIL.ID, Jakarta – Beberapa waktu belakangan ini berhembus kabar kalau pembayaran tarif jaminan kesehatan nasional badan penyelenggara jaminan sosial (JKN BPJS) Kesehatan akan disesuaikan berdasarkan besaran gaji.
Di saat yang sama, beredar juga wacana rencana peleburan kelas rawat inap yang akan diganti dengan kelas standar. Masyarakat diminta untuk memerhatikan dua wacana ini karena hal ini sangat terkait dengan kehidupan masyarakat itu sendiri, terutama untuk sisi kesehatan.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, dalam keterangan resmi yang dilihat detail, Sabtu 27 Juni 2022, menilai rencana kebijakan terkait besaran iuran dan kelas perawatan tersebut seharusnya dijelaskan terbuka. Bahkan, kata dia, rencana itu seharusnya terlebih dulu melibatkan partisipasi publik sebagai pemangku kepentingan atau stakeholders utama BPJS Kesehatan.
“Pasal 30 PP Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Jaminan Kesehatan sebenarnya telah mengatur besaran atau nominal yang harus dibayarkan peserta BPJS. Iuran bagi masyarakat yang berkategori pekerja penerima upah (PPU) besarannya dilakukan penyesuaian berdasar jumlah gaji yang diterima. Di dalamnya terdapat kewajiban pihak Pemberi Kerja melalui penyertaan iuran sebesar 5% dari gaji di mana 4% dibayar pemberi Kerja dan 1% dibayar peserta,” kata Robert.
Jika melihat skema pembayaran tersebut, Robert melihat sebenarnya nominal pembayaran iuran program JKN sudah disesuaikan dengan besaran gaji yang diterima.
“Wacana penyesuaian besaran iuran JKN seturut jumlah gaji menjadi tidak relevan karena sudah diberlakukan dan selama ini berjalan baik-baik saja, terutama iuran kepesertaan dari PPU,” kata dia.
Selanjutnya, ia menjelaskan, bagi peserta BPU (Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja) atau peserta mandiri, nominal besaran iuran disesuaikan dengan kelas perawatan yang dipilih masing-masing peserta. Dari sisi manfaat, ia melihat klaim hak bagi setiap peserta adalah sama, namun dibedakan pada masing-masing kelas berdasarkan kelas perawatan atau ruang rawat inap.
Lalu bagi peserta dari unsur masyarakat yang berkategori PBI (Penerima Bantuan Iuran) pun diatur nominal iuran yang dibayarkan menurut skema bantuan dari pemerintah dengan merujuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial/DTKS.
“Iuran bagi peserta sebesar Rp 42 ribu per orang/bulan dengan manfaat kelas perawatan yang diterima adalah sama dengan kelas III bagi peserta BPU dan BP,” kata dia.
Ia menegaskan kalau sebenarnya besaran iuran telah diatur dan bagi PPU yang nominalnya telah disesuaikan dengan jumlah gaji yang diperoleh oleh masing-masing peserta.
Namun untuk peserta dengan kategori BPU, BP, dan PBI nominal iuran ditentukan berdasarkan kelas perawatan yang diterima oleh peserta.
“Hal ini sudah mencerminkan kesesuaian besaran iuran dengan unsur gaji dan pelayanan manfaat BPJS Kesehatan,” kata anggota Ombudsman yang membidangi maslaah jaminan sosial ini.
Robert meminta agar BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan menyiapkan mekanisme pelayanan terpadu lantaran pelayanan administratif oleh BPJS Kesehatan erat terkait pelayanan pada fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) seperti pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), klinik, maupun rumahsakit.
Ia melihat di lapangan masih saja terjadi maladministrasi pelayanan publik, berupa tidak diberikannya layanan dan diskriminasi perlakukan yang diterima peserta BPJS Kesehatan.
“Ombudsman menerima aneka pengaduan berupa perbedaan layanan antara pasien BPJS dengan Non-BPJS biaya mandiri dan asuransi, ketimpangan yang dirasakan sejak dimulainya pelayanan pada proses antrian, rujukan dan seterusnya,” kata Robert.
Ke depan, ia menyarankan agar prinsip gotong-royong dalam pelaksanaan jaminan sosial harus semakin memperhatikan prinsip keadilan, yaitu perlakuan yang adil dan akses keadilan layanan, tidak menciderai keadilan sosial.
“Besaran iuran BPJS selama ini sudah diatur dan berlaku berdasarkan besaran jumlah gaji. Lalau, rencana peleburan kelas perawatan jangan memunculkan kesan bahwa standardisasi pelayanan membuat peniadaan kelas I, II dan II berubah menjadi kelas rawat inap standar (KRIS),” ujarnya.
Ia mengatakan kalau standardisasi pelayanan itu dapat berlaku secara umum terhadap pelayanan kesehatan dan menjadi suatu bukti pemenuhan prinsip kepesertaan BPJS sebagai hak sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara.
Pihaknya kembali meminta BPJS Kesehatan dan Kemenkes untuk fokus kepada penataan layanan prima dan berkeadilan.
“Terus, kurangi kesenjangan layanan antarpeserta, perbaiki mutu layanan administratif dan rujukan terpadu, perkuat kapasitas SDM dan organisasi kerja guna mendukung perbaikan kualitas layanan dan keselamatan warga,” pinta Robert.
Selain itu, ia juga meminta agar pengelola BPJS terus berkolaborasi dengan unsur pemerintah untuk mewujudkan skema dan skenario bagi warga yang belum menjadi peserta JKN untuk dibuat perencanaan akuisisi kepesertaan menjadi peserta JKN/BPJS Kesehatan.
Robert menekankan kalau wacana penyesuaian iuran berdasarkan gaji adalah hal yang sudah berlaku bagi PPU, tak perlu berulang yang hanya menciderai keadilan bagi rakyat.
“Sedangkan selain PPU (BPU dan BP) yang memang tidak memiliki besaran gaji, iuran tentu tidak dapat disesuaikan dengan jumlah gaji per bulan,” kata Robert.
Karena itu, jika segmen BPU dan BP yang hendak disasar lewat penyesuaian besaran iuran, jalan terbaiknya adalah menghadirkan jaminan atas perbaikan mutu layanan bagi peserta BPJS Kesehatan. “Hal ini guna mengantisipasi berlakunya peleburan kelas rawat yang akan segera diberlakukan,” ujar Robert.
Reporter: Heno
Discussion about this post