OPINI
Ada Bisikan Batu Bara, Alhasil Media Diusir Saat Hendak Meliput

AKTIVITAS batu bara di Provinsi Jambi telah menjadi momok yang tak berkesudahan. Masyarakat Provinsi Jambi mulai semakin menyadari bahwa aktivitas batu bara telah menjadi bahaya laten baru di Provinsi Jambi.
Baik bahaya secara perusakan fisik alam yang akan berakibat buruk secara jangka panjang, kerusakan lingkungan yang berkonsentrasi kemudian menjadi polusi udara, dan berujung pada gangguan pernafasan bagi masyarakat yang ada di sekitar lintasan mobilitas batu bara.
Ada distorsi sistem yang terlanjur terjadi pada jangka waktu pertengahan 2021 sampai sekarang. yang berfokus pada peningkatan hasil batu bara di Jambi yang kemudian terakumulasi, sehingga berujung pada mengkristalnya sistem yang tidak beraturan, sehingga menabrak etika secara etis maupun moral dalam policy-nya.
Akumulasi sistem yang tak beraturan ini dimulai dari semakin masifnya mobilisasi angkutan batu bara, kalau kita hitung dari 15 November 2021 jumlah angkutan batu bara terhitung kurang lebih 5.000 angkutan, namun terhitung masuk pada Oktober 2022 meningkat 200% mencapai 15.000.
Angkutan apa sebenarnya yang melatarbelakangi peningkatan volume mobilisasi angkutan tersebut. Peningkatan mobilisasi batu bara sebesar 200% menjadi tidak wajar karena menurut keyakinan saya 15.000 angkutan berjalan dari Sarolangun, Batanghari, Kota Jambi sampai ke stokpile batu bara Muarojambi di jalan umum dengan infrastruktur yang secara akal sehat sederhana berpikir masyarakat awam, tidak memadai.
Muncul pertanyaan baru setelah kita menelisik jauh lebih dalam, mengapa terjadi peningkatan volume secara masif pada mobilisasi batu bara?
Dan apa motif peningkatan mobilitas batu bara yang pemerintah tahu bahwa infrastruktur jalan kita tak memadai untuk menampung volume angkutan tersebut?
Di tengah mengkristalnya arus angkutan yang begitu besar sehingga mereduksi reaksi arus masyarakat yang berada di pinggir lintasan batu bara dari kabupaten Sarolangun sampai dengan stockpile batu bara yang berada di Muarojambi dengan kapasitas bongkar muat kurang lebih hanya 4.000 angkutan.
Maka tidak heran lalu lintas kita menjadi semeraut dikarenakan badan jalan maupun bahu kanan kiri jalan dibanjiri oleh angkutan batu bara. Dalam kaitannya peristiwa demikian menjadi tanda tanya besar kepada pemerintah Provinsi Jambi dimana bentuk pengawasan dan manajerial pemerintahan terhadap kejadian ini, atau secara tidak langsung sedikit saya ingin rasanya mengatakan ada apa di balik ini semua?
Di tengah arus reaksi masyarakat, pemerintah menjawab kita akan upayakan dan bekerja untuk mengatasi persoalan tersebut, dengan segala macam daya upaya, dari pengurangan mobilitas angkutan dari 15.000 angkutan menjadi 3.500 angkutan, dari pengaturan jam kerja muat sampai bongkar muat, hingga sampai akan membangun jalan khusus batu bara, ini terlihat bahwa realitas, mendahului konsep yang akan dilakukan setelah terakumulasi menjadi konflik sosial dan lingkungan yang mengkristal, di sini akuntabilitas dan ke-integrasian kerja Pemerintah Provinsi Jambi dipertanyakan?
Kemacetan, kecelakaan, keributan di jalan antar supir umum dan supir angkutan, antar angkutan dengan masyarakat kian terjadi silih berganti. Dirlantas Polda jambi mengeluarkan data bahwa kecelakaan lalu lintas akibat angkutan batu bara berjumlah 39 orang meninggal dunia dalam satu tahun selama tahun 2022 akibat mobilitas batu bara yang sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban secara hukum etik dan moral dari pemerintah dan tidak sampai ke meja hijau.
Akibat dari itu semua, hari ini, Jumat, 21 Oktober 2022 di lantai 5 Aula Hotel BW Luxury terjadi rapat penataan angkutan batu bara di Provinsi Jambi dengan nomor surat 225 und/MB 05/DBB.OP/2022 dan ditandatangani langsung Direktur Pembina Pengusaha Batu Bara Kementerian ESDM, Lina Saria, dalam surat ini ada sekitar 68 pengusaha pemilik IUP dan 47 transportir batu bara di dalamnya. Ada juga Gubernur Jambi, Polda Jambi stakeholder yang tidak diketahui dari mana asalnya dan lain-lain.
Awak media di waktu bersamaan mengutip dari “Jambi Ekspres” Jambi Jumat 21 Oktober 2022 pukul 10.37 WIB bahwa terjadi pengusiran ketika media ingin meliput isi percakapan diskusi terkait penataan batu bara di Provinsi Jambi, dalam rangka dapat merilis dan meliput berita agar dapat dikonsumsi publik.
Saya meyakini bahwa tujuan agar publik dapat menangkap langkah apa yang akan ingin dilakukan Pemerintah, Kementerian ESDM untuk mengatur mobilisasi batu bara agar tidak mengganggu aktivitas sosial kemasyarakatan.
Miris rasanya ketika mendengar bahwa ada pengusiran media yang ingin meliput rapat tersebut. Padahal dalam UU pers itu dijamin kebebasannya dalam Pasal 4 UU pers yang berbunyi, “Pers dijamin sebagai asasi warga negara, selain itu pasal 18 ayat 1 UU Pers juga memberikan sanksi bagi orang yang secara melawan hukum tindakan yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan kebebasan pers pasal 4 ayat (2), dan ayat (3), yang lebih mirisnya lagi pengusiran media dikarenakan alasan bahwa media akan melebih-lebihkan berita yang akan dibicarakan di lantai 5 Hotel BW Luxury tersebut.
Mengutip kalimat BJ Habibie, “Kalau bukan anak bangsa ini yang membangun bangsanya, siapa lagi? Jangan Saudara harapkan orang lain untuk membangun bangsa kita.”
*Penulis merupakan tokoh pemuda Jambi.
OPINI
Geopark Merangin: Dari Simbolisme ke Realitas Nyata Pembangunan Daerah
Oleh: Dr. Agus, S.Sos., M. Hum., CIIQA

General Manager UNESCO Global Geopark Merangin Jambi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Unja
Tulisan di Sumateradaily.com yang menyoroti Merangin Jambi UNESCO Global Geopark (MJUGGp) sebagai sekadar proyek simbolisme yang mengabaikan realitas lokal, tampaknya hanya membaca satu sisi kacamata sempit dan mengabaikan fakta-fakta di lapangan. Alih-alih menilai geopark sebagai proyek elitis, realitasnya menunjukkan bahwa geopark justru telah menjadi katalis pembangunan daerah, pemberdayaan masyarakat, serta diplomasi kebudayaan Indonesia di tingkat global.
Pertama, status UNESCO Global Geopark (UGGp) bukan sekadar predikat simbolik, melainkan hasil evaluasi ketat dari lembaga internasional yang mengedepankan prinsip sustainable development mengintegrasikan konservasi, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Kinerja geopark bukanlah kenerja sembilan atau lebih tim Badan pengelola, tetapi kinerja semua stakeholder, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jambi, Pemerintah Kabupaten, Kelompok Masyarakat adat, penggiat wisata, NGO, Perusahaan dan semua pihak terkait lainnya. Menurut UNESCO (2023), geopark adalah living laboratories yang menghubungkan warisan geologi dengan pembangunan berkelanjutan masyarakat. Dengan pengakuan global ini, Merangin kini sejajar dengan geopark lain di dunia seperti Langkawi (Malaysia) dan Jeju (Korea Selatan), Lesvos (Yunani) dan UGGp lainnya, dalam pengelolaannya mencakup 11 Tujuan Pembangunan berkelanjutan, Pariwisata merupakan satu subsector yang harus terus di dorong pengembangannya.
Kedua, argumen bahwa masyarakat lokal diabaikan jelas menyalahi fakta. Pemerintah Kabupaten Merangin melalui Dinas Pariwisata dan stakeholder terkait justru telah melibatkan komunitas lokal dalam berbagai program. Jika ditinjau dari sisi pariwisata, Data dari Dinas Pariwisata Merangin (2023) mencatat setidaknya 15 kelompok sadar wisata (pokdarwis) di sekitar kawasan geopark yang aktif mengelola homestay, kerajinan tangan, hingga jasa pemandu wisata berbasis kearifan lokal. Bahkan, menurut laporan Badan Pengelola MJUGGp (2023), terdapat peningkatan pendapatan rata-rata 20–25% bagi pelaku UMKM di sekitar kawasan geopark sejak status UGGp ditetapkan.
Ketiga, jika dikatakan geopark hanya berhenti pada simbolisme, bagaimana menjelaskan fakta bahwa kawasan ini telah menjadi instrumen diplomasi budaya? Pada sesi General Conference UNESCO di Marokko (2023), kinerja Masyarakat adat di Merangin Jambi Geopark mendapat penghargaan tertinggi “The First Bast Practice Global Geopark Network kategori Mikro Hydro Plant” dipresentasikan sebagai contoh best practice terbaik dunia dalam pengelolaan warisan geologi, bio diversity dan cultural diversity secara nyata yang turun temurun, hal ini telah memperkuat citra Indonesia di panggung internasional. simbolisme semata tentu tidak cukup untuk bisa lolos verifikasi dan diapresiasi dunia ini.
Keempat, narasi bahwa ada realitas lokal yang terabaikan patut ditinjau ulang. Faktanya, geopark justru menjadi instrumen untuk mengatasi ancaman kerusakan lingkungan seperti penambangan emas tanpa izin (PETI) dan deforestasi. Sebagai contoh nyata penanggulangan PETI pada segmen inti Geopark, Badan Pengelola, Polres Merangin dan Pemerintah Kabupaten Merangin telah berhasil menghentikan akivitas PETI dengan cara persuasive yang elegan, begitu juga untuk menahan laju deforetasi dikawasan khususnya di serampas, Masyarakat adat berhasil menahan laju perambahan diwilayah Masyarakat adat serampas. Praktek baik ini terus akan dilakukan dengan penguatan kalborasi yang kuat dengan semua stakeholder.
Dengan kalaborasi multy pihak saling menguatkan geopark tidak mengabaikan realitas, melainkan menghadirkan solusi berbasis konservasi.
Oleh karena itu, menyederhanakan geopark sebagai proyek simbolisme sama artinya dengan menutup mata dari capaian nyata yang telah dihasilkan. Memang, pekerjaan rumah masih ada, termasuk dalam hal infrastruktur penunjang dan distribusi manfaat ekonomi yang lebih merata. Namun, arah kebijakan jelas menunjukkan bahwa Merangin Jambi UGGp bukan proyek elitis, melainkan strategi pembangunan daerah yang berakar pada konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, dan pengakuan dunia.
Geopark Merangin adalah rumah bagi semua dan semua orang, kelompok bisa berkontribusi dalam pengelolaannya baik itu dari fungsi konservasi, edukasi dan pemberdayaan Masyarakat yang harus terus dikelola secara berkelanjutan. Menafikannya hanya sebagai simbol, justru merupakan reduksi berlebihan yang mengaburkan realitas nyata dan mendiskriditkan praktek baik para penggiat, Masyarakat adat dan dan kinerja Masyarakat di tapak yang terus berupaya memuliakan bumi untuk secara bertahap meningkatkan kesejahteraan.
Catatan Sumber Data:
* UNESCO. (2023). UNESCO Global Geoparks.
* Dinas Pariwisata Kabupaten Merangin. (2023). Laporan Tahunan.
* Badan Pengelola MJUGGp. (2023). *Monitoring dan Evaluasi.
* Kementerian ESDM. (2022). Laporan Aktivitas PETI di Provinsi Jambi.

Kabupaten Merangin Merupakan Salah Satu JANTUNG WISATA JAMBI, sebuah kawasan yang kini mulai berdetak semakin kencang seiring tumbuhnya perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara. Di sinilah keindahan alam berpadu dengan sejarah geologi dunia, menghadirkan sebuah destinasi yang tidak hanya mempesona mata, tetapi juga memperkaya jiwa. Pesona Merangin dengan Geopark yang telah diakui UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) adalah kebanggaan sekaligus harapan besar bagi masyarakat Jambi. Setiap tebing, sungai, dan batuan di Merangin bukan sekadar bentang alam, melainkan catatan sejarah bumi yang usianya mencapai ratusan juta tahun. Di sinilah wisatawan bisa menemukan fosil flora berusia lebih dari 300 juta tahun, sebuah kekayaan geologi yang tidak dimiliki banyak daerah di dunia.
Kehadiran Geopark Merangin membawa titik terang baru bagi wajah pariwisata Jambi. Jika dahulu Jambi lebih dikenal sebagai daerah penghasil komoditas perkebunan dan energi, maka kini wajahnya mulai bergeser ke arah destinasi wisata yang bernilai tinggi. Panorama sungai Batang Merangin yang menantang untuk dijelajahi, air terjun yang tersembunyi di balik perbukitan hijau, serta desa-desa wisata yang mempertahankan tradisi lokal adalah bukti bahwa Merangin menyimpan harta yang luar biasa. Para pencinta petualangan bisa merasakan derasnya arung jeram, sementara para penikmat ketenangan dapat menemukan harmoni di tengah alam yang masih terjaga.
Peningkatan minat wisatawan ke Provinsi Jambi dalam beberapa tahun terakhir adalah buah dari promosi yang terus digencarkan, baik melalui festival daerah, pameran pariwisata, maupun kehadiran media sosial yang menampilkan potret keindahan Merangin secara visual. Wisatawan dari luar Sumatra semakin banyak yang menjadikan Jambi sebagai pilihan liburan, bukan hanya untuk rekreasi keluarga, tetapi juga untuk penelitian dan wisata edukasi. Bahkan turis mancanegara dengan ketertarikan khusus pada geopark dan keunikan geologi dunia kini mulai berdatangan. Hal ini tentu menjadi sinyal bahwa pariwisata Jambi perlahan memasuki panggung yang lebih luas, bersaing dengan destinasi lain di Indonesia. Tentu saja, geliat ini tidak mungkin berjalan tanpa dukungan berbagai pihak. Salah satu yang memainkan peranan penting adalah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jambi. Melalui jaringan hotel dan restoran yang tersebar di berbagai wilayah, PHRI memastikan para wisatawan yang datang tidak hanya sekadar singgah, tetapi juga merasa nyaman dan ingin kembali. Hotel-hotel di Jambi semakin meningkatkan kualitas pelayanan, memperhatikan standar kebersihan, serta memadukan keramahan lokal dengan standar internasional. Restoran-restoran pun berlomba menghadirkan kuliner khas Jambi dengan sentuhan modern, sehingga setiap wisatawan bisa merasakan pengalaman kuliner yang berkesan. Tidak dapat dipungkiri, kuliner adalah bagian penting dari pariwisata, dan Jambi kaya dengan sajian khas seperti tempoyak, gulai terjun, dan kopi liberika yang mampu memikat lidah siapa saja.
Perkembangan pariwisata Merangin juga berdampak langsung terhadap perekonomian lokal, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. UMKM menjadi salah satu penopang utama dalam ekosistem wisata. Di sekitar Merangin, banyak masyarakat yang kini mengandalkan hidup dari penjualan kerajinan tangan, kuliner tradisional, hingga jasa transportasi dan pemandu wisata. Produk batik Jambi, anyaman bambu, serta kopi Merangin semakin dikenal luas berkat kehadiran wisatawan. Dengan promosi yang tepat, produk-produk UMKM ini tidak hanya laris di pasar lokal, tetapi juga berpeluang menembus pasar nasional bahkan internasional. Setiap wisatawan yang membeli suvenir atau mencicipi makanan tradisional berarti ikut serta dalam menghidupkan ekonomi rakyat.
Pemerintah Provinsi Jambi sendiri tidak tinggal diam. Melalui visi besar “Jambi Mantap 2025-2029: Berdaya Saing dan Berkelanjutan”, pemerintah menetapkan arah pembangunan pariwisata yang jelas. Geopark Merangin ditempatkan sebagai salah satu prioritas unggulan untuk didorong ke tingkat internasional. Prinsip berdaya saing berarti Jambi harus mampu menghadirkan layanan dan fasilitas yang setara bahkan lebih baik dibandingkan destinasi lain di Indonesia. Sementara prinsip berkelanjutan berarti pengembangan wisata tidak boleh merusak alam, melainkan harus menjaga kelestarian lingkungan agar generasi mendatang tetap dapat menikmatinya. Merangin menjadi contoh nyata bagaimana pariwisata bisa dikembangkan dengan tiga pilar utama : konservasi, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi. Wisatawan yang datang bukan hanya menikmati keindahan pemandangan, tetapi juga belajar tentang geologi, kebudayaan lokal, dan pentingnya menjaga lingkungan. Di saat yang sama, masyarakat lokal mendapatkan manfaat ekonomi dengan tetap menjaga kearifan lokal yang menjadi identitas mereka. Dengan sinergi seperti ini, pariwisata Merangin tidak hanya sekadar industri hiburan, melainkan juga sebuah gerakan sosial yang memberi makna lebih dalam.
Sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat adalah kunci keberhasilan ini. Pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator yang menyediakan infrastruktur dan kebijakan. Swasta melalui PHRI dan investor mendukung pembangunan fasilitas penunjang. Masyarakat sendiri menjadi aktor utama yang menjaga dan mengelola destinasi wisata secara langsung. Contoh nyatanya terlihat pada desa wisata yang semakin banyak berkembang di Merangin. Masyarakat menyediakan homestay, paket wisata budaya, hingga sajian kuliner khas, sementara pemerintah memberi pendampingan dan pelatihan. Dengan cara ini, masyarakat bukan hanya penonton, melainkan pemilik sejati pariwisata di tanah mereka sendiri.
Harapan ke depan, Geopark Merangin dapat menjadi ikon pariwisata Jambi yang mendunia. Status sebagai UNESCO Global Geopark harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memperluas jaringan promosi. Namun lebih dari itu, pengakuan dunia ini juga harus menjadi dorongan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Dengan promosi digital yang tepat, Merangin bisa lebih dikenal di kalangan generasi muda global yang gemar mencari destinasi unik. Dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia pariwisata, Merangin mampu memberi pelayanan setara dengan destinasi kelas dunia. Dengan dukungan UMKM, ekonomi masyarakat lokal terus tumbuh seiring meningkatnya kunjungan wisatawan.
Merangin sejatinya adalah jantung wisata Jambi, pusat denyut yang akan menghidupkan pariwisata di provinsi ini. Dari Merangin, geliat wisata bisa menjalar ke daerah lain di Jambi seperti Kerinci dengan Danau Gunung Tujuhnya, Tanjung Jabung dengan wisata mangrove, atau Batanghari dengan sejarahnya. Merangin menjadi pintu gerbang, titik terang yang akan menyalakan cahaya bagi masa depan pariwisata Jambi. Setiap wisatawan yang pulang dari Merangin akan membawa cerita. Cerita tentang sungai deras yang menguji adrenalin, tentang fosil kuno yang mengajarkan sejarah bumi, tentang keramahan masyarakat desa yang menawarkan secangkir kopi hangat, tentang senyum anak-anak yang bangga dengan budaya mereka. Cerita-cerita itu akan menumbuhkan rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu akan mengundang kunjungan baru. Inilah lingkaran kebaikan dari pariwisata yang jika terus dijaga akan menghasilkan manfaat jangka panjang bagi semua pihak.
PENULIS : Titik Terang Geopark Merangin Bukan Sekadar Cahaya Sesaat, Melainkan Cahaya Yang Bisa Menerangi Jalan Jambi Menuju Masa Depan Pariwisata Yang Lebih Cerah. Dengan KOMITMEN Pada Visi Jambi Mantap Berdaya Saing Dan Berkelanjutan, Dengan Dukungan PHRI, Dengan Tumbuhnya UMKM, Dan Dengan Peran Aktif Masyarakat, Geopark Merangin Akan Terus Berdetak Sebagai Jantung Pariwisata Jambi.
OPINI
Paradoks Masa Depan Daerah Penghasil Migas: Politik Fiskal, Data dan DBH
Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP

Akademisi UIN STS Jambi
Provinsi Jambi adalah potret nyata daerah kaya sumber daya yang terjebak dalam paradoks struktural. Minyak dan gas bumi, batu bara, serta crude palm oil (CPO) mengalir deras, menopang energi nasional dan memberi kontribusi besar pada penerimaan negara. Namun, aliran manfaat bagi daerah penghasil tidak sebanding dengan kontribusinya. Dana Bagi Hasil (DBH) migas berfluktuasi, akses terhadap data lifting migas nyaris tertutup, dan formula pembagiannya didesain sepenuhnya di pusat. Ketiganya membentuk simpul persoalan yang bukan sekadar teknis, tetapi juga politis menentukan siapa yang berkuasa atas angka, dan pada akhirnya, siapa yang berkuasa atas fiskal daerah. Kondisi serupa juga dialami oleh daerah penghasil energi terbarukan yang menuntut pembagian pendapatan negara secara lebih adil, sebagaimana diberitakan (https://kompas.id/).
Untuk keluar dari jebakan ini, Jambi membutuhkan terobosan yang menggabungkan transparansi, keadilan, dan kolaborasi. Dialog konstruktif antara pemerintah daerah, legislatif, dan pemerintah pusat menjadi kunci, bukan hanya untuk membuka akses data lifting migas dan meninjau ulang formula DBH, tetapi juga untuk memastikan bahwa kontribusi besar Jambi pada energi nasional berbanding lurus dengan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya. Momentum terpilihnya Gubernur Jambi, Al Haris, sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030 memberi ruang strategis untuk mengangkat isu ini dari sekadar keluhan daerah menjadi agenda nasional yang berpihak pada daerah penghasil.
Faktor Eksternal, Ketidakpastian Fiskal, dan Tantangan Jambi sebagai Daerah Penghasil Migas.
Perekonomian Jambi sangat bergantung pada sektor ekstraktif dan perkebunan. Fluktuasi harga CPO, batu bara, dan migas di pasar global langsung mempengaruhi pendapatan daerah melalui skema DBH. Ketika harga komoditas tersebut menurun, DBH yang ditransfer pemerintah pusat ikut tergerus, membatasi kemampuan fiskal daerah untuk membiayai program prioritas. Khusus sektor migas, tantangan semakin kompleks karena Jambi selama ini hanya menerima royalti tanpa memiliki akses penuh terhadap informasi riil mengenai volume lifting, sehingga proyeksi fiskal daerah kerap berbasis asumsi yang tidak pasti.
Berdasarkan data resmi, Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang diterima Provinsi Jambi menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan dalam periode 2019–2023. Fluktuasi DBH Migas Provinsi Jambi dalam periode 2019–2023 mencerminkan ketergantungan fiskal pada harga komoditas global dan formula pembagian pusat. Pada 2019, total DBH Migas mencapai Rp 1,232 triliun, dengan penerimaan Pemprov sebesar Rp 236,83 miliar ((https://jambiindependent.disway.id)). Tahun 2020 turun menjadi total Rp477,2 miliar, dengan Pemprov menerima Rp95,9 miliar ((https://aksesjambi.com). Tren penurunan berlanjut pada 2021 menjadi total Rp 451,2 miliar dan Pemprov Rp 92 miliar ((https://rri.co.id), membaik pada 2022 menjadi total Rp605 miliar dengan Pemprov Rp 154,2 miliar (https://aksesjambi.com), namun pada 2023 kembali turun menjadi Rp90,5 miliar (https://aksesjambi.com). Fluktuasi ini memperlihatkan rapuhnya ketahanan fiskal Jambi, sejalan dengan defisit APBD tiga tahun berturut-turut.
Fluktuasi ini mencerminkan rapuhnya ketahanan fiskal Jambi yang sangat bergantung pada harga migas global dan formula DBH dari pemerintah pusat yang belum transparan. Kondisi ini sejalan dengan latar belakang masalah defisit APBD Provinsi Jambi yang sudah berlangsung selama tiga tahun berturut-turut, sebagaimana tercermin dalam data keuangan daerah.
Kerangka Hukum Pengelolaan APBD dan Dana Bagi Hasil di Provinsi Jambi.
Pelaksanaan Dana Bagi Hasil (DBH) dan pengelolaan APBD Provinsi Jambi berada dalam koridor hukum yang ketat, berlandaskan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. Khusus DBH Migas, hak daerah penghasil diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD, yang menetapkan alokasi lebih proporsional sesuai jenis penerimaan dan kebutuhan fiskal serta memperkuat desentralisasi fiskal. Penerimaan Provinsi Jambi sangat bergantung pada formula pembagian pemerintah pusat dan data lifting migas dari Kementerian ESDM, keterbatasan akses data ini dapat mempengaruhi perencanaan fiskal dan meningkatkan risiko defisit APBD.
Pengelolaan keuangan daerah juga mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sementara Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dan Permendagri Nomor 84 Tahun 2022 memberikan panduan teknis mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban keuangan.
Selain DBH Migas, DBH Kelapa Sawit diatur oleh UU No. 1 Tahun 2022, dengan alokasi minimal 4% dari pungutan ekspor: 20% untuk provinsi, 60% kabupaten/kota penghasil, dan 20% kabupaten/kota berbatasan langsung (PP No. 38/2023). Formula alokasi umumnya memadukan 90% berdasarkan realisasi penerimaan dan kebutuhan fiskal serta 10% kinerja daerah (Seknas FITRA, 2024), mendorong pemerataan pembangunan dan penguatan kapasitas fiskal.
Seluruh kerangka hukum ini diperkuat di tingkat daerah melalui Perda APBD Provinsi Jambi dan Pergub Penjabaran APBD, yang mengatur perencanaan, penganggaran, pelaksanaan program, hingga evaluasi dan pengawasan. Dengan demikian, pengelolaan APBD, termasuk DBH Migas dan Kelapa Sawit, memiliki payung hukum lengkap, meski transparansi dan akurasi data lifting tetap menjadi tantangan utama.
Preseden Nasional: Kasus Meranti dan Relevansinya bagi Jambi
Kondisi yang dihadapi Jambi sejatinya bukanlah fenomena tunggal. Pada Desember 2022, Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, menyuarakan protes keras kepada pemerintah pusat karena Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang diterima daerahnya tidak sebanding dengan peningkatan produksi minyak. Meski volume lifting meningkat, jumlah DBH yang masuk tetap stagnan. Protes ini dibawa langsung ke Menteri Dalam Negeri dan menjadi sorotan media nasional, menandakan potensi ketegangan fiskal antara daerah penghasil dan pemerintah pusat akibat formula pembagian yang dinilai tidak adil.
Bagi Jambi, kasus Meranti menjadi preseden penting untuk memperjuangkan transparansi data lifting sekaligus mendorong peninjauan ulang formula DBH. Akar persoalan terletak pada sistem hubungan keuangan pusat dan daerah yang belum sepenuhnya berpihak kepada daerah penghasil, khususnya migas dan pertambangan. Pola ini membuat potensi fiskal daerah penghasil menjadi terbatas, meskipun mereka berkontribusi besar terhadap pasokan energi dan pendapatan negara.
Momentum Strategis Kepemimpinan Al Haris di ADPMET
Dalam konteks ketidakpastian penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) migas dan terbatasnya akses daerah terhadap data lifting, terpilihnya Gubernur Jambi, Al Haris, sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030 merupakan momentum strategis yang sarat potensi. ADPMET yang beranggotakan 89 daerah penghasil migas dibentuk sebagai wadah kolektif untuk memperjuangkan transparansi data lifting, reformasi formula DBH, dan kepentingan fiskal daerah penghasil secara bersama (https://adpmet.or.id/profile/sejarah). Kepemimpinan Al Haris di ADPMET membuka peluang konkret untuk:
1. Memperjuangkan keterbukaan data lifting di Kementerian ESDM, sehingga proyeksi pendapatan daerah lebih akurat dan terukur.
2. Mengusulkan reformasi formula DBH berbasis volume produksi riil, bukan semata-mata asumsi pusat, sehingga pembagian dana lebih adil.
3. Mempercepat implementasi Participating Interest (PI) 10% bagi BUMD Jambi, yang dapat meningkatkan kontribusi langsung migas terhadap PAD.
4. Menggalang solidaritas antar daerah penghasil untuk memperkuat posisi tawar bersama terhadap pemerintah pusat dalam negosiasi kebijakan fiskal.
Dengan memanfaatkan kerangka hukum yang telah ada, posisi ini dapat menjadi instrumen efektif bagi Jambi untuk memperkuat advokasi di tingkat nasional, meningkatkan akurasi proyeksi pendapatan, dan memastikan distribusi DBH yang lebih adil. Lebih jauh, langkah ini berpotensi memperkuat kemandirian fiskal daerah dan mengoptimalkan peran sektor migas sebagai penopang pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi.
Arah Kebijakan: Menuju Ketahanan Fiskal dan Kemandirian Ekonomi
Reformasi DBH dan transparansi lifting adalah langkah awal. Keberlanjutan fiskal Jambi memerlukan strategi diversifikasi ekonomi, termasuk pengembangan industri hilir dan energi terbarukan. Dengan memanfaatkan jaringan ADPMET, Jambi berpotensi menjadi pelopor transisi energi yang berkeadilan dan mengurangi ketergantungan pada komoditas primer yang rawan fluktuasi harga.
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketergantungan pada mekanisme pembagian DBH yang tertutup dan berpusat di pemerintah pusat membuat daerah penghasil migas, termasuk Jambi, selalu berada pada posisi lemah dalam menentukan nasib fiskalnya. Potensi energi yang melimpah tidak otomatis menjelma menjadi kemakmuran jika kendali informasi dan formula pembagian tetap dimonopoli pusat.
Kepemimpinan Al Haris di ADPMET membuka ruang langka untuk mengubah peta kekuatan ini. Dengan dukungan legislatif daerah dan jejaring 89 daerah penghasil migas, Jambi memiliki kesempatan strategis untuk memimpin agenda reformasi tata kelola migas nasional. Jika peluang ini dioptimalkan melalui negosiasi berbasis data, reformasi regulasi, dan solidaritas kolektif, bukan hanya Jambi yang akan merasakan manfaatnya, tetapi seluruh daerah penghasil migas di Indonesia. Hal ini akan memberi dampak besar bagi keakuratan perencanaan, keberlanjutan fiskal, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, jika momentum ini terlewat, kita akan kembali pada siklus lama,yaitu daerah kaya sumber daya, tetapi miskin manfaat.