Aturan yang beliau maksud salah satunya yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 3 tahun 2022 perihal Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Rikrik menyoroti aturan itu cuma mengendalikan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan. Padahal, konsumsi minyak paling besar berasal dari minyak curah. Selain itu, harga crude palm oil (CPO) secara global pun berkembangyang mengakibatkan harga minyak goreng secara berbarengan naik. Termasuk harga minyak goreng curah.
“Permendag No 3 (tahun 2022), minyak goreng curah tidak dikelola (HET-nya), yang terjadi konsumsi Indonesia itu paling banyak (migor) curah, sekitar 60-70 persen dan 30-40 persen (migor) premiumnya. Karena harga di Januari 2022 (migor) bungkus Rp14 ribu dan curah Rp18 ribu, barang yang mutu dianggap lebih manis harganya lebih irit biaya,” ujar Rikrik di Jakarta Selatan, Minggu, 15 Januari 2023.
Menurutnya, akibat harga minyak goreng bungkus lebih hemat ongkos daripada harga migor curah, penduduk pun melaksanakan rush buying hingga tanpa sadar menimbun. Terlebih, menurutnya, kelangkaan ini hanya terjadi di retail modern.
“Terjadi rush buying di ritel terbaru dan habis dalam waktu cepat. Sehingga seakan-akan terjadi kelangkaan, sebab orang enggak ada yang hendak beli lagi minyak curah,” katanya.
Rikrik melanjutkan kebijakan pemerintah itu pun tidak mampu menuntaskan dilema peningkatan harga dan kelangkaan minyak goreng. Sebaliknya, intervensi yang dilakukan pemerintah justru menimbulkan ketidakpastian di pasar domestik dan memperparah kondisi di penduduk .
Ia pun menilai Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak menimbang-nimbang kebijakan pemerintah selaku akar persoalan kelangkaan minyak goreng tahun kemudian.
“Dalam persoalan ini, KPPU telah mengabaikan tugas kebijakan pemerintah yang menjadi akar masalah dan hanya menuduh terhadap produsen yang tunduk pada kebijakan pemerintah selaku penyebab peningkatan harga dan kelangkaan minyak goreng,” lontar Rikrik.
KPPU sebelumnya menerka ada penetapan harga minyak goreng yang dikerjakan oleh 27 perusahaan dari 13 kalangan usaha yang berlawanan, dengan lima perusahaan di antaranya berasal dari Grup Wilmar. Jejaring jualan ini lazimdisebut kartel.
Selain itu, para terlapor juga diduga melanggar Pasal 19 abjad c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan melakukan pembatasan peredaran dan atau penjualan minyak goreng kemasan yang terjadi secara berbarengan dalam waktu yang serupa pada era bulan Januari 2022 hingga Mei 2022.
Hal itu jadi salah satu yang disebut KPPU mengakibatkan kelangkaan minyak goreng tahun lalu. Namun kuasa aturan Grup Wilmar Farid Nasution berpendapat banyaknya jumlah terlapor dalam problem ini menciptakan kartel penetapan harga menjadi sungguh sukar atau bahkan mustahil dilaksanakan.
“Hal ini diperkuat dengan keterangan para saksi yang telah dihadirkan di persidangan baik oleh Investigator maupun Terlapor yang mengaku tidak mengenali adanya koordinasi antara usahawan untuk mengoptimalkan harga jual,” ungkap Farid.
Farid melanjutkan, Investigator KPPU juga tidak bisa pertanda bahwa pembatasan peredaran minyak goreng dilaksanakan oleh produsen. Sebab, produsen minyak goreng tidak memiliki kendali atas rantai distribusi minyak goreng yang begitu panjang. Rantai ini dimulai dari produsen, distributor, sub-agen, biro, pedagang grosir, swalayan/supermarket, penjualeceran, sampai dengan konsumen final.
“Berdasarkan isu saksi-saksi di persidangan, peningkatan harga dan kelangkaan minyak goreng bukan karena persoalan produksi, namun karena kenaikan harga CPO, penerapan HET, dan kendala distribusi. Tidak ada saksi yang menyampaikan kelangkaan karena produsen menahan pasokan,” tandas Farid.