Dalam Pasal 173 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, syarat parpol mengikuti pemilu salah satunya memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk di kabupaten/kota.
Menurut Yusril, hukum ini tidak sepenuhnya masuk nalar. Karena, tak semua wilayah punya banyak penduduk, sementara parpol yang mendaftar puluhan.
“Kalau kita bicara jujur, semua partai diverifikasi, betul-betul diverifikasi kasatmata, tidak ada satu partai pun yang lolos,” ujar Yusril di Jakarta, Rabu (11/1).
Rumitnya syarat verifikasi faktual parpol peserta pemilu ini membuka celah adanya kecurangan. Partai Ummat contohnya, diduga dijegal agar tak lolos dalam verifikasi peserta Pemilu 2024. Sejumlah anggota KPU daerah mengaku ada intimidasi dari KPU sentra semoga tak meloloskan partai besutan Amien Rais itu.
Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat biasa (RDPU) antara Komisi II DPR dengan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih, terungkap dugaan kecurangan semoga Partai Gelora diloloskan jadi penerima pemilu.
Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengamini syarat verifikasi positif parpol calon peserta pemilu dalam UU Pemilu rumit dan berat.
Menurutnya, syarat keanggotaan yang tercantum dalam UU Pemilu hanya mampu diraih oleh parpol besar.
“Syarat verifikasi kita itu memang tidak cuma rumit, namun juga berat. Ya, rumit dan berat. Saya setuju itu memang demikian, jadi hanya parpol yang telah langsung besar, punya pengurus di mana mana, punya anggota di mana mana,” kata Hadar ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (12/1).
Mantan komisioner KPU itu menuturkan, pada 2014, cuma parpol yang benar-benar menyanggupi syarat verifikasi konkret yang lolos selaku penerima pemilu. Menurutnya, saat itu hanya ada 10 parpol yang dinyatakan lolos selaku penerima Pemilu 2014.
Kemudian, ada embel-embel empat parpol yang kesannya dinyatakan lolos sesudah lewat proses sengketa.
“Di era kami waktu itu cuma 10 parpol yang lolos alasannya adalah kami betul-betul ketat. Kurang satu, ya kurang. Untuk pertama kali paling rendah dibandingkan pemilu sebelumnya,” ujarnya.
Hadar pun mengira dikala ini ada kecurangan yang dilakukan KPU. Kecurangan itu berbentukpemaksaan anggota KPUD biar meloloskan sejumlah partai politik pada Pemilu 2024.
Ia berpendapat dugaan kecurangan yang sempat disampaikan di Komisi II dewan perwakilan rakyat bahkan cuma sebagian saja.
“Dugaan kami mereka melakukan kecurangan. Di Komisi II itu cuma sebagian saja. Teman-sahabat di daerah yang bahwasanya menolak itu tidak berani untuk memberikan dan melaporkan sebab mereka ditekan, dianggap justru membuka informasi, melaporkannya justru dianggap pengkhianat. Orang yang ingin berkata jujur justru dibilang pengkhianat,” kata ia.
Sederhanakan syarat verifikasi aktual
Hadar mengatakan syarat verifikasi kasatmata perlu disederhanakan untuk menutupi celah kecurangan. Menurutnya, UU Pemilu cukup menertibkan hal-hal yang penting saja.
“Misalnya kepengurusan keanggotaan itu tidak butuhsebanyak sekarang atau cukup diadministrasikan saja pengecekannya. Karena kita tahu persyaratan ini sungguh susah akhirnya kita ini cari jalan untuk ngakalinnya curang-curang,” ucapnya.
Selain itu, KPU cukup mengevaluasi keanggotaan parpol pada tingkat pengurus parpol saja. Menurut Hadar, pengecekan anggota satu per satu di tiap kabupaten/kota dikala ini mengakibatkan manipulasi data.
Ia juga mengatakan tak perlu memaksakan parpol yang memang tak menyanggupi syarat untuk mengikuti pemilu nasional. Ia menuturkan parpol tersebut bisa mengikuti pemilu di tingkat tempat terlebih dulu.
“Kalau toh memang segitu, kita sarankan saja mereka memiliki sekian keanggotaan di sekian provinsi saja. Dia mampu di pemilu di tempat itu saja. Tidak perlu mengikuti syarat nasional terus ikut pemilu di semua daerah,” kata Hadar.
Hadar pun berharap kalau ketentuan ini mau diubah, revisi UU Pemilu dijalankan sedini mungkin sebelum pemilu setuturnya digelar.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati juga menyatakan syarat verifikasi nyata di UU Pemilu sangat berat. Menurut perempuan yang erat disapa Ninis itu, KPU hanya mengerjakan amanat undang-undang.
Ia pun setuju syarat verifikasi positif parpol harus dibuat lebih sederhana. Ia menyampaikan parpol tak harus dipaksakan mengikuti pemilu nasional.
“Syarat parpol menjadi akseptor pemilu lebih baik disederhanakan. Tidak mesti parpol itu pribadi punya kantor di seluruh provinsi. Misalnya, bila beliau baru timbul di beberapa kabupaten/kota tidak apa-apa tetapi ikut pemilunya berjenjang. Misal ikut pemilu di kabupaten/kota dulu, kemudian kalau telah terbukti mampu bangku kemudian naik ke provinsi lama-lama ke nasional,” kata Ninis.
Ninis berpendapat penyederhanaan syarat parpol jadi peserta pemilu bisa meminimalisasi kecurangan.
Menurut beliau, parpol cukup menunjukkan bahwa mereka mempunyai dukungan dari rakyat sesuai ‘harga’ kursi di tiap daerah penyeleksian.
“Kalau misal harga ‘kursi’ 5.000 ya, tunjukkan beliau mesti punya pertolongan 5.000 untuk memberikan nanti jika ikut pemilu ada yang milih,” ucapnya.
Ninis menyampaikan syarat yang berat di UU Pemilu memang bermaksud untuk menyaring jumlah parpol peserta pemilu. Namun, pada praktiknya banyak parpol yang dinyatakan lolos sebagai penerima pemilu.
(lna/tsa)