PERKARA
Terduga Pelaku Pencabulan Membantah, Kuasa Hukum Korban: Itu Tak Mengurangi Substansi Pidananya
DETAIL.ID, Jambi – Alur cerita dugaan kasus pencabulan yang menyeret terduga pelaku RDS seorang oknum anggota di Polres Tebo dengan wanita inisial ANS masih belum beranjak pada titik terang.
Belum lama ini muncul pula klarifikasi dari RDS pada beberapa media massa, dimana RDS membantah semua tuduhan yang disampaikan oleh ANS lewat kuasa hukumnya soal dugaan pencabulan itu.
Mulai dari iming-iming soal pekerjaan di salah satu instansi tempat RDS bertugas, kemudian ajakan terhadap ANS untuk nginap di hotel, hingga dua kali aksi pencabulan dimana salah satunya berhasil. Semua dibantah.
Kalau yang benar itu menurut RDS, hubungan suami istri antara mereka berdua hanya terlaksana sebanyak 1 kali. Mereka terbawa suasana dan itupun atas dasar mau sama mau. Yang kemudian cerita selanjutnya mengarah pada dugaan pemerasan oleh ANS dengan dalih permintaan tanggung jawab pada RDS sebagaimana riwayat chat WhassApp antara keduanya yang juga beredar di medsos.
“Jadi hampir semua keterangan yang disampaikan itu bertolak belakang. Banyak cerita yang tidak sebenarnya dan dibuat-buat,” kata RDS pada wartawan, belum lama ini.
Setelah klarifikasi RDS viral di media sosial, kuasa hukum ANS pun merespon klarifikasi RDS. Frandy Septior Nababan menanggapi bahwa hak RDS untuk menyampaikan hak jawabnya. Namun terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan.
“Itu perlu klarifikasi, enggak ada persoalan pemerasan. Pertama kali dia (korban/kliennya) minta tanggungjawab. Dan itu foto yang beredar, itu foto orang lain bukan klien kami,” ujar Frandy, baru-baru ini.
RDS disebut tak kunjung memenuhi permintaan pertanggungjawaban dari ANS. Bahkan Frandy menilai bahwa RDS sendirilah yang menafsirkan permintaan pertanggungjawaban sebagai ganti rugi.
“Videonya itu ada dia yang di Polres dimediasi dibuat perjanjian, ada si korban ada si pelaku ada lagi polisi di situ. Di situ nampak kok, dia minta pertanggungjawaban tapi yang menarasikan ganti rugi justru si polisinya,” katanya.
Kuasa hukum ANS itu pun menilai bahwa terdapat beberapa fakta-fakta yang terlewat yang tidak disampaikan oleh RDS secara terbuka.
Soal riwayat pesan WA diantara keduanya, dimana tampak narasi pemerasan yang blak-blakan hendak dilakukan oleh ANS. Frandi juga punya pembelaan soal ini.
Menurut dia, narasi chat kliennya tersebut adalah bentuk kekesalan karena pertanggungjawaban dari RDS tak kunjung tiba. Malah RDS berujar untuk ganti rugi untuk menyelesaikan persoalan mereka.
“Aku memang morot-moroti kau kok. Itu nada-nada kesalnya si cewe. Karena enggak bisa lagi dia bilang apa-apa,” katanya.
Nominal ganti rugi senilai Rp 200 juta pun juga ikut dibantah, kalau menurut Frandi nominalnya hanya Rp 20 juta, itupun untuk biaya kuliah ANS dan adiknya.
Meski begitu Frandi menghargai klarifikasi RDS. Menurut dia itu memang bagian dari hak jawab RDS selaku pihak yang diduga melakukan pencabulan terhadap kliennya.
“Memang dia punya hak. Tapi apa yang disampaikan itu kami juga punya alasan konkret untuk membantah itu,” katanya.
Lalu apabila dugaan asusila yang terjadi pada RDS dan ANS terjadi atas dasar mau sama mau sebagaimana keterangan RDS. Akan bagaimana ujung cerita kasus ini?
Frandi menyampaikan bahwa apa yang telah disampaikan oleh RDS dalam klarifikasinya pada beberapa media sama sekali tidak mengurangi substansi pidananya yakni Pasal 6 ayat 1 huruf c UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Ada beberapa unsur yang menurutnya sebenarnya sudah sudah terpenuhi dalam kasus ini. Semacam hubungan tertentu di antara keduanya.
“Jadi karna ada hubungan tertentu, ini bisa ditafsirkan ada hubungan yang baik, iyakan. Ada hal-hal yang bisa dipercayai itu substansi dari Pasal 6 itu. Jadi memang UU TPKS ini agak berbeda dengan KUHP. Kalau KUHP, mau sama mau dulu narasinya itu ga dipidana. Sepanjang dia tidak mempunyai hubungan suami istri atau hubungan pernikahan dengan orang lain,” ujarnya.
Selanjutnya menyalahgunakan hubungan tertentu. Jadi karena dia polisi, kata Frandi, jadi ini dia kena. “Karena dia polisi, kalau dia sadar di situ, ngapain dicabulinya? Ngapain dia tidur di situ?” katanya.
Bagaimana dengan saksi dalam kasus ini? Frandi juga menjelaskan bahwa Pasal 25 UU TPKS, sudah menegaskan bahwa pengakuan korban sudah cukup untuk jadi saksi.
“Karna orang bisanya melakukan hubungan seksual enggak mungkin ngundang orang. Nah itu cukup itu ada pasal 25, tinggal dibarengi dengan alat bukti lain. Ya sudah kita tentukan. Itu udah 2 alat bukti, belum lagi bukti lain berupa chat,” katanya.
Kasus ini pun dinilai jadi paradigma baru bagi masyarakat, sebab pacaran masuk dalam unsur hubungan tertentu dan soal mau sama mau dalam hubungan seksual tak selamanya bisa jadi dalih untuk lolos dari jerat hukum.
Untuk kasus kliennya Frandi pun berharap penyidik kepolisian profesional dalam mengusut kasus ini.
“Kawan-kawan penegak hukum kan memang itu tugasnya supaya membuat ini terang. Tugas kami sebagai pengacara juga untuk mendorong kepolisian untuk membuat ini terang dengan sebagaimana keadilan yang dirasakan oleh klien kami,” katanya.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Arief Efendi Terdakwa Korupsi di Kasus Bank Jambi Akui Perbuatannya, Minta Keringanan Hukum

DETAIL.ID, Jambi – Arief Efendi, salah satu terdakwa perkara korupsi gagal bayar Medium Term Note (MTN) Bank Jambi dengan PT SNP masih menghadapi serangkaian persidangan di Pengadilan Tipikor Jambi.
Sosok terdakwa yang sempat buron kemudian ditangkap tim Pidsus Kejati Jambi pada 13 Desember 2024 lalu itu kini menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa pada Selasa, 1 Juli 2025.
Di persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Syafrizal Fakhmi, terdakwa mengakui perbuatannya. Ia juga mengaku menyesal. Dirinya juga mengaku telah menyerahkan nilai kerugian negara sebesar Rp 1,7 miliar pada penyidik.
“Saya mengakui yang mulia (semua isi BAP). Uang Rp 1,7 miliar juga sudah saya kembalikan,” ujar terdakwa Arief di persidangan.
Dalam pernyataannya pada JPU. Arief pun tampak mengeluarkan air mata seraya memohon keringanan hukum atas perbuatannya.
“Banyak peristiwa yang sudah saya alami. Saya mohon keringanan,” ujarnya.
Usai sidang, JPU Suryadi dikonfirmasi mengakui bahwa sudah ada penitipan uang kerugian negara dari terdakwa sebesar Rp 1,7 miliar. Nilai itu disebut berasal dari fee (kutipan) tidak resmi yang dilakukan terdakwa dalam proses pencairan MTN PT SNP pada Bank Jambi tahun 2017 – 2018. Adapun duit itu kini berada di rekening penitipan Kejari Jambi.
“Pada intinya, si terdakwa mengakui terkait apa yang diperbuatnya. Sementara uang tersebut dititip di rekening kejaksaan,” ujar Suryadi.
Dengan pengakuan dan segala fakta persidangan yang didapati sejauh ini, JPU mengaku bakal jadi pertimbangan dalam tuntutan yang bakal bergulir dua pekan ke depan.
Sementara penasihat hukum terdakwa Azuri Nasution berharap ada keringanan hukum bagi kliennya lantaran sikap kooperatif dan pengembalian kerugian juga sudah dilakukan.
Dalam kasus ini, Arif, mantan Kepala Divisi Fixed Income PT MNC Sekuritas didakwa secara bersama-sama dengan terpidana Yunsak El Halcon yang telah divonis penjara selama 13 tahun, Dadang Suryanto (divonis 9 tahun) dan Andri Irvandi (divonis 13 tahun), serta terdakwa Leo Darwin (tahap kasasi).
Telah melakukan tindak pidana korupsi terkait gagal bayar pembelian Medium Term Note (MTN) PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) pada tahun 2017–2018 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 310.118.271.000.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Hasil TPPU, BPN Ungkap Tek Hui Punya Tanah 2.857 Meter Persegi di Muarojambi

DETAIL.ID, Jambi – Terdakwa perkara narkotika Dedi Susanto alias Tek Hui kembali menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jambi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Kali ini sidang Tek Hui kedatangan saksi dari BPN Muarojambi yakni Muhammad Andri. Dirinya menyebut bahwa terdakwa Tek Hui memiliki tanah di Desa Lopak Alai, Kecamatan Kumpeh Ulu seluas 2.857 meter persegi.
“Dibeli milik Haireni pada tanggal 19 Juli 2024,” ujar Andri di persidangan.
Aset tanah tersebut menurut saksi lengkap dengan SHM. Dan telah dilakukan balik nama atas nama Dedi Susanto. Dia pun sudah punya sertifikat elektronik atas aset tanah yang didakwa sebagai hasil TPPU. Dia mengurus aset tanah tersebut dengan menggunakan surat kuasa pada orang lain.
“Dia (Tek Hui) beli Rp 200 juta,” katanya.
Penuntut umum kembali mencecar soal kepemilikan tanah atas nama Haireni sebelum dijual pada Tek Hui. Soal ini, Andri bilang, Haireni sebelumnya membeli tanah tersebut dari orang lain pada rentang 2017.
“Kalau pemilik sebelumnya, tidak tahu,” katanya.
Adapun aset tanah dengan nomor SHM 00430 atas nama Dedi Susanto tersebut kini jadi salah satu bukti dalam perkara TPPU yang dilakukan oleh Tek Hui.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Masyarakat Transmigrasi Mengaku Lahannya Dicaplok PT Makin Alias PSJ, Kakantah BPN Klaim HGU Aman dari Kawasan

DETAIL.ID, Jambi – Perkara korupsi penggunaan kawasan hutan dalam perkebunan PT Produk Jambi Sawitindo (PSJ) masih terus bergulir dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor Jambi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 3 warga Batangasam, Tanjungjabung Barat yakni Sairan, Suratin, dan Untung Basuki. Ketiganya merupakan masyarakat transmigran asal Jawa yang ditempatkan di Jambi dalam program transmigrasi 1994.
Di persidangan, ketiga warga transmigrasi tersebut mengaku bahwa mereka hanya dapat lahan untuk pekarangan (LU1) dari pemerintah. Total 50 KK masyarakat transmigrasi disebut tak pernah mendapatkan lahan untuk usaha pertanian atau perkebunan (LU2) yang diperuntukkan bagi mereka. Dari seharusnya 50 KK tersebut dapat masing-masing 1 hektare.
“Lahannya dikuasai Makin (PSJ), Pak. Enggak ada dapat hasilnya. Mulai tahun 2002 kalau enggak salah. 2005 mulai panen, yang memanen pihak PSJ,” ujar Sairan, dibenarkan oleh saksi lainnya di persidangan.
Menurut saksi, saat itu Kepala Desa Mereka di Dusun Kebun yakni Syafii pernah menawarkan kepada warga agar lahan peruntukan transmigrasi tersebut dimitrakan. Mereka pun menyetujui, namun tak pernah menerima hasilnya.
Ketua Majelis Hakim, Syafrizal Fakhmi lantas menanyakan apa upaya para warga transmigrasi untuk memperoleh kembali lahan yang memang diperuntukkan bagi mereka.
“Kami mengajukan ke Kades. Alhamdulilah tahun 2008 ada BPN masuk ngukur, cuma sampai sekarang enggak ada (hasil). Cuma dulu itu katanya akan diselesaikan. Tapi sampai sekarang tidak ada (penyelesaian),” ujarnya.
Selain itu para warga juga mengaku telah membawa permasalahan itu kepada Timdu Kabupaten Tanjungjabung Barat pada 2019. Namun tidak ada hasil konkret hingga saat ini.
Dalam persidangan JPU juga menghadirkan Kepala BPN Tanjungjabung Barat periode 2023 hingga saat ini yakni Idian Huspida. Hakim lantas mencecar apakah terdapat Izin Lokasi yang diterbitkan pada rentang 2005?
Idian mengaku dia tidak tahu jelas, lantaran kala itu dia baru pindah ke BPN Tanjungjabung Barat.
Di persidangan pun terungkap bahwa HGU PT PSJ baru terbit pada 2015. Terdapat 2 HGU yang diterbitkan berdasarkan izin lokasi dari Bupati Tanjungjabung Barat. Dari izin lokasi yang disetujui mencapai 20 ribu hektare, terbit HGU PT PSJ yakni HGU Nomor 50 dan 51 dengan luasan 1.044 hektare dan 200 hektare.
Majelis Hakim kembali bertanya, apakah Idian selaku Kakantah BPN Tanjungjabung Barat pernah dilibatkan dalam rapat-rapat penyelesaian konflik PT PSJ dengan Koperasi Harapan Maju, KUD Payung Sakti dan masyarakat transmigrasi? Soal ini, Idian mengaku belum pernah.
Bahkan ia mengaku baru mengetahui permasalahan tersebut saat pemeriksaan kasus ini bergulir oleh Kejari Tanjungjabung Barat. Dia juga mengklaim bahwa 2 HGU PT PSJ yang terbit pada 2015 aman, alias tidak menyerobot kawasan hutan. Lantaran telah dilakukan overlay atas peta kawasan.
Sementara untuk lahan peruntukan transmigrasi seluas 50 hektare yang disebut-sebut berada dalam HGU PT PSJ. Menurut Idian, hal itu menjadi kewenangan kabupaten dalam artian subjek menjadi kewenangan Pemkab kemudian pihaknya melakukan identifikasi atas surat dan objeknya. Ketika ada permohonan baru diterbitkan sertifikat.
“Selama belum ada permohonan, BPN tidak akan menerbitkan sertifikat,” ujar Idian.
Hakim kembali mencecar bagaimana memastikan bahwa pada HGU yang diterbitkan atas nama PSJ tidak mencaplok kawasan hutan terlebih lagi lahan peruntukan masyarakat. Soal ini Kakantah BPN Tanjungjabung Barat tersebut tidak dapat memberi penjelasan rinci, dia hanya berdalih bahwa telah dilakukan olverlay kawasan bersama Dinas Kehutanan untuk verifikasi.
“Siapa yang bisa memastikan. Bapak bilang tidak, Bapak kan saksi fakta. Kalau kita mau cari fakta, harus bisa dibuktikan bahwa itu memang tidak masuk kawasan hutan atah lahan trans. Ada titik koordinatnya, lengkap,” ujar hakim.
Usai sidang, Idian ketika hendak dikonfirmasi lebih lanjut tampak mengelak. Dia tidak mau direkam. Namun dia yakin bahwa HGU yang terbit pada 2015 atas nama PJS tersebut berada di luar kawasan hutan dan di luar lahan peruntukan masyarakat transmigrasi.
Terkait kesaksian warga yang mengaku lahannya dikuasai oleh Koperasi Harapan Maju dengan PSJ, Idian menyebut bahwa objek lahan masyarakat transmigrasi masih akan dicari keberadaannya oleh pihaknya.
Reporter: Juan Ambarita