PUTRA bungsuku dianugerahi wajah yang cakep, kulit putih dan mata sipit. Persis muka Chinesse. Tidak salah kemudian ketika masuk sekolah sering dibully. Dipanggil yang menyakitkan hati. “Chino..Chino”. Sebuah ungkapan dan panggilan yang membuat dia marah.
Tidak salah kemudian sehari masuk sekolah kemudian langsung berkelahi. Sang pembully kemudian dihajar mukanya. Konon jatuh terjengkang.
Kamipun dipanggil. Setahu kami, dia bukanlah anak yang suka ganggu orang. Sehari-hari pendiam. Bahkan kalaupun tidak ditanya, diapun tidak banyak bercerita.
Tentu saja keheranan itulah yang membuat kami penasaran. Mengapa sehari sekolah sudah berkelahi.
Sambil berbisik, “Dia ganggu adek, ya. Adek dak suka pipi Dedek dicubit-cubit. Kata mama, Adek dak boleh diam. Kalau cowok, tinju be. Kalo cewek, memang dak boleh,” katanya menjelaskan.
Kami pun paham. Dia menunjukkan ketidaksukaan. Tentu saja menyelesaikan dengan cara jantan.
Bahkan dia melanjutkan “Kalau orangnya besar, lawan pakai Kayu,” lanjutnya.
Sekali lagi kami maklum. Mengerti sikap dan cara ditunjukkan. Dia tidak boleh diremehkan. Dan dia tidak boleh cengeng.
“Anak cowok dak boleh nangis,” pesan istriku di suatu waktu.
Ya. Si bungsu telah menunjukkan sikapnya. Dia menyelesaikan masalahnya dengan caranya sendiri. Bekal untuk menghadapi hidup. Seorang cowok tidak boleh cengeng. Tidak boleh menunjukkan kelemahan. Apalagi menangis.
Kisah si bungsu tentu menginspirasi saya untuk melihat kondisi politik. Ketika dia kemudian kalah, kemudian menunjukkan ketidakmampuan yang diraihnya, kemudian malah menjadi “playing victim”. Seakan-akan “menjadi korban”. Cengeng dan kemudian menyalahkan pihak yang lain.
Tentu saja menggunakan cara drama Korea. Yang mendayu-dayu.
Padahal berpolitik dibutuhkan sikap yang Kuat, mental yang Tangguh. Dan sama sekali tidak menunjukkan “kelemahan”. Apalagi kemudian bersikap cengeng. Untuk menutupi kegagalan terhadap keinginan politik yang hendak diraihnya.
Tidak lupa kemudian air mata kemudian berderai.
Bagaimana mau menjadi pemimpin? Jangankan bertanding, memasuki arenapun menunjukkan kegamangan untuk bertanding.
Bagaimana pula harus menjelaskan program-progam yang hendak diusung? Pekerjaan sekaligus prestasi yang diraihpun tidak pernah dijelaskan kepada orang banyak.
Lalu apakah seorang cowok tidak boleh menangis? Yap. Setiap orang boleh menangis. Setiap orang berhak untuk merasakan kesedihan.
Namun yang tidak boleh, seorang pemimpin tidak boleh menunjukkan kelemahan. Apalagi sampai menangis.
Jangankan pemimpin politik, seorang kepala rumah tanggapun harus menunjukkan ketegaran terhadap persoalan rumah tangga. Dia sama sekali tidak boleh menunjukkan kelemahan. Apalagi kemudian menyerah.
Bahkan dia harus menyepi. Untuk menangisi kesedihannya. Sedapat mungkin hanya orang tertentu yang boleh melihatnya.
Ah. Kondisi politik yang terjadi sama sekali jauh dari bayanganku.
Atau mungkin sebaiknya dia malah harus belajar sama si bungsu. Seorang lelaki tangguh yang sama sekali tidak menunjukkan kelemahannya. Dan dia menunjukkan cara bagaimana menyelesaikan masalahnya sendiri.
*Advokat Jambi yang juga Direktur Media Haris-Sani
Discussion about this post