OPINI
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada (Konsep, Sistem dan Pelaksanaannya)

A. Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu adalah sengketa yang terjadi sepanjang Proses Pemilu, sengketa Proses pemilu dalam pengertian pasal 466 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah “Sengketa Proses meliputi Sengketa yang terjadi antar-peserta Pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota”.
Hasil Keputusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu, para pihak dapat mengajukan upaya hukum atas ketidaksetujuannya terhadap putusan tersebut kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Proses penyelesaian sengketa pemilu di Bawaslu adalah 12 hari, mulai dari menerima permohonan penyelesaian sengketa hingga memutus penyelesaian sengketa. Putusan Bawaslu sendiri bersifat final dan binding, kecuali terhadap putusan mengenai verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta penetapan pasangan calon.
Selanjutnya, dalam ketentuan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bahwa Kewenangan Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota diatur lebih jelas dalam ketentuan Pasal 143 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 terakhir diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Dalam proses penanganan Penyelesaian Sengketa Pemilihan terdapat dua pokok permasalahan perselisihan yang timbul yaitu, pertama perselisihan yang terjadi antara peserta Pemilihan dengan peserta Pemilihan; kedua perselisihan yang timbul akibat perselisihan antara Peserta Pemilihan dengan Penyelenggara Pemilihan akibat dikeluarkannya Keputusan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan diluar tindak pidana pemilihan dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota.
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota juga mempunyai kewenangan menyelesaikan Sengketa Proses Pilkada, Kewenangan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (1) UU 6/2020 menjelaskan, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142. Ayat berikutnya menyebutkan, bahwa Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan paling lama 12 (dua belas) hari sejak permohonan diregistrasi.
B. Konsep, Sistem dan Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu/Pilkada
a. Konsep Penyelesaian Sengketa Proses
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada selama ini telah dilaksanakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mulai dari tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yaitu dengan cara menggunakan teknis yang sebut dengan “Mediasi/Musyawarah dan sidang Ajudikasi” dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa proses antar peserta pemilu dan peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu dalam hal ini yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota guna mendapatkan keputusan yang berkepastian hukum dengan menggunakan dan mengedepankan tehnik musyawarah untuk mufakat tanpa merugikan hak-hak kedua belah pihak sehingga hasil dari keputusan yang dikeluarkan oleh pengawas pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat patuhi dan dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa.
Teknik Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada yang mengedepankan Mediasi atau Musyawarah sebagaimana telah dilakukan, memang lebih baik dan tepat digunakan karena penyelesaian suatu perselisihan atau sengketa yang terjadi diselesaikan dengan cara mengedepankan win-win solusion (solusi yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan) yang mana ini lebih bisa diterima oleh masing-masing pihak.
Namun dalam pelaksanaannya selama ini masih terdapat beberapa kekurangan dan permasalahan yang dihadapi oleh Pengawas Pemilu sebagai Mediator maupun sebagai Majelis sidang Adjudikasi dalam menyelesaikan sengketa proses antara lain, Sumber Daya Manusia (SDM) Pengawas Pemilu dan Pilkada yang masih sangat terbatas yaitu kurang mempunyai Pengalaman, jam terbang yang masih sangat terbatas, pelatihan atau peningkatan kompetensi yang masih sangat kurang serta pengetahuan masing-masing Pengawas Pemilu dan Pilkada yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Hal ini tentu sangat mempengaruhi kualitas setiap putusan yang dikeluarkan, sehingga kadang kala keputusan yang di hasilkan oleh lembaga pengawas pemilu dan Pilkada bisa berbeda antara satu dan yang lainnya dengan permasalahan yang hampir sama. Demikian juga selama ini setiap Keputusan yang telah dikeluarkan oleh Lembaga yakni Bawaslu sering kali tidak diterima dan dilakukan banding ke Lembaga Hukum lainnya seperti PTUN dan PT.TUN. Hal ini disebabkan juga tentu oleh banyak faktor akan tetapi salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu Keputusan yang dihasilkan dianggap tidak memuaskan para pihak yang bersengketa, karena mereka mempertanyakan keputusan dihasilkan dari suatu proses yang tidak memiliki kompeten dibidangnya.
Konsep Penyelesaian Sengketa yang saat ini dipakai masih sangat relevan akan tetapi perlu mempersiapkan Pranata dan Perangkat yang mumpuni antara lain, mempersiapkan dengan sistematik alur, proses dan penanganan Penyelesaian Sengketa sehingga dapat di mengerti dan dipahami oleh semua pihak dan tidak menimbulkan multi tafsir dalam pelaksanaannya, Sumber Daya Manusia yang mumpuni yang mempunyai kemampuan sesuai disiplin ilmu yang dibutuhkan, berpengalaman dan mempunyai integritas tinggi yang berkomitmen membangun dan membawa perubahan bagi Demokrasi yang berkualitas. Hal ini penting karena diketahui saat ini masih banyak sekali Penyelenggara Pemilu dan Pilkada yang terbukti melanggar etika penyelenggara pemilu akibat ketidak profesionalitas dan integritas yang tercedrai dalam menjalankan amanah dan ketentuan aturan perundang-undangan.
b. Sistem Penyelesaian Sengketa Proses
Saat ini sistem yang dipakai oleh Bawaslu dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu dan Pilkada adalah sama hal nya yang sering diistilahkan dengan “Peradilan Semu” yang mana tata cara penyelesaian sengketa dengan menggunakan metode Mediasi/Musyawarah dan Sidang Adjudikasi sama halnya seperti prosedur dan tata cara sebagaimana sistem peradilan Tata Usaha Negara.
Akan tetapi yang menjadi persoalan saat ini yaitu pelaksanaannya dilaksanakan oleh lembaga seperti Bawaslu dimana tata cara perekrutan calon penyelenggara pemilu yang nantinya akan menjadi mediator atau majelis sidang diseleksi oleh Tim Seleksi yang sebenarnya jika dilihat dari rekam jejak tidak memiliki pengetahuan dan keilmuan di bidang Kepemiluan bahkan Majelis sidang disetarakan dengan “Hakim” Peradilan yang tentu telah mempunyai keahlian dan kemampuan khusus untuk menangani suatu permasalahan hukum.
Alangkah baiknya kedepan jika dibentuk suatu sistem Peradilan Pemilu, guna menyelesaikan suatu sengketa pemilu dan Pilkada yang secara khusus dibentuk dan dilaksanakan dengan SDM yang sesuai dengan keahliannya.
Sistem Peradilan Pemilu dan Pilkada yang dimaksud yaitu, pertama Kelembagaan Bawaslu mempunyai Biro khusus Peradilan Pemilu dengan SDM yang mempunyai latar belakang hukum, dan mempunyai pengalaman dibidang kepemiluan baik langsung maupun tidak langsung sekurang-kurangnya minimal. 2 (dua) Tahun atau Lebih. kedua dibentuk suatu Peradilan Khusus Pemilu yang terpisah dari Lembaga Bawaslu yang Independen, yang mana pelaksanaan dan Kewenangan terpisah dari Pengawas Pemilu sehingga lebih terfokus dalam menyelesaikan sengketa Pemilu dan Pilkada saja.
Dan ini tentu membutuhkan sistem penyelesaian sengketa yang lebih terarah dan terukur dan melibatkan Sumber Daya Manusia yang mempunyai keahlian dan latar belakang khusus pula.
Dengan demikian, penyelesaian sengketa proses pemilu dan Pilkada bisa lebih komprehensif dan berkepastian hukum karena dilaksanakan oleh lembaga yang berwibawa dan SDM yang profesional dan berkompeten.
c. Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Proses
Dari segi pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada yang selama ini dilakukan di Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota masih memiliki sangat banyak tantangan dan kendala yang dihadapi oleh Pengawas Pemilu dalam praktiknya misalkan pemahaman tentang Regulasi yang multi tafsir, pemahaman regulasi yang berbeda oleh tiap-tiap individu, Kewenangan kelembagaan yang masih sangat lemah, serta kemampuan SDM Pengawas Pemilu khususnya pada tingkat Kabupaten/Kota yang sangat minim dalam hal kompetensi dan profesionalitas dalam menjalankan tufoksi dan kewenangan yang dimiliki sehingga sangat menghambat pelaksanaan penyelesaian sengketa Pemilu dan Pilkada.
Dalam praktiknya seorang Pengawas Pemilu dan Pilkada tentu harus memahami dan mengerti pokok permasalahan yang lebih komprehensif dari segala sudut pandang baik dari pemahaman hukum, sosiologi, psikologi dan kemampuan personal, mempunyai pengalaman serta jam terbang yang tinggi mengenai teknik dan strategi penyelesaian sengketa proses Pemilu dan Pilkada. Tentu ini tidak mudah didapat dalam waktu yang singkat, seperti halnya kata pepatah “bisa karena terbiasa” dalam menyelesaikan suatu sengketa proses Pemilu dan Pilkada tentunya harus didukung dengan kemampuan dan skil secara personal dari seorang Pengawas Pemilu yang mumpuni dapat melaksanakan pekerjaannya secara profesional dan berintegritas.
Seperti layaknya seorang “Hakim Ulung” dalam menyelesaikan suatu perkara atau kasus yang ditangani telah melewati suatu proses pemahaman, penelitian, dan kajian hukum yang mendalam sesuai dengan disiplin ilmu dibidangnya, pengalaman dan jam terbang tinggi dalam menyelesaiakan suatu perkara atau permasalahan hukum agar menghasilkan suatu putusan yang berwibawa dan berkeadilan bagi para pihak.
*( Penulis adalah staf teknis di Sekretariat Bawaslu Provinsi Jambi )


SETIAP tahun, suasana Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu dirayakan dengan gegap gempita di berbagai daerah. Namun, ada ironi besar di balik semua itu. Semangat merayakan hari lahir Rasulullah sering kali hanya berhenti pada simbol, tidak menembus ke substansi.
Rasulullah SAW bukanlah figur yang gemar pada kemewahan perayaan. Beliau diutus membawa risalah kebenaran, menegakkan amanah, kejujuran, dan keadilan. Yang beliau wariskan bukanlah seremonial kosong, melainkan teladan akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman para pemimpin umat, termasuk pemimpin daerah kita.
Padahal, inti dari peringatan Maulid bukanlah sekadar mendengar ceramah atau memajang baliho besar gambar Kepala Daerah di masjid. Inti Maulid adalah meneguhkan kembali teladan Rasulullah:
1. Amanah dalam kepemimpinan;
Rasulullah menunjukkan bahwa jabatan adalah titipan, bukan alat memperkaya diri atau keluarga. Kepala daerah hari ini mestinya meneladani itu, memastikan setiap rupiah APBD digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperbesar rekening pribadi.
2. Kejujuran dalam setiap kebijakan;
Rasulullah tidak pernah berbohong meski dalam perkara kecil. Pemimpin seharusnya berani berkata jujur pada rakyat: tentang kondisi keuangan daerah, tentang keterbatasan, bahkan tentang kegagalan. Bukan malah menutup-nutupi dengan angka manipulatif demi pencitraan.
3. Kesederhanaan hidup;
Rasulullah hidup sederhana, bahkan ketika memiliki peluang untuk kaya raya. Sedangkan para kepala daerah kita sering kali larut dalam gaya hidup mewah: mobil dinas berderet, perjalanan dinas berulang, pesta perayaan digelar besar-besaran, sementara rakyat kecil masih kesulitan biaya pendidikan dan kesehatan.
Jika para kepala daerah benar-benar ingin menjadikan Maulid sebagai momen penting, seharusnya mereka tidak hanya sibuk di atas panggung, tapi juga menjadikan amanah dan kejujuran sebagai kompas kepemimpinan sehari-hari. Tidak ada artinya mengeluarkan kata-kata manis tentang Rasulullah jika kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat.
Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang paling dicintai rakyat karena keadilannya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyat karena kezalimannya.
Pertanyaannya: apakah kepala daerah hari ini sudah berada di jalan yang benar? Ataukah mereka hanya menumpang nama Rasulullah untuk memperindah citra di depan rakyat?
Maulid seharusnya menjadi alarm moral: jangan sibuk dengan perayaan tapi lalai dari keteladanan.
Jadikanlah Rasulullah sebagai teladan dalam kejujuran, jadilah pemimpin yang Al-Amin bukan yang Al-Korup. Sebab, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah panggung megah dan sambutan panjang, melainkan pemimpin yang benar-benar meneladani sifat Al-Amin, Amanah, Jujur, dan Adil.
*Pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi

FENOMENA Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti), bukanlah terjadi baru-baru ini saja. Sejak transmigrasi masuk, sudah banyak bekas galian PETI di sepanjang lokasi yang dijadikan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Renah Pamenang, Pamenang Selatan misalnya, bekas galian para warga yang mencari butiran emas bisa disaksikan secara kasat mata. Hanya saja cara mereka awalnya hanya mengunakan dulang atau alat tradisional yang digunakan untuk memisahkan butiran pasir dan buliran emas, cara mereka menggalinya pun mengunakan alat sederhana seperti linggis.
Namun memasuki tahun 2010, aktivitas PETI berubah total, dari yang awalnya tradisional, berubah mengunakan mesin dan merambah mengunakan alat berat sampai sekarang.
Tapi diakui atau tidak, di Provinsi Jambi, aktivitas peti khususnya di Jambi Wilayah Barat, seperti Tebo, Muara Bungo, Merangin, dan Sarolangun aktivitas PETI terus terjadi, namun pola-pola yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan emas dilakukan dengan tiga cara, seperti dompeng darat, lanting, dan menggunakan box
Dompeng darat, biasanya oknum masyarakat mencari emas menggunakan alat berat dengan cara mengali tanah dengan kedalam tertentu, dibantu dua mesin penyedot air dan mesin penyedot batu dan mampu menampung sampai delapan tenaga kerja, dengan kelebihannya setelah ditambang bisa direklamasi ulang dan bisa ditanami kembali.
Berbeda dengan dompeng lanting, biasanya masyarakat mengunakan rakit buatan yang dilakukan di dalam sungai, dengan cara menyedot batu dan pasir di dalam sungai dengan dua mesin yang biasanya dilakukan oleh tiga tenaga kerja, Terkadang pasir yang disedot dimasukan kembali ke sungai sehingga membuat aliran sungai menjadi dangkal.
Lain halnya PETI menggunakan alat berat yang bekerja, mengambil pasir dan batu menggunakan baket alat berat kemudian dimasukan dalam alat box, dan biasanya ada dua sampai tiga pekerja yang melakukan pekerjaan secara terus menerus di bantaran aliran sungai sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah dan susah untuk direklamasi ulang.
Tentu ada hal yang menarik dari tiga katagori PETI yang sering dilakukan oleh warga, Bagaimana pengunaan merkuri atau logam berat. Dari pantauan penulis, masyarakat yang beraktivitas PETI rata-rata mengunakan logam berat untuk memisahkan emas dari pasir hitam dengan cara memasukan ke dalam ember, kemudian diaduk di satu tempat agar logam berat tidak terbuang lalu di peras mengunakan kain tipis untuk memisahkan emas dan logam berat, atau bagi masyarakat pendompeng mengenalnya dengan istilah “ngepok”, setelah terpisah air tak tadi dimasukan ke dalam botol untuk bisa dipergunakan lagi.
Lalu kemana para pemain petugas menjual hasilnya? Banyak di sejumlah tempat yang biasa menampung hasil PETI, ada pemilik modal yang bekerja sama dengan cara main “DO”, dengan sistem pembelian yang berbeda dengan harga toko emas, dan ada juga yang langsung menjual lepas ke penadah emas dengan harga yang lebih tinggi di banding pemilik “DO”. Tak perlu harus menelisik toko emas mana yang menjadi langganan pelaku PETI menjual hasilnya dan “aman dari pengamatan petugas” dan sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Merangin.
Dari sisi ekonomi, bagi sebagian masyarakat, kerja di Penambangan Emas Tanpa Izin tentu sangat menjanjikan, sebab banyak masyarakat yang tertolong dari pinjaman pinjol, tagihan angsuran bank, angsuran kredit motor dan biaya anak sekolah, belum lagi bagi oknum NGO, oknum organisasi profesi, institusi tertentu, yang sering mendapatkan rezeki dari para pemilik mesin dompeng, walaupun hanya sekedar berbasa-basi dengan pemilik PETI.
Lalu bagaimana PETI yang sudah terjadi puluhan tahun tetap berlangsung sampai saat ini? Meskipun sudah banyak pekerja PETI yang tertangkap dan dipenjara, apakah ada efek jera?
Bagi sebagian kecil pekerja pasti dapat efek jera, sebab hanya pekerja saja yang jadi tumbal dan jarang pemilik dan pemodal PETI yang tertangkap. Namun fakta di lapangan bisa dilihat hari ini dirazia aparat keamanan berhenti bekerja, besok pasti sudah bekerja lagi demi tuntutan kebutuhan perut.
Terkadang ada juga faktor x yang berpengaruh, agar saat razia terkesan ada hasil, di lokasi tertentu para pemilik alat berat dan dompeng bisa berkoordinasi dengan baik dengan para oknum, maka sudah pasti akan selamat, tetapi jika di satu wilayah para pemain alat berat dan pemilik dompeng di anggap “pelit”, dan sering masuk pemberitaan bisa dipastikan bakal ada yang kena, dan ini fakta yang terus menerus terjadi.
Mari kita lihat bagaimana peran penting PETI yang dicaci tetapi membawa rezeki. PETI tidaklah akan berjalan sampai hari ini jika bahan bakar distop dari hulunya, tetapi ada fakta lainnya yang tidak bisa dipisahkan, ibarat PETI adalah gula manis, tentu banyak jenis semut yang mendekati untuk mendapatkan rasa manisnya.
Siapa yang berani menjual bahan bakar PETI seperti solar subsidi dalam jumlah besar jika bukan ada oknum aparat keamanan yang bermain? Pemandangan antrian solar subsidi pasti mengular di sejumlah SPBU di Merangin yang menyediakan bio solar, banyak cara dilakukan dengan mengisi berkali kali dengan nomor barcode yang berbeda beda, lalu hasil antrian solar sudah pasti sudah ada pembeli yang dijual ke lokasi PETI. Lalu kenapa PETI bisa sebagian aman saat dirazia dan sudah bocor duluan saat didatangi ke lokasi, sudah bisa diduga ada oknum aparat keamanan yang pasti ikut mendapatkan bagian dari kegiatan ilegal tersebut, dan bahasa sederhananya adalah mendapatkan “bulanan” per alat berat di setiap wilayah di Merangin pasti berbeda beda nominalnya.
Lalu ada peran Pemerintah Daerah yang tidak mau kehilangan cara, dengan menerbitkan surat edaran Kepala Daerah yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan kecamatan hingga level desa untuk tidak terlibat PETI, apalagi Kades merupakan pemangku adat di desanya.
Situasi ini tentunya mudah disampaikan tapi sulit dikerjakan. sebagian besar masyarakat di Merangin sudah puluhan tahun banyak yang bekerja dan menggantungkan hidup di sektor “per-PETI-an” , dan saat pemerintah menghimbau tidak melakukan aktivitas PETI tetapi sayangnya edaran tersebut tidak disertai solusi konkrit yang bisa dikerjakan masyarakat agar bisa beralih ke pekerjaan lainnya selain kerja PETI.
Jikalau mau dan serius dalam memberantas PETI, Pemerintah Daerah wajib membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kerja sama dan secara serius mencarikan solusi agar masyarakat bisa mendapatkan pilihan pekerjaan selain PETI, dan berani tegas untuk menindak semua oknum aparat keamanan yang berani menjual BBM kepada para pelaku PETI, tidak menerima uang bulanan, dan sama-sama mengawal kebijakan soal wilayah pertambangan rakyat, bagaimana izin pertambangan rakyat bisa didapatkan, sehingga tidak ada lagi cara-cara ilegal untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup masyarakat banyak.
Seperti kaga pepatah, jika air keruh di hilir tengoklah dari hulunya.
Salam santun.
*Penulis adalah wartawan DETAIL.ID yang tinggal di Kabupaten Merangin.
OPINI
Pembangunan Stockpile Batu Bara dan Penolakan Warga: Ujian Serius Bagi Pemerintah
Oleh: Eko Saputra S. Lumban Gaol, SH*

PEMBANGUNAN stockpile batu bara di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, telah memicu gelombang penolakan besar. Warga menilai proyek ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak hidup mereka.
Provinsi Jambi selama ini menjadi salah satu lumbung batu bara nasional. Namun, di balik sumbangan devisa, masyarakat justru menanggung dampak: jalan rusak akibat truk over tonase, kemacetan kronis, polusi udara yang memicu penyakit, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berujung korban jiwa. Terakhir, pembangunan stockpile batu bara di tengah pemukiman padat semakin memperparah beban masyarakat.
Pemerintah Harus Memihak Rakyat
PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), pemilik IUP ±1.273 hektare di Sarolangun, mengklaim memiliki izin sah untuk membangun stockpile sekaligus pelabuhan pengangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan minimnya keterbukaan:
- Tidak ada sosialisasi yang layak bagi warga terdampak.
- Lokasi di jantung pemukiman yang rawan banjir, macet, dan polusi.
- Dugaan pelanggaran tata ruang dan peruntukan lahan.
Penolakan pun meluas, para aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, hingga warga sekitar menegaskan ketidaksetujuan mereka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan peluang ekonomi, melainkan ancaman hidup.
Klaim PT SAS soal kepatuhan izin tak bisa menjadi tameng. Pemerintah dari pusat hingga kota dituntut berhenti bersikap pasif. Jika izin memang diberikan, prosesnya perlu diaudit terbuka. Bila memang menyalahi RTRW atau mengancam keselamatan warga, pencabutan izin atau relokasi harus menjadi langkah tegas.
Just Transition Bukan Sekadar Konsep
Transisi energi yang adil (Just Transition) adalah pendekatan yang menekankan perlunya transisi energi yang adil, inklusif dan adil untuk semua pihak. Di Aur Kenali, Just Transition menjadi satu hal yang prinsip, tidak ada pembangunan yang mengorbankan kesehatan, keselamatan, dan ruang hidup warga yang mengatasnamakan investasi dan keuntungan segelintir perusahaan.
Penolakan warga Aur Kenali adalah peringatan keras bahwa investasi tak boleh menindas hak masyarakat, tapi seyogyanya mendorong transisi energi dan ekonomi yang adil, dengan memastikan tidak ada yang tertinggal.
Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar pemberi izin. Tanpa keberpihakan tegas, pembangunan stockpile batu bara hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.
*Warga RT 014/002 Desa Mendalo Darat, mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi dan Ketua DPC FSB NIKEUBA Muarojambi