PERKARA
Ditangkap 2 Bulan Lalu, Kasus Jual Beli Kulit Harimau di Sarolangun Disidangkan di PN Jambi

Jambi – Ditengah populasi yang kian surut, praktek perburuan serta jual beli terhadap organ tubuh satwa yang dilindungi oleh Undang Undang tampak masih menjadi-jadi di wilayah Provinsi Jambi.
Salah satunya yang sedang dalam proses hukum, kasus jual beli kulit Harimau yang menjerat 2 terdakwa di Pengadilan Negeri Jambi yakni M Ali dan Halim Setiawan yang teregister dengan nomor perkara 384/Pid.Sus/LH/2023/PN Jmb dan satu pelaku lagi bernama Mudrika dengan berkas perkara terpisah. Serta 2 orang narahubung yang masih berstatus DPO yakni Muhtar dan Saudi.
Sejumlah pihak, diantaranya dari Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera serta dari BKSDA Jambi dihadirkan dalam agenda keterangan saksi pada sidang perkara yang berlangsung di PN Jambi, Selasa 8 Agustus 2023.
Ilyas dari Balai Gakkum Sumatera dikonfirmasi usai sidang menyampaikan awalnya pihaknya mendapat laporan informasi terkait akan adanya tindakan jual beli organ tubuh satwa yang dilindungi. Menindaklanjuti laporan tersebut, Balai Gakkum bekerjasama dengan BKSDA menurunkan tim untuk melakukan investigasi.
“Kita mendapat informasi bahwa ada yang mau melakukan perjualbelian satwa dilindungi (kulit Harimau), kita tindaklanjuti dengan penyamaran,” kata Ilyas.
Dengan semua informasi serta petunjuk yang diperoleh, tim yang turun ke Sarolangun melakukan penangkapan terhadap 3 pelaku ditempat transaksi yakni depan lapangan parkir Mesjid Agung As-Shulton Sarolangun pada 11 Mei 2022 lalu.
Ditanya soal berapa atau sudah berapa kali para pelaku menjalankan aksi serupa, Ilyas mengaku belum tau jelas. Untuk pemilik (kulit harimau) tersebut. Dia juga mengaku tidak tau.
“Berapa lama saya ga tau. Tapi yang jelas mereka peranannya masing-masing. Ada penghubung atau makelar ada yang menyimpan barangnya. Kalau pemilik sampai sekarang belum tau,” ujarnya.
Sementara untuk 2 orang DPO yang berperan sebagai makelar atau narahubung, kata Ilyas, saat tim penyidik melakukan pencarian ke rumahnya. Keduanya sudah tidak ada. Namun terdapat informasi bahwa salah satunya lari ke daerah Riau.
“Ada informasi yang pak Muktar itu lari ke Tembilahan,” katanya.
Pihaknya pun mengaku sudah berkoordinasi dengan APH untuk menindaklanjuti perkara 2 orang yang masih berstatus DPO itu.
Sementara itu, Ahmad selaku penasehat hukum terdakwa, menepis soal kliennya terlibat dalam tindakan perburuan serta pengambilan tubuh satwa yang dilindungi UU untuk diperjualbelikan.
“Dia ini (terdakwa) istilahnya itu salah satu atau keduanya orang ini tidak tau menau, ngikut be,” katanya.
Dia pun menyayangkan salah 1 dari 2 orang DPO yang berhasil melarikan diri dari incaran penyidik.
“Kok bisa pas penangkapan dia (Muktar) melarikan diri,” katanya.
Aswin yang juga tim kuasa hukum terdakwa pun menegaskan bahwa barang bukti berupa kulit harimau yang telah disita JPU bukanlah milik kliennya.
“Barang itu bukan milik klien kami. Dari keterangan-keterangan Gakum pun tidak bisa memastikan siapa pemiliknya itu,” katanya.
Menurut Aswin dalam perkara yang menjerat kliennya, kliennya tak memiliki peranan berarti dalam proses penjualan kulit harimau itu.
Namun dalam dakwaan JPU, dengan barang bukti yakni kulit harimau dengan ukuran kurang lebih 1,6 Meter itu hasil negosiasi antar para narahubung (DPO) dengan calon pembeli disepakati harga jual sebesar Rp 70.000.000.
Para tersangka pun didakwa dengan Pasal 40 Ayat (2) Jo Pasal 21 Ayat (2) huruf d Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Dengan ancaman pidana penjara selama 5 tahun.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Mediasi Gagal, Mediator Keluarkan Anjuran Bagi YPTSA STIA Nusantara Sakti dan Pelapor

DETAIL.ID, Jambi – Proses mediasi antara pihak Yayasan Pendidikan Tinggi Sakti Alam Kerinci (YPTSA), selaku pengelola Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Nusantara Sakti dengan 15 orang dosen dan pegawainya berujung buntu.
Belum lama ini, mediator pada Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jambi pun akhirnya mengeluarkan anjuran atas perselisihan hak antara kedua belah pihak.
“Tindak lanjut penanganan kasus Yayasan Sakti Alam kemarin bahwa mediator hubungan industrial sudah menyampaikan anjuran,” ujar Kabid Hubungan Industrial, Dodi Haryanto pada Rabu, 2 Juli 2025.
Lebih lanjut, Kabid Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Hubungan Ketenagakerjaan tersebut mengungkap bahwa dalam secara umum mediator menganjurkan agar YPTSA dan Pimpinan STIA Nusa Sakti segera membayarkan hak-hak yang dituntut pekerja seperti upah yang belum dibayarkan, THR, serta hak atas pemutusan hubungan kerja.
“Dan masing-masing pihak diberikan waktu 10 hari untuk menjawab anjuran tersebut. Dalam anjuran mediator,” katanya.
Dodi sebelumnya juga mengungkap bahwa proses mediasi telah dilakukan beberapa kali yang mulai bergukir sejak 12 Maret 2025. Namun tak kunjung ada titik temu antar kedua belah pihak.
Dengan adanya anjuran dari Disnakertrans, sikap YPTSA dan STIA Nusantara Sakti jadi penentu. Apakah perselisihan hak bakal selesai, atau malah lanjut ke ranah hukum lebih tinggi yakni Pengadilan Hubungan Industrial.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Arief Efendi Terdakwa Korupsi di Kasus Bank Jambi Akui Perbuatannya, Minta Keringanan Hukum

DETAIL.ID, Jambi – Arief Efendi, salah satu terdakwa perkara korupsi gagal bayar Medium Term Note (MTN) Bank Jambi dengan PT SNP masih menghadapi serangkaian persidangan di Pengadilan Tipikor Jambi.
Sosok terdakwa yang sempat buron kemudian ditangkap tim Pidsus Kejati Jambi pada 13 Desember 2024 lalu itu kini menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa pada Selasa, 1 Juli 2025.
Di persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Syafrizal Fakhmi, terdakwa mengakui perbuatannya. Ia juga mengaku menyesal. Dirinya juga mengaku telah menyerahkan nilai kerugian negara sebesar Rp 1,7 miliar pada penyidik.
“Saya mengakui yang mulia (semua isi BAP). Uang Rp 1,7 miliar juga sudah saya kembalikan,” ujar terdakwa Arief di persidangan.
Dalam pernyataannya pada JPU. Arief pun tampak mengeluarkan air mata seraya memohon keringanan hukum atas perbuatannya.
“Banyak peristiwa yang sudah saya alami. Saya mohon keringanan,” ujarnya.
Usai sidang, JPU Suryadi dikonfirmasi mengakui bahwa sudah ada penitipan uang kerugian negara dari terdakwa sebesar Rp 1,7 miliar. Nilai itu disebut berasal dari fee (kutipan) tidak resmi yang dilakukan terdakwa dalam proses pencairan MTN PT SNP pada Bank Jambi tahun 2017 – 2018. Adapun duit itu kini berada di rekening penitipan Kejari Jambi.
“Pada intinya, si terdakwa mengakui terkait apa yang diperbuatnya. Sementara uang tersebut dititip di rekening kejaksaan,” ujar Suryadi.
Dengan pengakuan dan segala fakta persidangan yang didapati sejauh ini, JPU mengaku bakal jadi pertimbangan dalam tuntutan yang bakal bergulir dua pekan ke depan.
Sementara penasihat hukum terdakwa Azuri Nasution berharap ada keringanan hukum bagi kliennya lantaran sikap kooperatif dan pengembalian kerugian juga sudah dilakukan.
Dalam kasus ini, Arif, mantan Kepala Divisi Fixed Income PT MNC Sekuritas didakwa secara bersama-sama dengan terpidana Yunsak El Halcon yang telah divonis penjara selama 13 tahun, Dadang Suryanto (divonis 9 tahun) dan Andri Irvandi (divonis 13 tahun), serta terdakwa Leo Darwin (tahap kasasi).
Telah melakukan tindak pidana korupsi terkait gagal bayar pembelian Medium Term Note (MTN) PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) pada tahun 2017–2018 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 310.118.271.000.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Hasil TPPU, BPN Ungkap Tek Hui Punya Tanah 2.857 Meter Persegi di Muarojambi

DETAIL.ID, Jambi – Terdakwa perkara narkotika Dedi Susanto alias Tek Hui kembali menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jambi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Kali ini sidang Tek Hui kedatangan saksi dari BPN Muarojambi yakni Muhammad Andri. Dirinya menyebut bahwa terdakwa Tek Hui memiliki tanah di Desa Lopak Alai, Kecamatan Kumpeh Ulu seluas 2.857 meter persegi.
“Dibeli milik Haireni pada tanggal 19 Juli 2024,” ujar Andri di persidangan.
Aset tanah tersebut menurut saksi lengkap dengan SHM. Dan telah dilakukan balik nama atas nama Dedi Susanto. Dia pun sudah punya sertifikat elektronik atas aset tanah yang didakwa sebagai hasil TPPU. Dia mengurus aset tanah tersebut dengan menggunakan surat kuasa pada orang lain.
“Dia (Tek Hui) beli Rp 200 juta,” katanya.
Penuntut umum kembali mencecar soal kepemilikan tanah atas nama Haireni sebelum dijual pada Tek Hui. Soal ini, Andri bilang, Haireni sebelumnya membeli tanah tersebut dari orang lain pada rentang 2017.
“Kalau pemilik sebelumnya, tidak tahu,” katanya.
Adapun aset tanah dengan nomor SHM 00430 atas nama Dedi Susanto tersebut kini jadi salah satu bukti dalam perkara TPPU yang dilakukan oleh Tek Hui.
Reporter: Juan Ambarita