PERKARA
Kesaksian Belum Mengarah Langsung Keterlibatan Suliyanti, Jaksa KPK: Zumi Zola Pasti Dipanggil

DETAIL.ID, Jambi – Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan 3 orang saksi yakni M Zuber, Gusrizal, dan Poprianto dalam agenda sidang pemeriksaan saksi suap ketok palu RAPBD 2017 yang kini menjerat terdakwa mantan anggota dewan fraksi Demokrat, Suliyanti pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Dalam kesaksiannya atas berbagai pertanyaan penuntut umum, 3 orang saksi yang tak lain merupakan mantan anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014–2019 dari fraksi Golkar itu, tak secara gamblang menyebut keterlibatan istri Burhanuddin Mahir tersebut dalam menerima suap.
M Zuber merespons pertanyaan penuntut umum dengan mengaku sudah banyak lupa. Namun ia mengakui menerima uang sebesar Rp 200 juta dalam hal pengesahan RAPBD 2017. Duit suap tersebut diperoleh dua kali penyerahan oleh Kusnindar, anggota Fraksi Nasdem dan Gusrizal pada awal Januari dan Maret 2017. Sementara untuk RAPBD 2018, dirinya mengaku hanya terima Rp 100 juta.
“Saya sendiri 300. Sudah dikembalikan semua ke rekening KPK,” ujar Zuber.
Gusrizal juga menyampaikan keterangan senada, menerima uang Rp 200 juta dengan 2 termin dari Kusnindar. Kata Gusrizal, termin pertama Kusnindar datang ke rumah menyerahkan duit cash Rp 100 juta. Termin kedua, giliran dirinya menjemput ke rumah Kusnindar. Namun berdasarkan pengakuannya, juga terdapat potongan dari duit suap tersebut senilai Rp 15 juta yang mengalir ke fraksi.
“Untuk apa dipotong, saya enggak tahu. Kalau di zaman itu kita bertanya dengan almarhum Pak Zoerman (mantan ketua Fraksi Golkar), kita yang kena tokok. Kita di Golkar sistemnya satu komando,” ujarnya seraya tertawa.
Gusrizal juga mengakui bahwa Komisi III saat itu juga menerima uang sebesar Rp 175 juta di luar anggaran untuk suap ketok palu yang Rp 200 juta.
Sama seperti M Zuber dan Poprianto, Gusrizal mengaku semua duit-duit suap dalam pusaran RAPBD yang diterimanya dari pihak eksekutif atau mantan Gubernur Jambi, Zumi Zola kala itu. Dan sudah sepenuhnya dikembalikan ke negara lewat rekening kas KPK.
Sementara penasihat hukum terdakwa mempertegas kembali kepada para saksi, apakah setiap anggota DPRD kala itu akan menerima suap untuk pengesahan RAPBD. Hal tersebut, dibenarkan oleh para saksi. Namun tidak secara gamblang menyebutkan. “Iya, kami cuma dengar di fraksi,” kata Zuber.
Sesi beralih pada Majelis Hakim. Hakim Anggota Lamhot Nainggolan mempertanyakan apakah kehadiran anggota DPRD Provinsi Jambi saat itu mencapai 100 persen. Ketiga saksi mengaku lupa. Menurut mereka kehadiran tentu dapat dikroscek pada absensi.
“Untuk yang tidak hadir, ada (kebagian) enggak uang ketok palu ini?” ujar Hakim Lamhot.
“Golkar hadir semua, fraksi lain kami tidak tahu,” ujar Popri.
Lamhot menilai bahwa perkara suap RAPBD Provinsi Jambi tergolong unik, lantaran suap diberi setelah pengesahan RAPBD 2017 menjadi Perda pada November 2016.
“Komitmen apa yang dipegang? Karena ketok palu di November, penyerahan di Januari dan Maret? Atau ada angin surga sebelumnya sehingga ada desakan dari anggota?” ujarnya mencecar ketiga saksi.
Namun di sini saksi kompak menjawab tidak mengetahui lebih lanjut soal komitmen tersebut. Mereka kembali menekankan bahwa fraksi Golkar kala itu satu komando. Selain itu riak-riaknya sudah beredar di fraksi soal imbal jasa atau suap dalam pengesahan RAPBD.
Di luar persidangan Jaksa KPK Bernard Simanjuntak kepada sejumlah awak media menyampaikan kala itu semua fraksi menerima uang suap dari pihak eksekutif. Khusus Komisi III terdapat komitmen berupa paket pekerjaan pada Dinas PUPR namun kemudian dialihkan dalam bentuk uang senilai Rp 175 juta.
Sementara terkait keterangan saksi yang belum mengarah secara langsung pada keterlibatan terdakwa, Jaksa KPK tersebut bilang pihaknya bakal menghadirkan
sejumlah saksi lainnya pada sidang 27 Agustus mendatang. Mereka bahkan juga memastikan untuk memanggil mantan Gubernur Jambi Zumi Zola ke persidangan sebagai saksi. “Nanti, itu strategi kami. Tapi pasti kami akan panggil,” ujarnya.
Sebelumnya dalam dakwaan, Suliyanti disebut turut serta menerima uang senilai Rp 200 juta bersama-sama dengan 44 anggota DPRD periode yang sama kala itu, yang perkaranya telah diputus dan berkekuatan hukum tetap. Begitu pula anggota DPRD periode 2014-2019 lainnya.
Uang tersebut merupakan bagian dari total suap sebesar Rp 13,165 miliar yang bersumber dari mantan Gubernur Jambi 2016 – 2021, Zumi Zola Zulkifli yang dikumpulkan dari sejumlah kontraktor.
Reporter: Juan Ambarita

PERKARA
Aktivis Petani Diduga Dikriminalisasi, Polda Jambi Dinilai Tutup Mata Terhadap Pelaku Sebenarnya

DETAIL.ID, Jambi – Penangkapan aktivis agraria Thawaf Aly (59) Ketua Divisi Advokasi Persatuan Petani Jambi (PPJ) oleh Subdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Jambi menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Thawaf yang dikenal aktif mendampingi petani dalam konflik lahan di kawasan hutan disebut dikriminalisasi karena memperjuangkan hak rakyat kecil.
Thawaf dijemput paksa oleh belasan anggota polisi pada 29 September 2025 dan hingga kini ditahan di Rutan Mapolda Jambi. Persatuan Petani Jambi menilai langkah aparat kepolisian itu cacat hukum dan bertentangan dengan aturan yang berlaku, karena kasus yang menjerat Thawaf merupakan sengketa lahan yang masih berproses secara perdata, bukan pidana.
“Objek perkara jelas merupakan konflik klaim tanah di kawasan hutan. Namun yang dikriminalisasi justru petani dan pendampingnya,” kata Azhari, pejuang HAM dari Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Jambi pada Senin, 6 Oktober 2025.
Menurutnya, penyidik mengabaikan PERMA No.1 Tahun 1956 dan Surat Edaran Kejaksaan Agung B-230/EJP/01/2013 yang menegaskan bahwa perkara pidana harus ditangguhkan bila objek perkara masih dalam sengketa perdata.
Azhari juga menilai tindakan penyidik Polda Jambi tidak profesional dan bertentangan dengan semangat reformasi hukum. Ia menuding aparat lebih berpihak kepada pengusaha Sucipto Yudodiharjo, yang justru diduga melakukan panen sawit ilegal di kawasan hutan.
“Polda Jambi seakan menutup mata terhadap pelaku sebenarnya. Ini bentuk ketidakadilan dan tebang pilih hukum,” katanya.
Pakar Hukum Agraria Universitas Jambi, Dr. Rudi Hartanto, menilai penetapan tersangka terhadap petani dan aktivis tersebut menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
“Jika objeknya sengketa tanah, maka proses pidana wajib ditunda. Menetapkan petani sebagai tersangka melanggar asas keadilan dan hak konstitusional warga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D UUD 1945,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Agus Erfandi, SH, Ketua Tim Advokasi Petani, yang menduga kuat ada rekayasa hukum dalam kasus ini. Ia menyebut lemahnya bukti yang dimiliki penyidik terlihat dari berkas perkara yang hingga kini belum dikembalikan ke Kejati Jambi (P19).
“Ini menunjukkan lemahnya alat bukti dan adanya indikasi pemaksaan kasus,” kata Agus.
PPJ bersama IHCS mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turun tangan untuk mengevaluasi kinerja Subdit III Jatanras Polda Jambi yang dipimpin AKP Irwan. Mereka menilai aparat bertindak arogan dan tidak mempertimbangkan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam pernyataannya, PPJ menuntut agar kriminalisasi terhadap petani dihentikan, aparat penegak hukum menghormati aturan PERMA dan SE Kajagung sebagai pedoman hukum, serta menindak tegas Sucipto Yudodiharjo dan kroninya yang diduga melakukan pelanggaran hukum di kawasan hutan.
“Penahanan Thawaf Aly ini jelas cacat hukum. Tidak ada unsur niat jahat dalam tindakannya. Ia hanya memperjuangkan hak petani dan mengikuti prosedur sesuai aturan kehutanan,” katanya.
Kasus ini menjadi potret buram penegakan hukum agraria di Jambi. Di tengah upaya petani memperjuangkan hak atas tanah, aparat justru dinilai lebih berpihak pada kepentingan pemodal, sementara keadilan bagi rakyat kecil semakin jauh dari harapan. (*)
PERKARA
Laporan Penipuan Online Ratusan Juta, Satu Tahun Lebih Belum Ada Perkembangan dari Polisi

DETAIL.ID, Jambi – Seorang warga di Kota Jambi melaporkan dugaan penipuan investasi daring yang merugikannya hingga ratusan juta rupiah. Namun sejak laporan teregister di Sub Dit V Cyber Ditreskrimsus Polda Jambi pada 31 Juli 2024, pelapor mengaku belum mendapat pemberitahuan perkembangan penyelidikan.
Korban bernama Murniati (52) melapor ke Sub Dit Cyber Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jambi dengan tanda bukti Surat Tanda Penerimaan Pengaduan Nomor LAPDUAN/150/IV/RES.2.5/2024/Ditreskrimsus.
Dalam laporannya, Murnati menuturkan awalnya tertarik pada iklan lowongan menjadi dropshipper di Facebook pada 27 April 2024. Ia kemudian diarahkan bergabung ke grup Telegram “amazon-dk” dan diminta melakukan setoran awal Rp 120 ribu. Hingga selanjutnya, ia mentransfer dana beberapa kali ke sejumlah rekening dengan total kerugian sekitar Rp 473,39 juta.
Beberapa nama dan rekening yang disebut dalam laporan antara lain;
- Mandiri a.n. Siti Fatimah Rp 15 juta dan Rp 10 juta
- BNI a.n. Syarifudin Rp 10 juta
- BRI a.n. Indra Sentosa Rp 10 juta
- BNI a.n. Dian Mei Kurniawati Rp 5 juta dan Rp 7,5 juta
- BRI a.n. Rtid Maharani Rp 12 juta
Selain itu masih terdapat transaksi lainnya yang tidak sempat discreenshot (disimpan) oleh pelapor. Namun korban menegaskan seluruh bukti transfer telah dilampirkan kepada penyidik.
“Sampai sekarang saya belum menerima surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan apa pun dari pihak kepolisian,” ujar Murnati saat ditemui, beberapa waktu lalu.
Sementara Pihak Polda Jambi saat dimintai konfirmasi terkait perkembangan kasus ini belum memberikan keterangan resmi. Dir Reskrimsus Polda Jambi Kombes Pol Taufik Nurmandia, dikonformasi beberapa hari lalu mengarahkan pada Plh Kasubdit 5 Cyber Ditreskrimsus, AKBP Slamet Widodo. Namun AKBP Slamet dikonformasi lebih lanjut belum memberi keterangan hingga berita ini terbit.
Kasus ini menambah deretan laporan penipuan investasi daring yang marak terjadi. Namun hingga kini status laporan Murniati sendiri belum ada kejelasan. Berdasarkan aturan, pelapor berhak menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) secara berkala apabila laporan telah naik ke tahap penyelidikan.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Bermasalah Sejak Awal! Izin PT PAL Rupanya Bodong Tapi BNI Malah Cairkan Kredit Ratusan Miliar

DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah fakta kembali terungkap dalam perkara Korupsi Kredit Investasi dan Modal Kerja antara PT Prosympac Agro Lestari (PAL) dengan Bank BNI KC Palembang, kala mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Muarojambi, Nazman Efendi dan pihak PT PAL Edi Irianto menjadi saksi di PN Jambi pada Kamis, 2 Oktober 2025.
Nazman Efendi yang menjabat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Muarojambi pada 2015 – 2017, mengaku tidak pernah tahu bahwa PT PAL punya perizinan yang lengkap. Bahkan dia mengaku baru tahu permasalahan PT PAL, ketika mulai pemeriksaan oleh Kejaksaan. Oleh karena itu di masa periodenya menjabat, tidak pernah ada monitoring terhadap PT PAL.
“Kami tidak pernah tahu PT PAL punya izin, bagaimana kami melakukan monitoring? Izinnya kami tidak tau. Kami baru tahu setelah ada pemeriksaan (oleh penyidik),” kata Nazman di persidangan.
Ternyata pengurusan izin PT PAL semasa kepengurusan Arief Rohman dan Wendy Haryanto dilakukan lewat orang kepercayaan mereka yakni Edi Irianto. Diawali Edi melakukan pertemuan dengan 6 perwakilan KUD untuk membangun kemitraan demi kepentingan mengurus Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P) PT PAL.
Surat perjanjian pun dibuatkan, walaupun 6 kelembagaan tani tersebut sebenarnya sudah menjalin kemitraan dengan PKS PT BGR. Bermodal surat kesepakatan yang tidak diketahui oleh Kadishutbun Muarojambi tersebut, Edi mengurus perizinan IUP-P pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) Muarojambi pada September 2014 dengan kapasitas 45 ton/jam. Perizinan pun keluar dari BPTSP pada 5 Januari 2015.
Karena pada Februari 2025, terdakwa Wendy Haryanto bersurat pada Dishutbun Muarojambi soal pernyataan ketidaktersediaan lahan perkebunan untuk bahan baku minimal sebagaimana Permentan nomor 98/2013. Nazman Efendi membalas surat terdakwa dengan menyatakan bahwa pada prinsipnya pembangunan pabrik PT PAL dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi ketentuan dalam Permentan 98/2013.
Penasihat hukum Viktor Gunawan pun mencecar Nazman, bagaimana bisa izin tebit lebih dulu kemudian Rekomtek dari Dinas belakangan? “Secara teknis perizinan yang mengeluarkan PTSP. Izin itu tidak ditembuskan ke kami. Karna tidak pernah dtembuskan ke kami, kami tidak tahu,” ujar Nazman.
Menurut Nazman, seharusnya pihak PT PAL lebih dulu mengurus soal persyataran guna mendirikan pabrik kepada OPD yang ia pimpin, setelah semua dinyatakan lengkap baru diteruskan pada BPTSP. Izin PT PAL yang keluar tidak sesuai prosedural pun dinilai bodong oleh Nazman di persidangan.
“Kenapa saya bilang bodong. Ini (Izin) keluar dari lembaga yang sah tapi tidak sesuai prosedur,” ujarnya.
Sementara Edi Irianto, mengaku tidak banyak terlibat. Dirinya mengaku hanya mengurus perizinan ke BPTSP, dan BPTSP mengeluarkan izin. Di persidangan Edi juga banyak berkelit. Hingga beberapa kali mencabut keterangan demi keterangan, saat diberi pilihan oleh Majelis Hakim.
“Saya tidak tahu kalau itu (pabrik) mau dijual. Saya cuma ngurus izin ke BPTSP,” katanya.
Selain mereka, sejumlah perwakilan kelompok tani yang pernah jadi supliyer (pemasok) PT PAL juga hadir sebagai saksi di persidangan. Di antaranya Suroso, selaku mantan Ketua Kelompok Tani Marga Jaya. Menurut Suroso, awalnya dirinya berserta kelompok tani lainnya mengetahui PT PAL milik Arief Rohman dan Wendy Haryanto.
Suroso juga bercerita bahwa mereka beberapa kali ada pertemuan dengan Arief Rohman membahas soal kemitraan. Sebab saat itu perusahaan mitra mereka yakni PT BGR hanya menerima TBS petani dari lahan plasma. Sementara pasokan TBS cukup melimpah dari lahan non plasma. Perjanjian antara KUD Marga Jaya dengan PT PAL lantas dibuat, namun pihak Suroso tak bisa menyanggupi permintaan 72 ton/hari. Lantaran masih harus memasok untuk PT BGR.
Selain Suroso, juga ada Harmini dari Kelompok Tani Marga Jaya, kemudian Slamet Haryono dari KUD Karya Maju, Joko dari Koperasi Mitra Inti Sumber Makmur, dan Lalan Sukarlan. Adapun nama-nama yang diklaim dalam pengajuan IUP-P ke BPTSP Muarojambi tersebut, terkuak bahwa pihak SKM BNI Palembang rupanya hanya melakukan verifikasi atas pinjaman kredit PT PAL terhadap Lalan dan Harmaini. Selainnya, mengaku tidak pernah diverifikasi oleh pihak Bank BNI.
“Cuma ditanya supplier di sini? Berapa per ton. (Saya jawab) Kalau di perjanjian 50 ton/hari. Itu aja,” katanya.
Sementara pembayaran TBS oleh PT PAL kepada para supliyer rupanya hanya berjalan lancar selama beberapa bulan pada akhir 2018 hingga 2019. Sisanya menunggak, hingga satu persatu-persatu supplier mulai tarik diri.
Perkara korupsi yang membelit terdakwa Viktor Gunawan, Rais Gunawan, dan Wendy Haryanto itu, kini semakin nyata mengarah pada berbagai tindakan pelanggaran hukum sebagaimana dakwaan Jaksa. Pekan depan sidang lanjutan pemeriksaan saksi masih akan terus berlanjut.
Reporter: Juan Ambarita