Kala KPK Bertekuk Lutut di Hadapan Zola

Donny Pasaribu

BANYAK ORANG yang percaya dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang rekornya melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sepanjang tahun 2017 hingga 2018 patut dicatat di Guiness Book of The Record. Saking banyaknya kepala daerah yang ditangkap dalam OTT.

Namun semakin banyak pula yang ragu dengan kinerja komisi anti rasuah itu. Hampir dua bulan, Gubernur Jambi Zumi Zola menyandang status tersangka –sejak ditetapkan pada 2 Februari 2018 lalu– namun mantan artis itu tak kunjung ditahan.

Ia masih beraktivitas layaknya seorang gubernur. Melantik pejabat, berkunjung ke daerah, bikin statement di media massa, seolah tak ada masalah serius yang tengah menderanya bahkan mendera Provinsi Jambi. Gonjang-ganjing yang terus berkumandang di media sosial, persisnya setelah empat bawahan Zola ditangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 29 November 2017 lalu.

Bahkan, Zola dengan santainya hadir dalam acara KPK bersama Pemerintah Provinsi Jambi bertajuk “Monitoring dan Evaluasi Rencana Aksi Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di Provinsi Jambi” pada 19 Maret 2018. Indonesia Corruption Watch (ICW) sampai sinis terhadap KPK. Bagaimana mungkin KPK menghadirkan seorang tersangka suap dalam pembahasan soal anti korupsi?

Zola biarpun telah menjadi seorang tersangka, kehadirannya masih bak seorang artis. Menyilaukan bahkan mengubah suasana.

KPK yang telah menggeledah vila mewahnya di Tanjung Jabung Timur pada 31 Januari 2018 namun sampai hari ini belum juga mengumumkan berapa besar uang yang berhasil disita dari brangkasnya. KPK sampai jam 2 subuh selesai menghitung uang di brankas pakai tiga mesin penghitung uang.

Banyak asumsi yang beredar tentang berapa nilainya, ada yang menduga Rp90 miliar bahkan ada pula yang menduga di atas Rp100 miliar. Yang pasti, nilai uangnya masih menjadi misteri!

Zola juga bikin sidang lanjutan kasus OTT pada 14 Maret 2018 molor hingga enam jam lebih. Zola menunggu di lobi sebuah hotel. Seluruh majelis hakim dipanggil Ketua Pengadilan Tinggi, Hj. Irama Chandra Ilja SH MH. Asrul Sihotang teman dekatnya Zola batal hadir dengan alasan sakit. Irama, perempuan kelahiran Bukittinggi, 10 Agustus 1952 silam.

Sidang juga membatasi jumlah pengunjung yang hadir. Televisi berukuran 21 inci dipasang di luar agar pengunjung tetap bisa menonton persidangan. Media lokal hanya sedikit sekali yang menulis. Lebih banyak media nasional. Pemberitaan di Jambi nyaris membisu.

Kejanggalan itu sangat terasa. Entah siapa yang “mengaturnya” sehingga pembatasan dan penundaan berlangsung begitu rapi.

Ketika pengacara ngotot meminta Zola kembali dihadirkan di persidangan lanjutan, justru jaksa dan hakim ketua bersikukuh menolak. Mereka menolak dengan nada seirama.

Drama OTT di Jambi dibandingkan dengan di Malang memang sungguh berbeda. Meski sudah hampir empat bulan, KPK baru sebatas menahan 4 orang yaitu, Plt Sekda Erwan Malik, Plt Kadis PUPR Arfan, Asisten III Saifuddin dan Ketua Fraksi PAN, Supriyono.

Beda halnya dengan kisah OTT di Malang. Hanya beberapa hari setelah OTT, KPK langsung menetapkan Walikota Malang (nonaktif) Moch Anton bersama 18 anggota dewan setempat sebagai tersangka. Mereka lebih cepat bekerja di Malang ketimbang di Jambi. Apakah sebegitu kuatnya “pesona” Zola yang mantan artis. Atau ada “tangan-tangan lain” yang tengah “bekerja”.

Transkrip pembicaraan Arfan dengan Ahui — ipar Asiang, kontraktor yang memberikan pinjaman Rp5 miliar untuk didistribusikan kepada 50 anggota dewan — saja bisa berbeda dengan rekaman yang diperdengarkan di persidangan. Rekaman itu sampai diulang tiga kali. Nyatanya transkrip dan rekaman tidak sinkron.

Apakah begini kualitas pekerjaan penyidik KPK yang konon kabarnya sudah mengintai dan menyadap pembicaraan para pejabat Jambi selama 8 bulan hingga akhirnya melakukan OTT?

Ironisnya lagi, pada 4 April 2018 kemarin, tiga terdakwa OTT yaitu Erwan Malik, H. Arfan, Saifuddin dituntut dengan hukuman yang sama: 2 tahun 6 bulan. Jaksa memastikan bahwa tiga terdakwa ini hanya peran pembantu. Peran utamanya siapa? Kenapa peran pembantu dihukum terlebih dulu, sementara peran utamanya belum? Lantas kenapa tuntutan hukuman peran pembantu ini sama? Bukankah perannya masing-masing berbeda?

Atau kalau KPK masih bingung terhadap keterlibatan Zola, ya sudah lepaskan saja Zola dari jerat hukum, demi kepastian hukum. Jangan buat Zola tersandera hukum. Atau memang jangan-jangan KPK masih angkuh, belum mengakui telah bertekuk lutut menghadapi Zola?

Saya jadi ingat celoteh teman saya yang pernah bilang bahwa negara ini masih bisa berdiri itu hanya masih adanya lembaga sebersih KPK. “Kalau KPK sudah tiada, bisa dipastikan negeri ini sudah bubar. Kenapa? Karena hanya tinggal KPK yang masih dipercaya rakyat,” kata teman saya itu.

Entahlah. Saya makin ragu.

 

*)Ketua IPK Provinsi Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *