LINGKUNGAN
Pendekatan terhadap Orang Rimba Mesti Terbuka dengan Kultur dan Perkembangannya

DETAIL.ID, Jambi – Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI (Warung Informasi Konservasi) — sebuah NGO di Jambi — mencatat setidaknya masih ada 600-an Keluarga Orang Rimba yang hidupnya termarjinalkan karena kehilangan hutan dan masih berkonflik dengan konsesi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) di beberapa kabupaten dalam Provinsi Jambi.
Pekan lalu, WARSI membawa 15 orang perwakilan Eropa selaku konsumen atau pembeli minyak sawit Indonesia untuk bertemu langsung dengan Orang Rimba yang ada di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi agar ada sikap dari pemerintah dan perusahaan atas persoalan ini dalam mendorong solusinya.
Terkait hal tersebut, Willy Marlupi, Koordinator ORI (Orang Rimba) Connection menyampaikan bahwa ada hal mendasar yang perlu dipahami tentang Orang Rimba agar resolusi atau penyelesaian konflik bisa berjalan sesuai harapan komunitas dan para pihak.
Pertama soal tradisi dan perkembangannya. Willy mengajak semua pihak untuk memahami tentang konsepsi adat dan sosial komunitas terkait Pangkal Waris dan Ujung Waris serta tempat untuk bejenang.
“Itu hamparan yang luas sekali. Mulai dari Tanah Garo Kecamatan Muaro Tabir Kabupaten Tebo sebagai Pangkal Waris dan Pakuaji Kecamatan Bathin XXIV Kab. Batanghari sebagai ujung Warisnya, Kemudian Jernih Kecamatan Air hitam Kabupaten Sarolangun sebagai tempat bejenang. Artinya, Secara administrasi itulah gugusan wilayah Bukit 12 terbentang di tiga kabupaten dalam Provinsi Jambi yakni Kabupaten Sarolangun, Batanghari dan Kabupaten Tebo,” ujarnya kepadadetail, Senin (3/12/2018)
Di dalam hamparan itu menurutnya tersebar 50-an rombong atau kelompok Orang Rimba di sepanjang sub DAS (Daerah Aliran sungai) Tembesi, Batanghari dan Tabir yaitu di Sungai Makekal, Kejasung Besar dan Kejasung Kecil, Terap dan Air hitam.
Pada tahun 2000 lalu, kata Willy, hamparan seluas 60.000 hektar itu sebenarnya sudah aman dari ekspansi izin perkebunan sawit, HTI dan pertambangan, Karena sudah ditetapkan sebagai Taman Nasional Bukit 12 (TNBD) dengan tujuan supaya bisa menjamin wilayah hidup komunitas serta kebutuhan dan perkembangan sosial budayanya yang sudah hidup turun temurun di wilayah tersebut.
“Nah, sekarang pertanyaannya kelompok Orang Rimba yang ada di perkebunan sawit itu apakah berkaitan dengan tradisi melangun atau berburu? Kalau terkait dengan tradisi itu artinya tak ada yang perlu dirisaukan karena mereka pasti akan kembali ke daerah asal misalnya dari Bukit 12 ya pasti balik ke Bukit 12,” katanya.
Kita, lanjut Willy, mesti tahu dulu kelompok orang rimba yang ada di kebun sawit itu asalnya dari mana. Jika dari wilayah Bukit 12 namun sudah lama tidak kembali artinya memang ada persoalan di wilayah asal dan tempatnya sekarang.
Bisa saja di wilayah asal ada persoalan adat yang cukup pelik sehingga membuat kelompok itu memisahkan diri tapi tidak menutup kemungkinan bisa juga karena wilayahnya yang ada di Bukit 12 sudah dianggap tidak lagi menunjang kebutuhan dan perkembangannya saat ini.
“Harus cari tahu dulu kejelasan tentang hal itu baru kemudian disampaikan kepada publik agar tidak terkesan ada yang ditutup-tutupi,” ia menegaskan.
Karena menurut pengamatan pria yang hampir 20 tahun berkecimpung dengan Orang Rimba ini, tidak sedikit kelompok dari Bukit 12 dalam dua dekade terakhir bergeser ke pinggiran bahkan meloncat ke konsesi perkebunan sawit dan HTI yang jauh dari wilayah asalnya di Bukit 12.
“Loncatan itu terjadi di perkebunan sawit PT SAL, PT JAW dan PT EMAL, Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun dan di HTI PT Wana Perintis Kecamatan Batin XXIV, PT SDM dan PT APL di Kecamatan Marosebo Ulu, Kabupaten Batanghari termasuk di HTI PT WKS di Kecamatan Tengah Ilir dan HTI PT LAJ, PT TMA yang ada di Kabupaten Tebo dan di wilayah lainnya. Tapi ya itu tadi, jika mereka berasal dari Bukit 12 mestinya akan kembali dan jika tidak kembali pasti ada sesuatu di tempat asal juga tempatnya sekarang,” ujarnya menjelaskan.
Maksudnya, harus bijak menyampaikan informasi supaya tidak terkesan membebani masalah ke pemerintah dan perusahaan saja tapi akar masalahnya yang mesti harus dipecahkan. Karena kalau dibiarkan terus begini kemungkinan untuk tuntas akan sulit sebab besok-besok bisa saja kelompok lain dari Bukit 12 melakukan hal yang sama karena merasa ada dukungan dari pihak tertentu lebih-lebih karena faktor kecemburuan.
“Apalagi kehidupan mereka di luar Bukit 12 itu belum tentu menjadi lebih baik kan? Nah, ini kerap digunakan sebagai kampanye negatif ke pemerintah dan perusahaan sehingga ya itu tadi perlu disampaikan secara utuh agar kebijakan yang diterapkan kepada mereka juga tidak blunder,” Willy menekankan.
Kekerabatan
Aspek berikutnya menurut Willy adalah kekerabatan kelompok komunitas yang juga penting untuk dipahami termasuk genealogi tiap kelompoknya.
Dirinya pernah menemukan kasus ketika kelompok itu pecah dan meloncat ke wilayah lain, di situ, di wilayah barunya itu, tiba-tiba sudah jadi Tumenggung saja.
“Itu terjadi pada kelompok yang keluar dari Bukit 12 dan ketika ditanya ke kelompok asal mereka kaget karena memang tak pernah mengangkat dirinya (sebut saja Abu) yang pergi dari Bukit 12 itu sebagai Tumenggung. Kepergian itu sendiri menurut keluarga asal justru dipicu persoalan adat yang menimpanya. Lah, bagaimana mungkin orang yang sedang ditimpa adat kami tunjuk sebagai tumenggung? Tanya mereka waktu itu kepada saya,” kata Willy.
Artinya begini, jika kita mengetahui peta kekerabatan komunitas setidaknya kita bisa menjadikan itu sebagai dasar untuk mengurai apa yang sebenarnya terjadi di kelompok tersebut sekaligus memahami peta komunikasinya.
“Termasuk memahami kekerabatan eksternal (dari luar kelompok) misalnya di kelompok itu sudah ada perkawinan dengan orang luar atau membangun hubungan sosial menjadi dulur angkat, nah, di situ bisa bertambah luas ceritanya,” ujar pria yang pernah 5 tahun bekerja di Warsi ini menjelaskan.
Adat – Sugesti
Orang Rimba masih ada yang meyakini bahwa anggota mereka tidak boleh difoto khususnya untuk perempuan dan anak-anak karena ada sugesti ketika difoto pasti akan sakit. Bahkan, jangan salah-salah memperlihatkan foto saudara mereka yang sudah mati sebab hal itu bisa membuat mereka yang ada di situ langsung spontan menjerit, menangis lalu meratap panjang.
“Bagi kita orang luar ini saja ketika mau foto kadang minta izin dulu kan? Nah, begitu juga dengan mereka ya ditanya dulu, boleh apa tidak,” katanya.
Kadang kita main jepret saja. Itu yang bikin kaget dan kecewa dan kalau sudah begitu jangan heran jika kemudian penghulu adatnya mengadili kita. Makanya di sini penting bagi kita untuk menggali aturan dan ketentuan mereka agar tidak syok dalam kontak sosial.
Katakanlah misalnya bagaimana tata cara berkunjung ke ladang atau huma mereka, bersikap selama berada di pondoknya dan bercengkerama dengan anggota keluarganya. Singkatnya, jangan malu bertanya apa yang boleh dan dilarang selama kontak sosial sedang berlangsung.
Terkait ketentuan adat komunitas ini, menurut Willy, sebaiknya itu disusun dan tersosialisasi secara baik agar komunitas dan para pihak bisa menjadikan hal itu sebagai acuan dalam kontak sosial sekaligus pengetahuan dalam konteks pendidikan budaya dan antisipasi jika ada oknum di komunitas yang sembrono bikin sanksi terhadap pihak luar.
“Saya kira hal itu sangat mungkin untuk dilakukan dan bisa menjadi solusi dalam menguatkan hubungan sosial dengan komunitas, supaya jelas rambu-rambunya, sembari mensosialisasi aturan dan ketentuan umum yang berlaku di luaran juga,” ia berharap.
Kebutuhan Dasar
Sekurangnya dalam satu dekade terakhir pergeseran pola hidup di komunitas berjalan lumayan kencang. Hampir di seluruh kelompok sudah mengenal teknologi mulai dari kendaraan hingga gadget dan tentu saja itu ada nilai negatif dan positifnya.
Seperti cara menggunakan sepeda motor. Sebagian komunitas masih berpikir yang penting bisa untuk jalan, Boro-boro tahu apa itu SIM, surat menyurat kendaraan apalagi rambu-rambu berlalu lintas.
“Belum tahu aturan di jalan raya. Punya mobil kadang lupa minyaknya solar atau bensin. Beli handphone tapi cuma untuk dengarkan musik dan nonton film, Beli baju tapi tak tahu kata-kata yang tertulis di baju tersebut, Punya uang disimpan di tanah atau habis untuk memborong ikan dan rambutan yang di makan begitu saja, ya, masih ada yang seperti itu,” ujarnya.
Uniknya lagi, ketika disenggol kendaraan lain atau kena razia malah mereka yang mencak-mencak bahkan menjatuhkan sanksi. Di saat belajar motor pun banyak dari komunitas yang cedera karena kerap jungkir balik di jalan.
Maksudnya penguatan kebutuhan dasar di komunitas bukan saja diperlukan di sektor pangan, pendidikan, kesehatan dan ekonomi saja, Tapi juga perlu informasi dan pengetahuan yang sejalan dengan kebutuhan dan perkembangannya agar dapat mengimbangi perubahan dan membawa manfaat ke internal maupun eksternal.
“Katakanlah di tiap kelompok ada semacam center sebagai pusat pembelajaran baik itu untuk anak-anak, pemuda hingga kalangan dewasa, untuk pertemuan dan proses penguatan kapasitasnya, terintegrasi dengan wilayah pemanfaatan, dengan pemerintah, dan dengan pihak swasta. Kalau bisa begitu dan itu sangat mungkin untuk dilakukan,” ujarnya.
Resolusi
Selain beberapa aspek di atas pendekatan ke orang rimba menurut Willy perlu elaborasi agar tak terkesan jalan sendiri dan merasa paling benar sendiri dan ketika mengalami kegagalan justru sibuk mencari kambing hitam.
Dia menyinggung soal data populasi komunitas yang hingga kini masih simpang siur karena ada yang bilang 3.000-an jiwa, 5.000-an jiwa hingga belasan ribu jiwa.
Berhubungan dengan komunitas ini menurutnya ada yang tak kalah penting yakni pada kita dulu dan harus jelas motivasinya mau ke mana dan untuk apa? Kalau motivasinya untuk mendapatkan tanah atau lahan ya pasti akan tersangkut sebatas itu. Begitu juga kalau demi uang ya pasti hanya tersangkut sebatas proyek saja.
“Sebab komunitas ini menurutnya tak ubah seperti cermin. Dia akan berlaku seperti apa yang kita buat. Dia akan mencontoh Anda. Jika kita tulus mereka pasti baik karena di tiap jiwanya seperti ada kekuatan seperti ada yang menjaga,” ucap Willy yang pernah mendorong lahirnya rekomendasi Komnas HAM tahun 2007 terkait kehidupan Orang Rimba di Bukit 12 ini. (DE 01)

LINGKUNGAN
Pertemuan Mendadak DPRD, PT SAS dan Sejumlah Warga Picu Kontroversi

DETAIL.ID, Jambi – Pertemuan mendadak antara DPRD Provinsi Jambi, PT SAS, dan sejumlah warga Aur Kenali serta Mendalo Darat pada Kamis kenarin, 2 Oktober 2025 menuai sorotan tajam. Warga menilai agenda tersebut melanggar kesepakatan sebelumnya dengan Gubernur Jambi.
Ketua DPRD Provinsi Jambi Hafiz Fattah, Wakil Ketua I Ivan Wirata, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta sejumlah warga hadir dalam forum yang disebut sebagai mediasi. Namun, masyarakat mengaku baru menerima pemberitahuan dua jam sebelum pelaksanaan tanpa adanya surat undangan resmi.
Dalam rekaman video yang beredar, warga menolak berdialog. Mereka menyatakan pertemuan itu tidak sesuai jalur komunikasi yang telah ditetapkan bersama gubernur.
“Kami hadir hanya untuk memastikan tidak ada dialog. Yang harus ditindaklanjuti sekarang adalah adu data PT SAS mengenai rencana aktivitas mereka di lokasi stockpile,” kata perwakilan warga, Dlomiri.
Masyarakat menegaskan bahwa dialog resmi sudah pernah difasilitasi gubernur, sehingga tidak perlu ada pertemuan serupa. Mereka menuntut DPRD menyatakan sikap tegas menolak keberadaan stockpile PT SAS, bukan justru memfasilitasi dialog baru.
Selain itu, warga juga mempertanyakan kehadiran salah satu petinggi organisasi masyarakat dan perwakilan media tertentu dalam forum tersebut. Mereka menduga ada kepentingan lain di balik keterlibatan pihak yang dinilai tidak relevan.
“Yang kami butuhkan dari DPR bukan memediasi pertemuan, tapi berdiri bersama rakyat dengan jelas menolak stockpile PT SAS,” ujarnya.
Rencana pembangunan stokpile PT SAS di kawasan tersebut ditolak warga karena dinilai berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan mengganggu kehidupan masyarakat sekitar.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Makatara Ungkap Dugaan Pelanggaran Tata Ruang di Rencana Terminal Batu Bara PT SAS

DETAIL.ID, Jambi – Perkumpulan Makatara (Masyarakat Anti Kerusakan Lingkungan dan Tata Ruang) membeberkan temuan dugaan pelanggaran pemanfaatan lahan pada rencana pembangunan terminal batu bara atau Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) milik PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.
Dalam rilis resmi yang diterima Sabtu 20 September 2025, Makatara menyebut hasil pengamatan citra satelit resolusi tinggi periode 2018-2025 menunjukkan perubahan tutupan lahan seluas 47,6 hektare. Area yang sebelumnya berupa lahan pertanian dan hamparan hijau kini menjadi lahan terbuka. Temuan itu diperkuat dengan pengecekan lapangan.
“Penggunaan lahan di lokasi beririsan dengan kawasan perumahan 56 persen, kawasan lindung 30 persen, tanaman pangan 9 persen, serta perdagangan dan jasa 5 persen,” kata Sekretaris Umum Makatara, Willy Marlupi.
Pemetaan tersebut mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi Nomor 5/2024, data Kementerian ATR/BPN, peta rupa bumi BIG, serta verifikasi lapangan. Makatara juga menemukan lahan rencana terminal batubara berada dekat aliran sungai, intake PDAM Aur Duri, jalan lintas Sumatra, perkantoran, dan permukiman.
Sejumlah titik lahan disebut terindikasi sengketa, terlihat dari pemasangan plang dan panel beton. Warga sekitar telah menyampaikan surat penolakan, sementara Pemkot Jambi disebut telah menyurati Gubernur Jambi agar rencana penggunaan lahan ditinjau ulang.
Temuan lain menunjukkan sebagian lahan masuk dalam Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) Kota Jambi yang ditetapkan Perda No.5/2024 seluas 459 hektare. Berdasarkan UU No.41/2009, lahan KP2B dilarang dialihfungsikan kecuali untuk kepentingan umum.
“Jika terjadi alih fungsi, segala perizinannya batal demi hukum,” ujarnya.
Makatara menilai kegiatan terminal batubara tidak termasuk dalam peruntukan tata ruang yang diatur, mulai dari kawasan lindung, perumahan, tanaman pangan, hingga perdagangan dan jasa. Laporan resmi sudah disampaikan ke Wali Kota Jambi, Dinas Lingkungan Hidup, dan Kantor BPN sejak 12 September, namun hingga kini belum mendapat jawaban.
“Penolakan ini bukan sekadar aspirasi masyarakat, tetapi upaya menegakkan aturan tata ruang dan perlindungan lingkungan,” katanya.
Makatara mendesak pemerintah kota dan provinsi menindaklanjuti temuan tersebut sesuai ketentuan peraturan, termasuk Perda RTRW Kota Jambi No.5/2024, PP No.21/2021 tentang Penataan Ruang, UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No.32/2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup dan UU Cipta Kerja No.6/2023. (*)
LINGKUNGAN
Pembangunan Stockpile dan Underpass PT SAS Dihentikan Sementara, Warga Masih Kecewa!

DETAIL.ID, Jambi – Aktivitas pembangunan underpass dan stockpile batu bara PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) RMKE Group akhirnya dihentikan oleh Gubernur Jambi, Al Haris pada Selasa, 16 September 2025 setelah gelombang penolakan oleh warga sekitar lokasi pembangunan stockpile terus bergejolak tanpa henti.
Usai bermediasi dengan para warga terdampak, Gubernur Jambi Al Haris bilang bahwa dirinya bersama para kepala daerah menerima aspirasi masyarakat. Namun tak bisa memutuskan untuk menutup permanen pembangunan underpas dan stockpile baru bara PT SAS. Haris mengedepankan dialog antara para warga dengan perusahaan, mesti sudah jelas-jelas aksi penolakan terus bergejolak.
“Hari ini warga meminta ini ditutup dan kita juga meminta PT SAS untuk tidak ada aktivitas sampai ada keputusan berikutnya. Hari ini yang pasti tutup dulu,” ujar Al Haris, usai mediasi bersama pihak PT SAS dan warga terdampak, di aula rumdis Wali Kota Jambi pada Selasa, 16 September 2025.
Sampai kapan? Al Haris menjawab sampai ada kesepakatan. Kalau tidak ada, berarti belum bisa dilanjutkan.
Sementara Wali Kota Jambi, Maulana tak menampik bahwa lokasi stockpile PT SAS melanggar Perda RT/RW Kota Jambi 2024-2044. Namun PT SAS disebut juga mengantongi persetujuan tata ruang dari Kementerian ATR/BPN.
“Kalau Kementerian yang mengesahkan, Perda kita harus juga mengeluarkan. Itu artinya dari segi tata ruang, yang di bawah kita harus melakukan diskusi lagi untuk melakukan perubahan, baru bisa dilanjutkan atau tidak,” ujar Maulana.
Wali Kota Jambi itu menekankan bahwa pemerintah bakal mengawal mediasi hingga ada keputusan bersama antar warga dengan perusahaan. Dengan ini masa depan investasi PT SAS di Jambi dengan berbagai klaim positifnya belum ada kejelasan. Begitu pula dengan masyarakat sekitar stockpile. Namun Maulana mengaku bahwa pemerintah tidak menutup mata.
“Tergantung dari hasil komunikasi mereka. Bisa dibuka, bisa ditutup,” katanya.
Ketika disinggung kembali soal permintaan masyarakat agar pembangunan stockpile PT SAS dihentikan atau dipindahkan. Al Haris pun menyinggung perizinan PT SAS sudah terbit sebelum dirinya menjabat Gubernur. Oleh karena klaim perizinan yang sudah lengkap tersebut, maka menurutnya tidak bisa serta merta diputus.
Menyikapi hal tersebut Ketua Barisan Perjuangan Rakyat (BPR) Aur Kenali, Rahmad Supriadi mengaku kecewa dengan keputusan Gubernur. Lantaran penghentian aktivitas pembangunan stockpile PT SAS, hanya bersifat sementara.
“Semuanya masih menggantung, itu yang membuat masyarakat kecewa,” ujar Rahmad.
Rahmad menegaskan bahwa pada intinya masyarakat tetap pada sikap menolak keberadaan stokpile PT SAS di kawasan permukiman mereka. Soal adu data terkait dampak kerugian yang ditimbulkan PT SAS, masyarakat mengaku siap.
“Tetap harus tutup (stockpile PT SAS). Karena sudah jelas-jelas, masalah namanya rekayasa teknologi yang mereka sampaikan, itu bohong semua!” ujarnya.
Reporter: Juan Ambarita