OPINI
Kuasa Legislatif di Kampus

TIGA MACAM kekuasaan di dalam Negara yang harus diserahkan kepada badan yang masing-masing dan berdiri sendiri: yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federative.
Sedangkan, Indonesia menggunakan Trias Politica yang kedudukannya sejajar dan terdiri dari Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Lalu apa hubungannya dengan kehidupan kampus?
Lembaga legislatif di Indonesia lebih dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD Provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD Kabupaten/Kota.
Memiliki fungsi:
- Fungsi legislasi, sebagai lembaga pembuat undang-undang.
- Fungsi anggaran, sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
- Fungsi pengawasan, sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang.
Memiliki hak-hak, antara lain:
- Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
- Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
- Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.
Nyatanya, di kampus yang bisa dibilang adalah miniatur negara, oleh mahasiswa/mahasiswi tiga kekuasaan; legislatif, eksekutif dan yudikatif sudah diterapkan secara langsung di kehidupan kampus.
Saat ini, di kehidupan legislatif kampus, tentu kalah pamornya, kalah bergengsi, walau secara hierarki lembaga ini diposisikan berada ditingkat lebih tinggi daripada lembaga eksekutif oleh banyak universitas ternama.
Awalnya seorang Mahasiswa Baru (Maba) pastinya tertarik dengan yang namanya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), termasuk kepada saya, anak BEM itu terlihat sangat famous. Saat Ospek di pengenalan kehidupan kampus serta pengenalan organisasi, anggota BEM terlihat sangat dominan, mempunyai kuasa untuk mengatur acara secara seluruh. Peran lembaga legislatif hampir tidak terlihat dalam setiap ajang kemahasiswaan. Namun, setelah saya ulik-ulik, memberanikan diri bertanya kepada senior (kakak tingkat), saya mendapati bahwa kuasanya seorang legislator itu lebih mutlak, bukan soal gegayaan ingin dilihat keren atau dipandang istimewa oleh banyak mahasiswa.
Kuasa (privilege) seorang legislator itu lebih ke membuat dan mengatur semua tatanan keorganisasian. Berarti kuasa ini lebih keren ketimbang aksi sok gegayaan ala anak eksekutif. Saya yang pada saat itu sudah kepalang terjun ke dunia organisasi sebagai anggota himpunan mulai serius ingin menjadi seorang legislator.
Lembaga mahasiswa berlabel legislatif mahasiswa di kampus mana pun, diakui atau tidak mempunyai kesan minim fungsi. Bahkan cenderung hanya dijadikan formalitas pelengkap keberadaan lembaga kemahasiswaan.
Nama lembaga legislatif mahasiswa memang cenderung tenggelam oleh glamour lembaga eksekutif mahasiswa. Sangat dimaklumi mengingat peran-peran eksekutif mahasiswa terkesan lebih menyentuh langsung kepada mahasiswa, sedangkan peran legislatif mahasiswa terkesan menjalankan peran legislasif yang berkutat hanya pada pembuatan regulasi.
Lebih memprihatinkan lagi, ada kesan bahwa fungsi lembaga legislatif mahasiswa hanya berperan temporal ketika membuat regulasi ketika Ospek, Pemilu Mahasiswa, dan kongres mahasiswa di akhir kepengurusan eksekutif mahasiswa.
Hal tersebut ternyata tidak hanya menjangkit di tataran kampus, namun juga terakumulasi secara nasional bahwa lembaga legislatif mahasiswa miskin fungsi, dan tak terdengar kiprah dan gaungnya dibandingkan dengan lembaga eksekutif mahasiswa di tataran nasional seperti BEM se-Indonesia, maupun BEM nusantara sebagai forum perkumpulan lembaga-lembaga eksekutif nasional baik dari perguruan tinggi negeri maupun swasta. Walau kita pun sebenarnya memiliki Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI).
Menilik sejarahnya, gerakan mahasiswa intra kampus memang mengalami pasang surut. Dari mulai adanya Senat Mahasiswa di era Orde Lama, Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) di era Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Dewan Mahasiswa masa Orde Baru, hingga era reformasi dengan keberadaan lembaga kemahasiswaan yang lebih fleksibel dan representatif dan demokratis. Dalam era-era tersebut pun, semuanya memiliki tipe maupun fluktuasi gerakan masing-masing, sebagaimana hukum sejarah bahwa tiap masa membawa kisahnya masing-masing.
Arif Rahman Hakim, maupun Soe Hok Gie pada zamannya telah menorehkan tinta emas sebagai penumbang rezim Orde Lama dengan Senat Mahasiswanya pada tahun 1965. Dewan Mahasiswa mencuat ketika Hariman Siregar dan Kawan-kawan memimpin gerakan radikal yang berujung pada peristiwa Malari pada tahun 1974.
Sehingga, selanjutnya pemerintahan Orde Baru menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus dengan membentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan untuk mewadahi aktivitas kemahasiswaan yang cenderung diperlakukan secara represif. Tak aneh jika pada masa sesudah Malari, gerakan mahasiswa intra kampus terkesan tiarap bahkan mati suri. Pada masa-masa akhir rezim orde baru, Senat Mahasiswa dari berbagai kampus kembali menggeliat seiring kondisi bangsa yang telah akut, dan pada akhirnya memuncak titik ekskalasinya pada tahun 1998 dengan menumbangkan rezim Orde Baru.
Sesudahnya, reformasi nasional berimbas pula pada reformasi kelembagaan kemahasiswaan, dengan konsep student government yang cenderung bebas dari cengkeraman kekuasaan pemerintah seiring era demokratisasi, dan sepertinya representatif sekali bagi pembelajaran politik bagi mahasiswa. Namun hal tersebut ironisnya justru cenderung menjadikan keberadaan lembaga-lembaga kemahasiswaan mengalami kontra produksi dan menjadi semacam pelengkap saja keberadaannya di sebuah kampus.
Lembaga legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi check and balance terhadap lembaga eksekutif mahasiswa, terkesan miskin fungsi. Hal ini semakin terpuruk dengan minimnya minat mahasiswa untuk berkiprah di lembaga legislatif mahasiswa.
Padahal, jika merunut pada fungsinya, signifikansi lembaga legislatif mahasiswa sebenarnya sangat tinggi, terutama dalam menjaga ritme pergerakan mahasiswa, terlebih di saat seperti sekarang yang tengah menggejala kelesuan gerakan mahasiswa intra kampus.
Lembaga legislatif mahasiswa memegang kunci regulasi tatanan kemahasiswaan, sehingga seharusnya dinamisasi mahasiswa yang nantinya direpresentasikan dalam gerakan eksekutif mahasiswa tetap terjaga. Tidak seharusnya kelesuan dan kemandulan eksekutif mahasiswa dalam memperlihatkan taringnya entah di hadapan birokrat kampus maupun pemerintahan negara terjadi. Lembaga legislatif seharusnya bisa mencarikan treatment-nya, yaitu dengan melakukan pressure (tekanan) sebagai representasi aspirasi suara mahasiswa akar rumput, dan merekomendasikannya kepada eksekutif mahasiswa sebagai eksekutornya.
Peran sebagai watch dog dan sparing partner bagi eksekutif mahasiswa inilah yang sepertinya jarang dilakukan oleh lembaga legislatif mahasiswa. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya mereka menyerap aspirasi dari konstituen mahasiswa yang diwakilinya di tataran bawah.
Saat ini yang terjadi kebanyakan dari kedua lembaga itu terkesan sama saja, miskin fungsi. Terlebih ketika dihadapkan pada realitas bahwa kedua lembaga tersebut tak jarang dikuasai oleh elemen pergerakan mahasiswa yang sama ideologi dan garis politiknya, maka makin matilah dinamisasi kelembagaan mahasiswa utamanya lembaga legislatifnya. Karena, ada kecenderungan ewuh pakewuh dalam melakukan fungsi check and balance.
Pada akhirnya memang sangat perlu penjagaan ritme dan dinamisasi pergerakan mahasiswa, mengingat ruh dan kekuatan mahasiswa yang begitu dinantikan bangsa hanya akan terlihat ketika ada dinamisasi dan pergerakan. Tanpa itu semua, tentunya mahasiswa hanya akan berkutat pada wacana tanpa aksi nyata. Dan peran strategis tersebut harus segera dimainkan oleh setiap lembaga legislatif mahasiswa yang ada.
Awal mula saya memasuki lembaga legislatif, ketika dipilih menjadi Ketua Umum Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) di Universitas Pakuan. Saya dipilih oleh mayoritas delegasi perwakilan fakultas yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Universitas yang saat itu tengah menyelenggarakan Pemilihan Raya (Pemira). Berbekal pengalaman berorganisasi sebagai Deputi Kemendakam Bidang Advokasi yang kemudian menjadi salah satu fungsi di lembaga legislatif kampus saat itu. Saya sangat diuntungkan, karena menjadi yang paling berpengalaman di antara banyak delegasi fakultas lainnya.
Momentum keterpilihannya saya, menjadi titik balik awal semangat baru menjadi seorang legislator. Saya mulai tekun memburu ilmu kelegislatifan kepada para pengurus sebelumnya. Bermodal kertas selembar dan pulpen pinjaman, diawal-awal kepemimpinan saya disibukkan oleh kegiatan safari ria.
Barulah di tengah waktu kepengurusan saya, setelah menjalankan Rapat Kerja Gabungan (Rakergab) bersama BEM. Saya mulai menerapkan konsep yang telah saya pelajari.
BLM KBM Unpak memiliki lima fungsi pokok, tiga dicontoh dari fungsi DPR; budgeting, controlling, legislation, dan dua, merupakan fungsi tambahan; aspirasi dan advokasi, mengingat terdesaknya fungsi tersebut yang sebelumnya tidak becus dijalankan oleh BEM.
Dalam perjalanan kepengurusan saya dengan lima fungsi tadi, dengan berbagai penyesuaian dengan BEM serta lembaga di fakultas, sangat sulit menjalankan kelima fungsi sekaligus di tengah kalah pamornya legislator ketimbang seorang Presiden Mahasiswa (Presma).
Jargon “Viva Legislativa” yang sering kali dipekikkan ternyata saya baru mengetahui artinya setelah saya memasuki legislatif berarti, “Hidup Legislatif”. Dua kata tersebut selalu menyejukkan karena ada huruf “V” di sana, entahlah mungkin itu terdengar konyol, tapi huruf “V” menggambarkan kehebatan, kenapa tidak? Jarang sekali huruf tersebut digunakan, sehingga membuatnya istimewa dimata saya. Alasan yang konyol memang, namun entah apa yang menggerakkan hati saya untuk ikut turut aktif dalam ranah legislatif.
Jika dilihat dari ketidakeksisannya memang kurang menarik, apa fungsinya saja seorang mahasiswa tidak tahu, bahkan keberadaannya dianggap gaib. Itu pun saya tahu legislatif dari kakak-kakak universitas lain yang secara tidak langsung mengenalkan setiap organisasi didunia kampus mereka masing-masing.
Kembali ke paragraf atas tentang Legislatif yang dikenal dengan DPR, kami pun demikian bekerja layaknya seorang DPR, karena semua peraturan yang dibuat di kampus pun berlandaskan DPR, mulai dari fungsi, peraturan, alat kelengkapan, hak dan kewajiban dll.
Berbincang tentang legislatif, tidak hanya di kampus yang tidak terkenal dimata mahasiswa, begitu pun dengan DPR yang tidak semua masyarakat tahu ketua DPR sekarang. DPR yang berkedudukan ditingkat pusat sedangkan yang ditingkat daerah adalah DPRD, begitu pun dengan dunia kampus. DPR bisa dimisalkan dengan MTM (Majelis Tinggi Mahasiswa) tingkat Universitas, sedangkan DPRD tingkat provinsi dimisalkan dengan BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) tingkat fakultas, dan sedangkan DPRD tingkat kota/kabupaten dimisalkan dengan LLMJ/BLMJ (Lembaga Legislatif Mahasiswa Jurusan/Badan Legislatif Mahasiswa Jurusan) tingkat jurusan. Tidak jauh beda dengan kehidupan di negara demokrasi ini?
Yang saya tahu sampai saat ini tetap eksekutif lebih eksis di mata teman mahasiswa dan masyarakat, apalagi adanya BEM-SI, bayangkan saja ada Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia, luar biasa hebatnya mereka terdiri atas para aktivis hebat yang siap mengguncang dunia. Namun legislatif, tidak ada Seluruh Indonesia, di kampus saja masih terpisah belum menyatu seutuhnya.
Saya mulai mencari tahu tentang Legislatif seluruh Indonesia, dan ternyata ada FL2MI (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa). Luar biasa sekali saya terkagum dengan kemunculan legislatif ke atas permukaan yang siap menghantam ketidakpatuhan. Dan saya semakin tidak meragukan bahwa pilihan saya untuk bergabung di legislatif atas ketentuan Tuhan dengan menggerakkan hati saya tidaklah salah.
*Kabid PPSDM PP FL2MI 2016/2017. Ditulis dari pengalaman pribadi serta beberapa sumber lain.


SETIAP tahun, suasana Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu dirayakan dengan gegap gempita di berbagai daerah. Namun, ada ironi besar di balik semua itu. Semangat merayakan hari lahir Rasulullah sering kali hanya berhenti pada simbol, tidak menembus ke substansi.
Rasulullah SAW bukanlah figur yang gemar pada kemewahan perayaan. Beliau diutus membawa risalah kebenaran, menegakkan amanah, kejujuran, dan keadilan. Yang beliau wariskan bukanlah seremonial kosong, melainkan teladan akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman para pemimpin umat, termasuk pemimpin daerah kita.
Padahal, inti dari peringatan Maulid bukanlah sekadar mendengar ceramah atau memajang baliho besar gambar Kepala Daerah di masjid. Inti Maulid adalah meneguhkan kembali teladan Rasulullah:
1. Amanah dalam kepemimpinan;
Rasulullah menunjukkan bahwa jabatan adalah titipan, bukan alat memperkaya diri atau keluarga. Kepala daerah hari ini mestinya meneladani itu, memastikan setiap rupiah APBD digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperbesar rekening pribadi.
2. Kejujuran dalam setiap kebijakan;
Rasulullah tidak pernah berbohong meski dalam perkara kecil. Pemimpin seharusnya berani berkata jujur pada rakyat: tentang kondisi keuangan daerah, tentang keterbatasan, bahkan tentang kegagalan. Bukan malah menutup-nutupi dengan angka manipulatif demi pencitraan.
3. Kesederhanaan hidup;
Rasulullah hidup sederhana, bahkan ketika memiliki peluang untuk kaya raya. Sedangkan para kepala daerah kita sering kali larut dalam gaya hidup mewah: mobil dinas berderet, perjalanan dinas berulang, pesta perayaan digelar besar-besaran, sementara rakyat kecil masih kesulitan biaya pendidikan dan kesehatan.
Jika para kepala daerah benar-benar ingin menjadikan Maulid sebagai momen penting, seharusnya mereka tidak hanya sibuk di atas panggung, tapi juga menjadikan amanah dan kejujuran sebagai kompas kepemimpinan sehari-hari. Tidak ada artinya mengeluarkan kata-kata manis tentang Rasulullah jika kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat.
Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang paling dicintai rakyat karena keadilannya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyat karena kezalimannya.
Pertanyaannya: apakah kepala daerah hari ini sudah berada di jalan yang benar? Ataukah mereka hanya menumpang nama Rasulullah untuk memperindah citra di depan rakyat?
Maulid seharusnya menjadi alarm moral: jangan sibuk dengan perayaan tapi lalai dari keteladanan.
Jadikanlah Rasulullah sebagai teladan dalam kejujuran, jadilah pemimpin yang Al-Amin bukan yang Al-Korup. Sebab, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah panggung megah dan sambutan panjang, melainkan pemimpin yang benar-benar meneladani sifat Al-Amin, Amanah, Jujur, dan Adil.
*Pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi

FENOMENA Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti), bukanlah terjadi baru-baru ini saja. Sejak transmigrasi masuk, sudah banyak bekas galian PETI di sepanjang lokasi yang dijadikan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Renah Pamenang, Pamenang Selatan misalnya, bekas galian para warga yang mencari butiran emas bisa disaksikan secara kasat mata. Hanya saja cara mereka awalnya hanya mengunakan dulang atau alat tradisional yang digunakan untuk memisahkan butiran pasir dan buliran emas, cara mereka menggalinya pun mengunakan alat sederhana seperti linggis.
Namun memasuki tahun 2010, aktivitas PETI berubah total, dari yang awalnya tradisional, berubah mengunakan mesin dan merambah mengunakan alat berat sampai sekarang.
Tapi diakui atau tidak, di Provinsi Jambi, aktivitas peti khususnya di Jambi Wilayah Barat, seperti Tebo, Muara Bungo, Merangin, dan Sarolangun aktivitas PETI terus terjadi, namun pola-pola yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan emas dilakukan dengan tiga cara, seperti dompeng darat, lanting, dan menggunakan box
Dompeng darat, biasanya oknum masyarakat mencari emas menggunakan alat berat dengan cara mengali tanah dengan kedalam tertentu, dibantu dua mesin penyedot air dan mesin penyedot batu dan mampu menampung sampai delapan tenaga kerja, dengan kelebihannya setelah ditambang bisa direklamasi ulang dan bisa ditanami kembali.
Berbeda dengan dompeng lanting, biasanya masyarakat mengunakan rakit buatan yang dilakukan di dalam sungai, dengan cara menyedot batu dan pasir di dalam sungai dengan dua mesin yang biasanya dilakukan oleh tiga tenaga kerja, Terkadang pasir yang disedot dimasukan kembali ke sungai sehingga membuat aliran sungai menjadi dangkal.
Lain halnya PETI menggunakan alat berat yang bekerja, mengambil pasir dan batu menggunakan baket alat berat kemudian dimasukan dalam alat box, dan biasanya ada dua sampai tiga pekerja yang melakukan pekerjaan secara terus menerus di bantaran aliran sungai sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah dan susah untuk direklamasi ulang.
Tentu ada hal yang menarik dari tiga katagori PETI yang sering dilakukan oleh warga, Bagaimana pengunaan merkuri atau logam berat. Dari pantauan penulis, masyarakat yang beraktivitas PETI rata-rata mengunakan logam berat untuk memisahkan emas dari pasir hitam dengan cara memasukan ke dalam ember, kemudian diaduk di satu tempat agar logam berat tidak terbuang lalu di peras mengunakan kain tipis untuk memisahkan emas dan logam berat, atau bagi masyarakat pendompeng mengenalnya dengan istilah “ngepok”, setelah terpisah air tak tadi dimasukan ke dalam botol untuk bisa dipergunakan lagi.
Lalu kemana para pemain petugas menjual hasilnya? Banyak di sejumlah tempat yang biasa menampung hasil PETI, ada pemilik modal yang bekerja sama dengan cara main “DO”, dengan sistem pembelian yang berbeda dengan harga toko emas, dan ada juga yang langsung menjual lepas ke penadah emas dengan harga yang lebih tinggi di banding pemilik “DO”. Tak perlu harus menelisik toko emas mana yang menjadi langganan pelaku PETI menjual hasilnya dan “aman dari pengamatan petugas” dan sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Merangin.
Dari sisi ekonomi, bagi sebagian masyarakat, kerja di Penambangan Emas Tanpa Izin tentu sangat menjanjikan, sebab banyak masyarakat yang tertolong dari pinjaman pinjol, tagihan angsuran bank, angsuran kredit motor dan biaya anak sekolah, belum lagi bagi oknum NGO, oknum organisasi profesi, institusi tertentu, yang sering mendapatkan rezeki dari para pemilik mesin dompeng, walaupun hanya sekedar berbasa-basi dengan pemilik PETI.
Lalu bagaimana PETI yang sudah terjadi puluhan tahun tetap berlangsung sampai saat ini? Meskipun sudah banyak pekerja PETI yang tertangkap dan dipenjara, apakah ada efek jera?
Bagi sebagian kecil pekerja pasti dapat efek jera, sebab hanya pekerja saja yang jadi tumbal dan jarang pemilik dan pemodal PETI yang tertangkap. Namun fakta di lapangan bisa dilihat hari ini dirazia aparat keamanan berhenti bekerja, besok pasti sudah bekerja lagi demi tuntutan kebutuhan perut.
Terkadang ada juga faktor x yang berpengaruh, agar saat razia terkesan ada hasil, di lokasi tertentu para pemilik alat berat dan dompeng bisa berkoordinasi dengan baik dengan para oknum, maka sudah pasti akan selamat, tetapi jika di satu wilayah para pemain alat berat dan pemilik dompeng di anggap “pelit”, dan sering masuk pemberitaan bisa dipastikan bakal ada yang kena, dan ini fakta yang terus menerus terjadi.
Mari kita lihat bagaimana peran penting PETI yang dicaci tetapi membawa rezeki. PETI tidaklah akan berjalan sampai hari ini jika bahan bakar distop dari hulunya, tetapi ada fakta lainnya yang tidak bisa dipisahkan, ibarat PETI adalah gula manis, tentu banyak jenis semut yang mendekati untuk mendapatkan rasa manisnya.
Siapa yang berani menjual bahan bakar PETI seperti solar subsidi dalam jumlah besar jika bukan ada oknum aparat keamanan yang bermain? Pemandangan antrian solar subsidi pasti mengular di sejumlah SPBU di Merangin yang menyediakan bio solar, banyak cara dilakukan dengan mengisi berkali kali dengan nomor barcode yang berbeda beda, lalu hasil antrian solar sudah pasti sudah ada pembeli yang dijual ke lokasi PETI. Lalu kenapa PETI bisa sebagian aman saat dirazia dan sudah bocor duluan saat didatangi ke lokasi, sudah bisa diduga ada oknum aparat keamanan yang pasti ikut mendapatkan bagian dari kegiatan ilegal tersebut, dan bahasa sederhananya adalah mendapatkan “bulanan” per alat berat di setiap wilayah di Merangin pasti berbeda beda nominalnya.
Lalu ada peran Pemerintah Daerah yang tidak mau kehilangan cara, dengan menerbitkan surat edaran Kepala Daerah yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan kecamatan hingga level desa untuk tidak terlibat PETI, apalagi Kades merupakan pemangku adat di desanya.
Situasi ini tentunya mudah disampaikan tapi sulit dikerjakan. sebagian besar masyarakat di Merangin sudah puluhan tahun banyak yang bekerja dan menggantungkan hidup di sektor “per-PETI-an” , dan saat pemerintah menghimbau tidak melakukan aktivitas PETI tetapi sayangnya edaran tersebut tidak disertai solusi konkrit yang bisa dikerjakan masyarakat agar bisa beralih ke pekerjaan lainnya selain kerja PETI.
Jikalau mau dan serius dalam memberantas PETI, Pemerintah Daerah wajib membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kerja sama dan secara serius mencarikan solusi agar masyarakat bisa mendapatkan pilihan pekerjaan selain PETI, dan berani tegas untuk menindak semua oknum aparat keamanan yang berani menjual BBM kepada para pelaku PETI, tidak menerima uang bulanan, dan sama-sama mengawal kebijakan soal wilayah pertambangan rakyat, bagaimana izin pertambangan rakyat bisa didapatkan, sehingga tidak ada lagi cara-cara ilegal untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup masyarakat banyak.
Seperti kaga pepatah, jika air keruh di hilir tengoklah dari hulunya.
Salam santun.
*Penulis adalah wartawan DETAIL.ID yang tinggal di Kabupaten Merangin.
OPINI
Pembangunan Stockpile Batu Bara dan Penolakan Warga: Ujian Serius Bagi Pemerintah
Oleh: Eko Saputra S. Lumban Gaol, SH*

PEMBANGUNAN stockpile batu bara di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, telah memicu gelombang penolakan besar. Warga menilai proyek ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak hidup mereka.
Provinsi Jambi selama ini menjadi salah satu lumbung batu bara nasional. Namun, di balik sumbangan devisa, masyarakat justru menanggung dampak: jalan rusak akibat truk over tonase, kemacetan kronis, polusi udara yang memicu penyakit, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berujung korban jiwa. Terakhir, pembangunan stockpile batu bara di tengah pemukiman padat semakin memperparah beban masyarakat.
Pemerintah Harus Memihak Rakyat
PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), pemilik IUP ±1.273 hektare di Sarolangun, mengklaim memiliki izin sah untuk membangun stockpile sekaligus pelabuhan pengangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan minimnya keterbukaan:
- Tidak ada sosialisasi yang layak bagi warga terdampak.
- Lokasi di jantung pemukiman yang rawan banjir, macet, dan polusi.
- Dugaan pelanggaran tata ruang dan peruntukan lahan.
Penolakan pun meluas, para aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, hingga warga sekitar menegaskan ketidaksetujuan mereka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan peluang ekonomi, melainkan ancaman hidup.
Klaim PT SAS soal kepatuhan izin tak bisa menjadi tameng. Pemerintah dari pusat hingga kota dituntut berhenti bersikap pasif. Jika izin memang diberikan, prosesnya perlu diaudit terbuka. Bila memang menyalahi RTRW atau mengancam keselamatan warga, pencabutan izin atau relokasi harus menjadi langkah tegas.
Just Transition Bukan Sekadar Konsep
Transisi energi yang adil (Just Transition) adalah pendekatan yang menekankan perlunya transisi energi yang adil, inklusif dan adil untuk semua pihak. Di Aur Kenali, Just Transition menjadi satu hal yang prinsip, tidak ada pembangunan yang mengorbankan kesehatan, keselamatan, dan ruang hidup warga yang mengatasnamakan investasi dan keuntungan segelintir perusahaan.
Penolakan warga Aur Kenali adalah peringatan keras bahwa investasi tak boleh menindas hak masyarakat, tapi seyogyanya mendorong transisi energi dan ekonomi yang adil, dengan memastikan tidak ada yang tertinggal.
Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar pemberi izin. Tanpa keberpihakan tegas, pembangunan stockpile batu bara hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.
*Warga RT 014/002 Desa Mendalo Darat, mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi dan Ketua DPC FSB NIKEUBA Muarojambi