Genosida dan Jejak Para Leluhur Tano Batak

Jejak Leluhur
Tugu Datu Pejel. Masih berkibar bendera Bangso Batak. (DETAIL/Jogi Sirait)

TAHUN 1816-1833 merupakan masa paling kelam dalam sejarah di Tano (Tanah) Batak. Pasukan Padri menjajah dan menghancur leburkan suku Batak Toba, Pasukan Paderi berhasil menang melawan orang Batak Toba, diperkirakan sekitar 75 persen orang Batak Toba terbunuh termasuk anak-anak dan perempuan. Sisanya 25 persen yang tersisa adalah mereka-mereka yang melarikan diri ke hutan dan kelompok-kelompok yang tunduk pada pasukan Padri.

Seperti dikutip dari tirto, disebutkan bahwa Mangaradja Onggang Parlindungan punya cerita menarik soal Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik dalam buku kontroversialnya, Tuanku Rao, Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak (kali pertama terbit pada 1964). Menurut Parlindungan, trio haji itu adalah mantan tentara Turki ketika Turki berperang dengan tentara Napoleon.

Di antara mereka bertiga, menurut Parlindungan, Haji Piobang menyandang pangkat tertinggi kolonel di kesatuan Janisari alias pasukan berkuda. Sementara Haji Sumanik adalah mayor pasukan artileri Turki dan Haji Miskin tidak mencapai pangkat hingga perwira.

Intinya, menurut Parlindungan, trio haji ini adalah ahli perang. Mereka punya kawan dari Sulu Filipina bernama Haji Datuk Onn, yang dalam ketentaraan Turki, adalah kapten bawahan Haji Piobang. Ketika bertugas di Arab Saudi, para haji ini ditahan dan menjadi murid dari orang-orang Saudi penganut mazhab Hambali dan pelopor gerakan Wahabi.

“Kira-kira di tahun 1800 ketiga haji ini pulang dari tanah suci menuju Minangkabau. Kepulangan ketiga haji tersebut bersama satu orang lain, (seorang) haji dari Sulu Filipina bernama haji datuk Onn, atas saran dari Abdulah Ibnu Saud penguasa Arab Saudi waktu itu yang beraliran Wahabi,” tulis Parlindungan.

Baca Juga: Berita Mau Laku? Pikirkan Selera Milenial

Di Minang inilah Haji Piobang membangun pasukan militer Padri. Dalam bukunya, Parlindungan menyebut soal pembantaian yang dilakukan Kaum Padri terhadap Kerajaan Pagaruyung, istana kuno Minangkabau, yang dianggap sumber budaya Melayu. Istana ini menjadi korban serangan Tuanku Pasaman dan orang-orang Batak Mandailing oleh serangan pasukan Tuanku Rao. Kedua peristiwa ini lantas menjadi perdebatan antara Parlindungan dan Buya Hamka.

Meski buku Parlindungan dianggap 80 persen bohong dan 20 persen meragukan oleh Hamka, dalam buku tandingan yang ditulis Hamka, Antara Fakta Dan Khayal “Tuanku Rao” (1974), soal pembantaian terhadap orang Mandailing dan Pagaruyung itu tidaklah disebut. Seakan pembantaian itu tak pernah ada.

Menurut Franz Wilhelm Junghuhn (naturalis, doktor, botanikus, geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman yang meninggal di Lembang, Bandung), seperti dikutip Bungaran Antonius Simanjuntak dalam Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba (2006), 200 ribu orang dari suku Batak Mandailing dan Angkola jadi korban. Simanjuntak menyebut, “Tentara Padri menindas Tanah Batak dengan pedang dan membunuh rakyat yang tak mau masuk Islam.”

Daniel Perret menuliskan dalam Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (2010) bahwa penolakan jenazah “Batak” di pekuburan Sungai Mati ialah salah satu peristiwa penting dalam pembentukan etnisitas Mandailing.

Pada dekade pertama abad ke-20, satu per satu orang bagian selatan Tapanuli yang merantau ke pesisir timur laut Sumatra mulai mengidentifikasi dirinya sebagai Mandailing. Sebelumnya, mereka dianggap “Batak” oleh pemerintah kolonial. Sebagian besar orang Mandailing beragama Islam dan sebagian lagi lulusan sekolah misi Kristen.

“Mengenai sebabnya barangkali dapat diajukan kemungkinan bahwa pada saat itu kalangan elite yang mendapat pendidikan Barat di bagian selatan Tapanuli sudah dapat membaca publikasi dan hasil penelitian orang Barat yang tidak memberikan gambaran menguntungkan mengenai ‘suku Batak’,” kata Perret.

Salah satu rumor yang berkembang dan dipercaya hingga sekarang ialah Batak bangsa kanibal. Hasil penelitian Daniel Perret menuliskan dalam Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (2010) menunjukkan kanibalisme menjadi faktor yang digunakan para pembuat kategori etnis untuk membedakan, pertama, Batak dan Melayu.

“Jadi kami beranggapan bahwa sebutan ‘Batak’ tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dari pertentangan dengan identitas Melayu. Seluruh penduduk pedalaman dimasukkan dalam kategori ‘Batak’ yang merujuk pada orang-orang pedalaman, bukan Melayu, bukan Islam,” ujar Perret.

Cerita-cerita ini berkembang dari catatan penjelajah (Eropa, Timur Tengah, atau Cina) yang singgah di Sumatra bagian utara pada beberapa abad sebelumnya. Namun, dalam “European Travelers and Local Informants in the Making of the Image of “Cannibalism” (2005), Masashi Hirosue menunjukkan rumor itu diciptakan penguasa pesisir agar orang asing tidak kontak langsung dengan orang pedalaman yang kerap disebut Batak.

Menyandang identitas “Batak”, waktu itu, artinya juga mesti siap dipandang rendah bangsa-bangsa lain. Dalam artikel yang dimuat Pewarta Deli edisi 21 Oktober 1918, misalnya. Artikel yang sudah diterbitkan Java Bode dan diperkirakan ditulis seorang Jawa dari Yogyakarta itu menyebutkan, “Negeri jang beloem dikenal. Tapanuli […] Di sana, sebelah barat poelaoe Soematra ada satoe ketoeroenan bangsa jang liar, jang dinamai bangsa Batak.”

Jejak Leluhur 

Dua cerita di atas, soal genosida (masih diperdebatkan) dan kanibalisme membuat saya bertanya-tanya apakah memang itu sungguh-sungguh terjadi. Saya tak punya kemampuan dan waktu untuk merisetnya. Saya hanya ingin menelusuri jejak para leluhur saya sebagai orang Batak.

Opung Doli (kakek atau ayah Bapakku) saya sama sekali tak pernah saya lihat langsung. Fotonya pun tak ada. Ia meninggal saat Bapak baru berusia 10 tahun. Jangankan saya, mungkin Bapak pun lupa wajah ayahnya. Apakah wajahnya mirip Leonardo Di Caprio atau justru malah mirip Keanu Reeves. Entahlah!

Hanya Opung Boru (nenek) yang pernah saya jumpai ketika berusia 4 tahun. Tahun 1982 silam. Cerita dari Bapak selama ini soal Tarombo (silsilah keluarga Batak) selalu bikin saya puyeng. Saya pikir tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menelusuri jejak kampung halaman. Istilah kerennya “Wisata Leluhur”.

Buat apa? Ya, buat meneruskan jejak leluhur kepada anak-anak saya. Biar mereka paham dari mana asal muasalnya. Liburan penghujung tahun 2019 ini adalah waktunya.

Saya bersama istri dan ketiga anakku berangkat dari Jambi pada Senin, 16 November 2019. Dan baru bisa bergerak ke Parapat, Sumatra Utara pada Jumat, 27 November 2019. Kami bergerak dari Tanjung Balai, Asahan, Sumatra Utara jam tiga sore. Sampai di Parapat sudah jam 8 malam. Kami makan malam dulu. Satu jam kemudian kami bergerak menuju Balige namun melihat panjangnya antrean mobil nyali saya kecut. “Jam berapa pula tibanya,” pikir saya. “Kita nginap di Parapatlah ya,” kata saya kepada istri. “Lebih baik begitu, Pa,” jawabnya.

Mobil kami putar kembali dan mencari penginapan. Bapak merekomendasikan sebuah penginapan murah di Parapat. Bapak cuma kasih tahu dekat Telkom. Saya tanya sana-sini akhirnya ketemu juga. Penginapan milik Gereja Katolik Santo Fidelis Sigmaringen. Saya tak sempat bertanya, kapan dibangun.

Kamarnya luas. Di pintu kamar tertulis “dilarang merokok”. Tersedia enam ranjang tidur. Cukup buat kami bertujuh. Saya, istri, anak-anak serta kakak dan anaknya. Besoknya kami disediakan pula sarapan. Nyaman sekali tempatnya. Bagus pula buat spot berswafoto. Pemandangan bukit menjadi latar belakang bangunan ini.

Ternyata biaya penginapan tidak dipatok harga. “Sukarela,” kata suster pengelola tempat itu. Istri saya langsung bayar Rp300 ribu. Ia tersenyum.

Kami check out jam 9.30. Kami telepon Bapatua Rinal. Dia bilang jalan saja ke arah Lumbanjulu. Tujuan kami memang ke Hutanamora, kampung asal Opung. Dalam tempo satu jam kami sudah tiba di sana.

Bapatua Rinai saya wawancarai soal silsilah keluarga kami. Setelah berpamitan kami menziarahi makam Opung Guru Solomon yang sudah dibuat berbentuk tugu.

Dari dia saya baru tahu bahwa Opung paling atas adalah Datu Pejel. Dari dia pula, saya diberi tahu bahwa tugu Opung di Sibisa, arah ke Bandara Sibisa. Kita memang beruntung zaman telah menyediakan teknologi yang canggih. Saya gunakan aplikasi Waze sebagai penuntun jalan.

Berbekal informasi itu, saya bergerak dan bertanya dengan warga setempat. Tibalah kami di Tugu Sirait. Dari situ kami ke Tugu Raja Mangatur. Dari situ pula kami ketemu Tugu Datu Pejel. Tanpa disangka-sangka saya bertemu dengan Ito (boru Sirait) yang rumahnya berdekatan dengan rumah kami di Jambi.

Di tugu Datu Pejel terpampang bendera Bangso Batak yang terdiri dari tiga warna: Merah, Putih dan Hitam. Merah melambangkan Merah semangat/kekuatan/hagogoon. Putih melambangkan kesucian/kebenaran/habonaron. Hitam melambangkan kepemimpinan/hahomion.

“Bah, sudah ketemu kau ya, tugu Opung Datu Pejel?” kata Bapak lewat telepon genggam. “Sudah, Pak. Untuk soal ini, Bapak sudah kukalahkan,” kata saya dengan bangga. Bapak ternyata belum pernah sampai ke sini.

Saya puas. Saya menjadi paham betul Tarombo kami. Siapa saja urutan Opung, dan garis keturunan kami. Suatu saat saya akan ajak Bapak berdua ke sini. Tinggal mendarat di Bandara Sibisa, ya beres.

Menurut portal informasi Indonesia disebutkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010. Suku Batak menempati posisi ketiga terbesar jumlah populasinya di bumi pertiwi ini dengan populasi 3,58 persen setelah Jawa 40,22 persen, dan Sunda 15,5 persen.

Sekarang saya merasa bangga menjadi orang Batak. Itu buktinya, nomor tiga terbesar.

Ketiga anakku dan keturunanku selanjutnya terus akan bertambah. Mereka bisa jadi akan menjadi mayoritas. Apalagi kami kini bervariasi, setidaknya di darah ketiga anakku telah mengalir tiga suku: Batak, Simalungun dan Karo.

Namun yang terpenting bagi saya adalah mengenal diri sendiri. Siapa saya, siapa saja leluhurku karena semuanya melekat dan tak bisa terelakkan. Ini akan menjadi modal untuk melangkah ke depan. Tak penting kami ini bagian dari minoritas atau mayoritas. Kita sangat kaya akan budaya.

Paling tidak pengetahuan kami akan budaya nenek moyang tidak tergerus oleh zaman. Tergerus akan “genosida” budaya. Anak-anakku bisa semakin mengenal siapa mereka. Zaman boleh berubah tapi identitas takkan pernah berubah.

Saya terus melaju kencang mengendarai mobil. Rasa lelah telah terbayar. Malam semakin larut. Anak-anak terlelap dengan dinginnya cuaca Parapat.

 

*wartawan, tinggal di Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *