Berita Mau Laku? Pikirkan Selera Milenial

Selera Milenial
Jogi Sirait

SAYA bertemu dengan senior saya, Bersihar Lubis, beberapa hari lalu. Di Medan, Sumatra Utara. Kami ngopi di Tip Top – salah satu warung kopi peninggalan zaman penjajahan Belanda. Teman saya, Baringin Lumbangaol, ikut nimbrung.

Kami ngalor-ngidul sampai saya tersentak dengan pernyataan Tulang Bersihar. “Media itu harus mengikuti selera milenial kalau mau bertahan dan diterima oleh anak milenial,” katanya sambil mengisap rokok. Usianya 68 tahun. Satu angkatan dengan Pemimpin Redaksi TV One, Karni Ilyas. Satu angkatan, ya semasa di Tempo. Berarti meraka berdua sudan 41 tahun jadi wartawan. Wow!

Saya baru berusia setahun. Tulang Bersihar sudah jadi wartawan sejak 1979. Ia bangga pernah menjadi wartawan Tempo sebelum dibredel. Mungkin karena banyak “drama” semasa Tempo berdiri hingga tenar.

“Jangan terlalu kaku dengan 5 W dan 1 H. Menulis berita tidak cukup lagi dengan hanya itu. Perlu ditambah dengan 1 Human Interest (HI) dan 1 Entertainment (E). Harus begitu kalau mau berita kita tetap laku dan dibaca anak milenial,” ujarnya.

Baca Juga: Genosida dan Jejak Para Leluhur Tano Batak

Pendapat si Tulang memang benar. Anak milenial sekarang lebih cerdas. Mereka tak mudah menerima sesuatu begitu saja. Mereka mencari sesuatu yang berbeda. Hal baru. Pokoknya mereka lebih ribetlah. Namanya selera milenial. Maklum, pilihan sudah sangat tersedia. Tinggal pilih. Enggak suka, ya tinggalkan.

Tapi anehnya, wartawan milenial sekarang ternyata masih banyak yang malas. Bikin berita ala kadarnya. Datang ke jumpa pers, tinggal ambil rilis. Bila perlu wawancara keroyokan. Tak mencoba menggali sesuatu yang baru, unik atau yang berbeda. Terus beritanya siapa yang mau baca?

Sementara pembaca sekarang jauh lebih kritis. Mereka sudah bisa bedakan mana berita yang menarik mana yang seremonial. Apalagi tak perlu bayar. Cukup modal kuota ala kadar atau wifi gratisan.

Namun pembaca di Indonesia kebanyakan tergantung pada sajian yang tersedia di media sosial. Apa yang dishare, itulah yang dibaca. Masih sedikit jumlahnya, pembaca yang benar-benar mencari apa informasi yang mereka butuhkan. Itu kata Najwa Shihab lho!

Jadi kerja jurnalis sekarang memang kudu berat. Harus bisa menghibur, menginspirasi, membuat pembaca tertawa atau bahkan menangis. Caranya ya macem-macem. Ilmu jurnalisme dan gaya penulisan sudah tersedia di mana-mana. Tinggal baca aje. Begitulah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *