SEBUAH pesan terusan masuk ke telepon genggam saya. “Kawan-kawan, saya ingin mengabarkan. Tommy meninggal baru saja setelah mendapatkan perawatan di ICU PKU Muhammadiyah.” Pesan WhatsApp itu datang dari teman saya, Joni Aswira yang bermukim di Jakarta pada jam 12.42 WIB, 2 Februari 2020.
Saya yang tengah menghadiri halal bi halal punguan Tambunan Lumbanpea kaget. “Sakit apa?” tanya saya. “Diabetes.” Diabetes? Kapan pula Tommy Apriando mengidap penyakit itu? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak saya.
Tommy menulis status terakhir di Facebooknya pada 27 Januari 2020. “Empat hari lebih terkapar. Akhirnya diperbolehkan pecicilan lagi sama dokter. Terima kasih doanya kawan-kawan.”
Ternyata setelah itu pada 2 Februari 2020 pagi, Tommy dikabarkan koma dan dilarikan ke rumah sakit ke ruang ICU Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Siangnya, Tommy akhirnya wafat di usia yang masih muda. Ia lahir 10 April 1989 di Desa Simbarwaringin, Lampung Tengah, dari pasangan Jamsiah dan Nusmir Unzir (almarhum).
Ia wafat di Yogyakarta dan akhirnya dimakamkan di tanah kelahirannya, Lampung. Ia sepertinya jatuh cinta dengan Yogyakarta sejak kuliah hingga akhir hayatnya.
Saya mengenalnya sejak Oktober 2013 lalu di Jakarta, dalam sebuah pelatihan tempat kami sama-sama bekerja: Mongabay Indonesia – sebuah media online yang khusus meliput isu-isu lingkungan. Tommy saat itu masih menjadi buzzer di Mongabay Indonesia. Ia baru pulang dari Melbourne, Australia mendapat fellowship dari Asia Pacific Journalism Centre (APJC). Saya banyak bertanya kepada Tommy sebelum berangkat pula ke Melbourne pada tahun 2014.
Tahun 2015, giliran Tommy yang datang ke Jambi untuk mengawal pelatihan Mongabay Indonesia di Universitas Batanghari. Saya kebetulan menjadi salah satu pematerinya. “Saya ingin menulis tidak hanya di Mongabay Indonesia, Bang. Saya juga ingin menembus media-media internasional,” ujarnya ketika itu.
Tommy orangnya riang, luwes dan cerdas. Ia punya tekad yang kuat untuk maju. Setelah menjadi buzzer, kemudian akhirnya Tommy menjadi seorang jurnalis yang dapat diandalkan di Mongabay Indonesia. Liputan-liputan pun seringkali mendalam. Ia suka liputan-liputan yang menantang dan berkeringat. Dari soal konflik tambang, kawasan hutan, dan lain sebagainya.
Bahkan, dia pernah menggarap liputan investigasi yang dibiayai Majalah Tempo pada tahun 2017. Tommy ikut membongkar praktik korupsi perusahaan tambang batu bara di Kalimantan Timur, yang banyak meninggalkan lubang-lubang tambang yang memakan 33 korban. Ia juga meliput ke berbagai daerah di Indonesia.
Komunikasi saya terakhir dengannya pada tahun 2019 ya soal itu, bagaimana menembus proposal liputan investigasi yang dibuka Tempo setiap tahun. Liputannya akan dibiayai 100 persen oleh Tempo. Seperti biasa, Tommy orang yang snak diajak diskusi. Masukannya mengalir.
Impiannya menulis untuk menulis di media asing terbukti. Ia pernah menulis media macam Chinadialogue, The Pangolin Reports, dan The Wire. Saya saja belum pernah. Ia juga dalam pembuatan film Sexy Killers pada tahun 2019. Tommy menjadi salah satu tim riset dan videografer film yang ditonton 20 juta orang pada bulan pertama tayang. Ia seakan tak kenal lelah.
Dalam Instagramnya, Tommy mencantumkan, ‘Menulis itu perlu tahu dan berani.’ Tommy merupakan teladan buat para jurnalis muda. Liputannya keren-keren. Ia sungguh berani. Sayangnya, Tommy mati muda. Namun karyanya akan selalu abadi. Selamat jalan ya kawan. Sampai berjumpa di sana.
*Jurnalis dan tinggal di Jambi