Dalam Selimut Konflik

Konflik
Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. (DETAIL/Feri Irawan)

Setelah menjual sebagian sahamnya ke perusahaan Inggris, Commonwealth Development Corporation Pasific Rim (CDC-Pacrim) pada 2001, keluarga Senangsyah menetap di Jakarta, Bali, dan Melbourne.

Saya hanya menemukan jejak bisnis Santoso, kini berumur 74 tahun. Ia duduk sebagai direktur utama PT Taman Nusa, sebuah wahana wisata miniatur budaya Indonesia. Taman Nusa berdiri di atas lahan seluas 15 hektar di dusun adat Blahpane di Gianyar, berjarak sekira 30 km arah timur laut dari kota Denpasar, membentang 600 meter dari utara ke selatan.

Dari perusahaan Inggris, PT Asiatic diambil alih Cargill dari Amerika Serikat pada akhir 2006. Lalu dijual ke Wilmar Group pada 2008. Terakhir pada April 2013 dijual ke PT Prima Fortune International Limited dan PT Agro Mandiri Semesta yang dimiliki Ganda Sitorus—masih kerabat dekat Martua Sitorus, pemilik saham mayoritas Wilmar International.

Dalam catatan sepenggal yang dipajang Sinar Harapan pada 23 Maret 2013, PT Prima Fortune International Limited berdiri dan berbasis hukum British Virgin Islands. Sementara PT Agro Mandiri Semesta berkedudukan di Medan, bermaksud mengambil alih saham PT Asiatic Persada.

Saya sempat menemui Kutar, 49 tahun, di dusun Tanah Menang, salah satu dusun yang dihuni warga Suku Anak Dalam. Perawakannya tinggi dan agak botak. Ia mengetahui cerita lama tentang konflik antara perusahaan dan masyarakat adat. Kutar adalah ketua adat Batin Bahar.

Warga SAD terpecah-pecah jadi 17 kelompok. Dan Kutar masuk ke dalam kelompok SAD 113 pimpinan Abas Subuk. Nama kelompok itu berasal dari jumlah para perunding dari suku tersebut pada akhir 2003 dan meliputi tiga dusun: Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang. Kebanyakan tinggal di bagian utara dalam konsesi PT Asiatic. Perjalanan SAD 113 hingga kini berlangsung alot, setidaknya jalur perundingan diretas sejak 2001.

“Ketika perusahaan PT Bangun Desa Utama datang, mata pencaharian kami habis,” ujar Kutar. “Dulu, kami diuber-uber tentara. Tanah adat kami diambil, kebun karet dan durian habis. Kami ingin tanah adat dikembalikan, tanpa syarat.”

Ratusan orang sudah berkali-kali dipenjara akibat konflik berkepanjangan ini. Tetapi perlawanan tetap: lahan adat mereka harus kembali. Upaya lain dilakukan pendamping SAD 113, Serikat Tani Nasional sejak awal 2007.

Organisasi itu mengirimkan surat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Jakarta agar mengevaluasi kembali izin HGU PT Asiatic. Saat itu kepemilikan saham telah dikuasai Wilmar Group. Tuntutan Serikat Tani termasuk mengembalikan hak lahan ulayat. BPN menurunkan tim peneliti selama seminggu pada Juli 2007.

“Dalam area yang disengketakan terdapat tanah masyarakat adat Suku Anak Dalam, khususnya bekas perkampungan di Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang,” demikian hasil penelitian itu. “Sebagai bukti terdapat kuburan, tunggul pemeras, sesap jerami serta tanaman tua seperti durian.”

Pada 2012, pemerintah provinsi Jambi dan BPN sepakat menyelesaikan masalah, termasuk meminta PT Asiatic melakukan pemetaan ulang berdasarkan peta mikro 1987 dari departemen kehutanan.

Peta resmi yang dirujuk itu menyatakan terdapat area perkampungan seluas 50 hektar, peladangan 2.100 hektar, dan belukar 1.400 hektar—totalnya 3.550 hektar dalam area konsesi HGU. Inilah yang dijadikan dasar kelompok SAD 113 untuk memperoleh kembali lahan adat mereka.

Halaman Selanjutnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *