Dalam Selimut Konflik

Konflik
Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. (DETAIL/Feri Irawan)

Menjelang pemilu legislatif pada April 2014, pemerintah provinsi Jambi mengklaim telah menyelesaikan sengketa lewat skema pembagian lahan seluas 2.000 hektar di Mentilingan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan memberi penghargaan terbaik se-Indonesia untuk Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Provinsi Jambi.

Ketua Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam Batanghari, Fathuddin Abdi mengklaim jumlah warga dari kelompok Suku Anak Dalam yang sudah diverifikasi sebanyak 649 kepala keluarga atau 2.409 jiwa untuk 14 kelompok SAD.

Agus Pranata dari Serikat Tani Nasional mengatakan, Lembaga Adat Batanghari telah menyalahgunakan wewenang. Tugas mereka hanya sebatas memverifikasi, bukan sampai memediasi apalagi mengambil kesimpulan untuk proses penyelesaian.

Data jumlah kepala keluarga dari Suku Anak Dalam juga masih dalam perdebatan. Versi Serikat Tani Nasional, totalnya 3.250 kepala keluarga. Rinciannya, Kelompok SAD 113 (Pinang Tinggi, Padang Salak, Tanah Menang) sebanyak 1.135 kepala keluarga, Bukit Terawang (322 kepala keluarga), Danau Minang (101), Sei Pacatan (230), Tim Enam (300), Kelompok Terdampak (310), Tani Persada (500), Pangkalan Ranjau (225), Sahnan (97), dan Acil (30).

Sementara klaim Herman Basir, jumlah seluruh orang SAD Batin 9 tak sampai 1.000 kepala keluarga. Herman bilang ia sudah dua kali mendata. Pada 2004, Herman bersama Prof. Dr. Muntholib—dosen dari IAIN Sulthan Thaha Saifuddin—mendata empat desa plus satu dusun: Markanding, Tanjung Lebar, Bungku, dan Pompa Air serta Penyerukan. Hasilnya 370-an kepala keluarga. Setahun kemudian, ia mendata sendiri dengan mendatangi satu demi satu kelompok. Hasilnya bertambah jadi 469 kepala keluarga.

Toh, Lembaga Adat Batanghari tetap jalan sendirian memverifikasi. Hasil verifikasi memutuskan, lahan 2.000 hektar diperuntukkan 17 kelompok SAD lewat SK Bupati Batanghari Nomor 180 pada 11 Maret 2014.

Ke-17 kelompok itu, terdiri dari 994 kepala keluarga, mendapat 1.988 hektar plus 24 hektar untuk fasilitas umum.

Kelompok Herman Basir, yakni Puyang Keji (berjumlah 33 keluarga) di atas kertas mendapat 66 hektar. Namun kenyataannya mereka hanya mendapat 62 hektar. “Ada 4 hektar yang hilang,” ujarnya.

Lahan untuk kemitraan seluas 2.000 hektar itu sebenarnya bermasalah karena dalam status abandon atau tanah tak bertuan. Lahan ini masuk dalam areal seluas 7.252 hektar, dikelola dua anak perusahaan PT Asiatic: PT Jammer Tulen (3.871 hektar) di kawasan Mentilingan dan PT Maju Perkasa Sawit (3.381 hektar) di kawasan Durian Dangkal—keduanya di Desa Bungku.

Laporan penyelidikan Forest Peoples Programme bertajuk “Human Rights Abuses and Land Conflict in the PT Asiatic Persada Concession in Jambi”, pada November 2011, memaparkan kedua anak perusahaan itu hanya bermodal izin lokasi dengan Legalitas gabungan/2272/2000 bertanggal 16 Desember 2000. Izin lokasi itu telah berakhir pada Mei 2005.

“Dua perusahaan itu seperti melampaui hukum,” kata Marcus Colchester yang memimpin penyelidikan bersama melalui Forest Peoples Programme.

Halaman Selanjutnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *