Tetapi, kalau membiarkan para pendukungnya membangun iklim “sedikit-sedikit melaporkan” maka hal ini semakin menunjukkan bahwa pejabat publik saat ini anti kritik, membungkam suara-suara kritis, mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis, yang katanya demi stabilitas politik, keamanan dan ketertiban umum. Berlindung di balik pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama baik, berita bohong/hoaks dan makar untuk mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis.
Aparat dengan mudahnya menjerat mereka-mereka yang kritis dengan ungkapan kebencian atau penghinaan yang dianggap mencemarkan atau merugikan pihak lain. Padahal, jika kita dibandingkan dengan alam demokrasi semasa SBY, kritik pada masa pemerintahannya sudah tidak terhitung banyaknya di sosial media. Bahkan, pernah ada demonstrasi yang membawa kerbau bertuliskan SBY atau membakar patung SBY, tapi tak satu pun yang pernah dipolisikan oleh SBY dan pendukungnya.
Sejatinya, kritik merupakan inti dari demokrasi. Kehadirannya tidak boleh diabaikan begitu saja, karena ia menjadi pengingat yang secara alamiah memberikan keseimbangan. Ia tidak saja berjasa secara cepat menunjukkan kekeliruan, tetapi sekaligus secara cepat menuntun kita menemukan arah yang benar.
Seorang pejabat publik atau politisi yang anti terhadap kritik, biasanya adalah seseorang yang anti terhadap perubahan. Ia tidak mau belajar dan berkembang. Apa yang menurutnya benar harus diikuti dan tidak boleh ada orang yang membantahnya. Inilah bukti kesombongan dari seorang pejabat publik atau politisi yang lambat laun akan membawanya pada kehancuran.
Sikap anti kritik harus dihindari untuk menjauhkan diri dari stagnasi pengembangan karakter diri dan mental. Sikap anti kritik akan menumbuhkan sikap over confidence atau terlalu percaya diri sendiri dan hanya menerima masukan-masukan nonkritik. Mereka tak mau menerima kekurangan-kekurangannya masing-masing. Mereka hanya percaya pada dayang-dayang kepercayaan mereka, yang tahu bagaimana cara mencuri hati tuannya.
Sejauh ini, pemahaman masyarakat mengenai demokrasi ialah kebebasan mutlak yang diberikan kepada rakyat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di negara tempat mereka bermukim. Termasuk kebebasan dalam mengeluarkan pendapat tentang peristiwa yang terjadi di daerahnya. Istilah dari, oleh dan untuk rakyat adalah semboyan ajaib yang disematkan pada tubuh demokrasi untuk menarik perhatian masyarakat bahwa sesungguhnya mereka sangat diistimewakan dalam sistem demokrasi.
Tampaknya, itulah tabiat asli demokrasi. Sebab, kedaulatan rakyat yang dianggap sebagai asas demokrasi hanya tampak pada saat pemilu. Namun setelah mereka terpilih, sangat jarang mereka mempertimbangkan kebutuhan rakyat. Mereka yang disayang pada saat pemilu kemudian dicampakkan setelah pemilu.
Bahkan hanya untuk mengkritik saja, rakyat harus siap berhadapan dengan berbagai dalil yang akan menggiring mereka ke jeruji besi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi ungkapan kebencian yang dengan leluasa diungkapkan para politisi, para pemangku kepentingan atau pejabat negara yang dianggap orang penting dan memiliki kekuatan, maka hukum sepertinya tidak pernah berlaku bagi mereka.
Mereka lupa bahwa mereka bisa seperti itu karena rakyat dan karena rakyat juga mereka bisa mendapatkan kemewahan dan segala fasilitas, baik uang maupun kekuasaan. Bila kita mengingat riwayat bagaimana kekuasaan para penguasa jatuh seperti Julius Caesar, Saddam Hussein akibat serbuan militer Amerika Serikat, Shah Iran oleh revolusi kaum mullah hingga lengsernya Soeharto sebagai presiden akibat sebuah reformasi, maka kita tersadar akan satu makna, bahwa kekuasaan yang membengkak dan menggurita cenderung lupa kepada dirinya sendiri.
Kekuasaan yang berkembang biak, yang tumbuh menjadi gurita, menjadi kekuatan yang sangat dominan. Ia tidak hanya sebuah kekuasaan yang memaksa pihak lain atau publik lupa pada kerakusan kekuasaan yang dimilikinya.
Tetapi, lebih utama ia lupa pada hal-hal ideal yang dahulu berhasil dinobatkan ke singgasana. Ia lupa untuk apa dan demi siapa sebenarnya ia berkuasa dan ia lupa makna kekuasaan itu pada akhirnya.
Sungguh hebat pejabat publik atau politisi yang menanggapi kritik dengan memperbaiki kinerja. Itu menunjukkan betapa berkualitasnya sang pejabat atau politisi tersebut. Bagaimana dengan Anda, Tuan dan Nyonya Besar?
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post