DETAIL.ID, Tanjung Jabung Timur – Nurjannah (50) adalah contoh petani yang kurang beruntung. Ia tak punya lahan. Alhasil, selama lima tahun terakhir dia dipungut macam-macam uang sewa.
Petani padi yang tinggal di Dusun Sungai Labu, Desa Lagan Ulu, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi bercerita bahwa dirinya harus membayar 300 kilogram beras per hektar setiap kali panen.
Itu belum cukup. Nurjannah juga harus membayar sewa alat panen Rp300 ribu per hektar. Setelahnya, ia juga harus memberi satu karung padi setiap kelipatan tujuh karung gabah hasil panen. Ia perkirakan hasil panen per hektar berkisar 80 karung.
“Demi mempersingkat waktu (panen) kami terpaksa menyewa alat supaya kami bisa lebih awal menyiapkan lahan untuk ditanami kembali,” kata Nurjannah didampingi Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Sungai Labu, Yusuf, Kamis, 3 September 2020.
Nurjannah tak sendiri. Setidaknya ada 13 keluarga yang menggarap dengan sistim sewa demi kebutuhan hidup dampak dari ketiadaan lahan. Padahal, kata Nurjannah, dari tangan petani terampil banyak menghasilkan bahan kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Nurjannah mengaku bahwa sistem sewa tersebut berdasarkan kesepakatan antara pemilik tanah dengan petani penggarap dan pemilik mesin panen. Namun, baginya. cerita kedaulatan pangan seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), ibarat mimpi di siang bolong bagi kaum tani.
Hal senada disampaikan oleh Agung, Ketua Koperasi Petani Indonesia (KPI) Tanjung Jabung Timur. Menurutnya, itu tidak terlepas dari ketimpangan lahan yang mana di Tanjung Jabung Timur banyak dikuasai perusahaan dan satu perusahaan saja bisa ribuan hektar.
“Memang sudah tepat Perpres Nomor 86 tahun 2018 itu dilaksanakan agar petani atau masyarakat bisa mendapat akses tanah dan keadilan sekaligus mengurai ketimpangan lahan dan konflik agraria,” ujarnya.
Reporter: Willy
Discussion about this post