OPINI
Kedaulatan Pangan dari Mana?

PANGAN mungkin soal yang remeh bagi yang mudah memperoleh makanan, baik ditinjau dari aspek harga dan akses kepada bahan makanan. Tetapi, semakin mahalnya harga bahan makanan dan penyediaan pangan yang tidak selalu mampu menjangkau penduduk di berbagai wilayah telah menyadarkan bahwa persoalan pangan perlu penanganan serius.
Persoalan pangan ini jelas menyangkut hidup dan mati umat manusia. Inilah barang paling dasar yang dibutuhkan oleh manusia untuk tetap hidup, tentunya dengan kebutuhan air bersih pula. Dengan adanya bahan makanan, manusia tidak sekadar bisa bertahan hidup, tetapi juga menghasilkan energi demi melaksanakan pembangunan, beraktivitas dan berbagai hal lainnya.
Selain energi, pangan jelas berkaitan dengan kondisi lingkungan. Sebagai suatu kesatuan ekosistem, baik pangan, energi dan lingkungan mesti berjalan secara seimbang. Keterkaitan pertama jelas mengenai aspek lahan. Bagaimana penyediaan pangan, perlu didukung oleh lahan untuk bertani, namun hal ini tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan. Ketidak seimbangan lingkungan akibat dari pengistimewaan satu sektor atau spesies tertentu pastinya menimbulkan masalah di kemudian hari.
Kebijakan pangan mungkin mudah untuk dirumuskan atau didiskusikan, tetapi ketika diimplementasikan sulit menjamin kebijakan yang telah dibuat bisa mencapai tujuan berkelanjutan. Ketika pendulum politik berpindah dari Orde Lama ke Orde Baru dan hingga saat ini, wilayah Indonesia menjadi target land grabbing (perampasan tanah) yang difasilitasi negara dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Keberadaan dua undang-undang ini menyebabkan tanah, hutan dan laut dengan mudah dikapling sebagai wilayah konsesi legal dalam akumulasi kapital. Lalu, kondisi ini diperburuk lagi dengan terjadinya konsentrasi kepemilikan pangan oleh perusahaan internasional yang bergerak di bidang bahan makanan sehingga distribusi pangan terhambat. Mekanisme pasar yang diagungkan bisa menciptakan kehidupan lebih baik dengan mampu menyediakan barang secara lebih murah dan merata, ternyata tidak bisa diwujudkan.
Untuk pemenuhan pangan ini, pemerintah memang perlu mematuhi amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Ketahanan Pangan. Ketahanan Pangan didefinisikan sebagai terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sayangnya, definisi ini belum secara jelas menyebutkan dari mana pangan (supply) didapat untuk memenuhi permintaan (demand).
Alhasil, pangan dipenuhi dengan cara mengimpor dari pasar internasional. Bukan dari lahan sendiri. Hal ini jelas membebani anggaran dan secara langsung mempengaruhi kondisi petani dalam negeri karena hasil pertanian mereka perlu bersaing dengan produk yang diimpor dari luar negeri.
Sebagai manusia yang peduli akan masa depan. Sudah sepatutnya kita membudayakan menelaah sebab dan akibat yang terjadi dari sebuah peristiwa, dalam hal ini persoalan kedaulatan pangan. Sebagai negara dengan visi harga pangan murah dan terjangkau, pertanian di Indonesia masih jalan di tempat.
Saat ini, sistem pertanian di Indonesia masih bersifat subsisten, yaitu sistem pertanian yang hanya fokus pada usaha membudidayakan bahan pangan dalam jumlah yang cukup untuk mereka sendiri dan keluarga. Walaupun saat ini pemerintah begitu antusias membangun daerah pedesaan dan daerah pinggiran, misalnya dengan mengucurkan dana desa yang terus meningkat dari tahun ke tahun (dengan semua polemiknya), tetap saja penurunan persentase kemiskinan di pedesaan terbilang belum signifikan.
Menurut Bustanul Arifin, dalam bukunya “Ekonomi Pembangunan Pertanian”, ada beberapa rekomendasi kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah untuk mengembalikan strategi pertanian kepada khitah yang sebenarnya, dan tentunya strategi ini harus diimbangi dengan pemantauan secara ketat di lapangan. Memberikan prioritas kepada pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan.
Misalnya jalan desa dan jalan produksi, revitalisasi jaringan irigasi dan drainase yang mendukung proses peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani. Prioritaskan usaha tani berskala kecil dan menengah atau sistem agrobisnis skala rakyat sebagai subjek utama dalam berbagai program pembangunan, melaksanakan reforma agraria yang bervisi perbaikan aset (tanah) dan penguatan akses informasi, akses pasar, serta akses teknologi maju dan modern, meningkatkan alokasi kepada investasi sumber daya manusia (SDM), terutama di daerah pedesaan. Memperbaiki partisipasi masyarakat pedesaan dalam pengambilan keputusan, termasuk kelompok wanita, meningkatkan peran aktif ekonomi pedesaan berbasis non-usaha tani.
Kesuksesan pembangunan pertanian memerlukan integrasi dari semua lintas bidang ilmu, memerlukan interaksi antar sains, teknologi, budaya, sumber daya, infrastruktur, kewirausahaan, bisnis, pasar, kelembagaan, dan dukungan kebijakan. Falsafah Quadruple Helix atau governansi kelembagaan ABGC (academic, business, government, and civil society) perlu menjadi pilihan strategis rasional di masa depan. Agar para petani berdaulat penuh atas tanah dan akses terhadap alat, model dan distribusi, maka perlu pendampingan yang berkelanjutan melalui pengorganisasian progresif.
Misalnya, dengan mendirikan koperasi sebagai organisasi yang memungkinkan masyarakat berorganisasi dan berdaulat penuh atas keinginan dan kebutuhan mereka untuk mencapai kemerdekaan secara ekonomi, budaya dan politik. Sebagai sebuah organisasi, tujuan politis koperasi adalah agar para petani mampu mengorganisir diri melawan pelbagai bentuk ketidakadilan baik yang dilakukan oleh negara maupun kapitalis. Upaya semacam ini sudah dilakukan masyarakat di Kulonbambang, Doko, Kabupaten Blitar yang mendapati tanahnya setelah berjuang 12 tahun.
Dalam Pasal 13 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 disebutkan, pemerintah wajib mencegah organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta. Ini menunjukkan, dasar demokrasi ekonomi Indonesia, sejatinya, amat menentang sistem perekonomian yang bersendikan filsafat neoliberal yang mewujud dalam bentuk privatisasi, liberalisasi dan mengurangi peran negara.
Untuk itulah dalam prinsip demokrasi ekonomi maka bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai kekayaan nasional, dipersembahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Benarkah?
*Akademisi UIN STS Jambi
OPINI
Gen Z, Stop Overthinking Soal Jurusan Kuliah

Tidak sedikit dari kita, para Gen Z, yang masih bingung soal masa depan. Mikirin jurusan kuliah, kerja nanti mau jadi apa, atau jalan hidup mana yang paling tepat. Aku pun pernah ada di posisi itu, dan jujur aja, penuh drama.
Dulu aku pengen banget jadi arsitek. Bayangin deh, bikin desain bangunan keren, terus bisa lihat hasil karyaku berdiri megah di tengah kota. Keren banget, kan?
Tapi ternyata hidup punya arah lain. Pas kuliah, aku malah masuk jurusan Mass Communication. Awalnya agak kecewa juga sih, tapi ternyata ini justru salah satu keputusan terbaik yang pernah aku ambil.
Kalau dipikir-pikir, mungkin aku bakal stres berat kalau beneran masuk arsitektur. Ngerjain struktur bangunan, mikirin faktor keamanan, dan tanggung jawab gede? Bisa-bisa tiap malam nggak bisa tidur. Ternyata Mass Comm jauh lebih cocok buat aku.
Dari Hobi Doang, Jadi Serius
Aku dari kecil udah suka banget sama yang namanya bikin konten. Dulu pernah iseng bikin konten gaming di YouTube, vlog santai dan edit video-video, waktu itu sih nggak kepikiran bisa jadi kerjaan beneran. Tapi sejak masuk kuliah, aku baru sadar dunia komunikasi itu luas banget. Ada broadcasting, PR, digital media, advertising, dan banyak lagi. Dan sekarang, bikin konten udah jadi profesi yang nyata banget.
Apalagi pas lihat temen-temen mulai bikin proyek sendiri, mulai dari short movie, vlog, sampai podcast mahasiswa. Itu bikin aku makin semangat. Aku mulai ikutan bikin juga, walaupun masih kecil-kecilan. Tapi rasanya seru, dan di situ aku mulai ngerasa, “Kayaknya ini deh passion ku.”
Saat Merasa Ketinggalan
Tapi namanya juga manusia, kadang overthinking itu datang lagi. Scroll TikTok, lihat temen-temen views-nya ratusan ribu. Buka YouTube, nemu kreator baru yang udah punya jutaan subscriber. IG story temen? Isinya endorse-an semua.
Terus aku mikir, “Kok aku masih gini-gini aja ya?” Padahal aku juga udah coba bikin konten, belajar editing, ngerjain proyek. Tapi tetap aja ngerasa belum cukup. Ditambah lagi kadang ada yang nanya, “Nanti lulus mau jadi wartawan ya?”
Seakan-akan lulusan Mass Comm cuma bisa kerja di media konvensional, padahal sekarang pilihan kariernya banyak banget.
Timeline Tiap Orang Beda-Beda
Sampai akhirnya aku sadar juga, kenapa sih harus selalu ngebandingin diriku sama orang lain? Ada yang sukses di umur 18, ada yang baru nemu jalannya di umur 25.
Yang penting itu bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang konsisten terus belajar dan berkembang. Sejak itu, aku mulai fokus ke proses. Setiap tugas kampus, vlog, atau video promosi yang aku kerjain, aku anggap latihan. Aku belajar hal baru, coba gaya baru, dan ngembangin skill-ku pelan-pelan.
Dan yang paling penting: aku mulai menikmati prosesnya. Aku berhenti mikir kapan bakal sukses, dan lebih fokus nikmatin tiap langkahnya.
Passion vs Prospek? Kenapa Nggak Dua-Duanya
Dulu aku mikir harus pilih salah satu: passion atau prospek. Ternyata, nggak harus gitu. Kuliah di Mass Comm ngasih aku banyak bekal. Aku ngerti gimana komunikasi yang efektif, gimana cara bangun hubungan sama audiens, dan gimana strategi media itu jalan. Itu semua kepake banget buat dunia konten sekarang.
Aku bisa kerja di digital agency, sambil tetap bangun personal brand-ku sendiri atau jadi freelance videographer, sambil bikin konten yang aku suka. Bahkan bisa mulai dari content writer, sambil belajar podcast-an pas weekend. Intinya? Aku bisa punya “kerjaan aman” dan tetap ngejar mimpi.
Mulai dari Sekarang, Bukan Nanti
Buat kamu yang masih galau, jangan tunggu semuanya sempurna dulu. Mulai aja dari yang kamu punya. Punya HP? Bikin konten.Punya laptop? Belajar editing. Punya ide? Tulis, rekam, dan bagikan.
Yang penting itu konsisten, bukan sempurna. Dan terakhir, jangan bandingin hidupmu sama orang lain. Setiap orang punya timing masing-masing, dan kamu juga pasti bakal nemu jalurmu sendiri.
Aku nggak nyangka, dari yang awalnya pengin jadi arsitek, aku malah nemu passion sejati di dunia konten. Hidup emang penuh kejutan. Tapi selama kita siap, terbuka, dan mau jalanin prosesnya, semuanya bakal jadi cerita yang keren.
Karier itu bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling tahan jalanin proses. Jadi daripada sibuk ngebandingin diri sama orang lain, mending fokus aja sama versi terbaik dari dirimu sendiri. Karena mungkin, jurusan yang awalnya kamu anggap “jalan kedua” justru jadi pintu utama menuju hidup yang kamu impikan.
Penulis: Puteri Nazwa Layla, Mass of Communication Student, BINUS UNIVERSITY
OPINI
Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.
Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.
Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.
Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.
Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.
Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.
Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.
Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.
Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.
Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.
Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.
Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.
Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.
Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.
Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.
Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.
Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.
Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.
Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.
Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.
Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.
Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.
Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.
Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.
Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.
Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.
Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.
Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)
*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani
OPINI
Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.
Pandangan Pemangku Kebijakan
Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)
Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara
Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.
Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”
Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.
Tantangan yang Dihadapi
Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.
Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.
Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.
Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial
Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.
Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.
Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)