KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tampaknya memasuki masa pikun. Tingkah lakunya aneh dan sering lupa dengan apa yang sudah diperbuatnya, sejarah yang membentuknya dan massa yang memilihnya; wong cilik. KBBI menyebutkan, pikun salah satunya disebabkan faktor usia.
Belakangan ini pernyataan-pernyataannya selalu menimbulkan kegaduhan karena dinilai menyakiti hati banyak orang. Pekan kemarin, Megawati menanyakan sumbangsih milenial. Akhir pekan ini dia menyebutkan banyak ibu muda yang kekurangan gizi karena terlalu sering mengonsumsi mi instan.
Menurut Mega, demo anak muda, mahasiswa, milenial kini cenderung anarkis, rusuh. Gerakan moral yang diinisiasi kelompok, semisal KAMI, itu hanya berorientasi kekuasaan. Pernah dia bilang, kalau punya anak jangan disuruh berpolitik. Padahal pada akhirnya PDIP terang-terangan mengusung anak menantu Jokowi maju dalam pilkada Solo dan Medan.
Bukan hanya menyakitkan hati, pernyataan Megawati bahkan pernah dianggap menista agama Islam. Dan karenanya dia dilaporkan ke Bareskrim Polri. Pidatonya di acara HUT ke-44 PDIP pada 2017 dinilai menyinggung umat. Meski kemudian laporan itu tak jelas nasibnya sampai kini.
Usai berkata-kata apa saja, seperti biasanya, Megawati langsung menepuk dada, seraya berkata, “Saya dulu, kami dulu, ayah saya dulu, Bung Karno dulu”. Pokoknya semua yang dia lakukan dulu, di masa silam, itulah hal ideal. Dia juga sesumbar bahwa meski dibully, survei PDIP tetap tinggi.
Dia sepertinya lupa bagaimana massa banteng di masa lalu. Di saat-saat momen tertentu, massa banteng juga anarkis. Seperti menyerang kantor media. Dia seperti lupa bagaimana PDIP kerap demo mengoreksi pemerintahan yang berkuasa dengan dalih keadilan dan kesejahteraan rakyat. Demo tersebut, bagi yang paham, tidak lebih sebagai upaya mendegradasi pemerintahan yang sah, dengan orientasi merebut kekuasaan juga.
Dan dalam kultur PDIP, para kader biasanya akan selalu melakukan pembelaan kepada Sang Ketua Umum termasuk anaknya, Puan Maharani. Meski mereka juga paham banyak pernyataan Megawati yang kadang ngawur.
Kultur membela itu sepertinya memang menjadi kewajiban para kader PDIP, selain diperintah Mega. Tampaknya bagi mereka, sesuatu yang keluar dari PDIP, entah pernyataan atau tindakan, harus dibela, diperjuangkan mati-matian.
***
Kultur demikian itulah agaknya yang membentuk Edi Purwanto. Ketua DPD PDIP Provinsi Jambi ini tampak sekali mewarisi kultur dan ideologi PDIP. Bahkan Edi bisa dibilang sebagai anak ideologis Megawati. Pidatonya berapi-api. Selalu mengatas namakan rakyat, wong cilik dan piawai bersilat lidah.
Dalam sebuah pernyataannya baru-baru ini di media online, Edi kembali sesumbar bahwa manuver-manuver elite PDIP tidak akan berpengaruh apa-apa bagi partainya, termasuk terhadap elektabilitas Calon Wakil Gubernur Jambi Ratu Munawaroh yang diusung PDIP.
Dengan “angkuh” dia menyatakan, lebih banyak yang suka PDIP ketimbang yang tidak suka. Dia seperti menganggap kritik sebagai kebencian, dan upaya kampanye hitam bagi partainya. Dia menyatakan PDIP kenyang dengan hal-hal seperti itu. Kenyang dengan stigma partai yang anti Islam dan komunisme.
Edi mengatakan, PDIP punya basis pemilih ideologis yang riil, kader dan simpatisan. Buktinya Pemilu 2019 lalu, PDIP menang di nasional dan di Provinsi Jambi. Dengan menyatakan itu Edi Purwanto seperti lupa bahwa pileg tidak sama dengan pilgub dan bahwa PDIP tidak pernah menang pilgub di Jambi.
***
Demikianlah, kultur seperti itu jelas sekali tidak cocok bagi calon wakil gubernur Jambi Ratu Munawarah yang diusung PDIP. Dia yang lahir dari keluarga santri yang taat, nahdiyin, memahami ilmu agama secara kafah, santun, tampak sangat bertolak belakang dengan citra dan image PDIP hari ini.
Kultur politik PDIP sangat bertolak belakang dengan latar belakang Ratu Munawaroh. Dan ini jelas merugikan dia sebagai kontestan pemilu di Jambi. Selain kultur, manuver elite PDIP juga kian memojokkannya. Belum lagi stigma yang melekat pada partai ini.
Amat sangat disayang, Ratu yang memiliki kans besar untuk menang, harus terdegradasi oleh partai yang mengusungnya (PDIP). Partai yang terlanjur dicap dengan berbagai stigma negatif. Banyak orang yang menyukainya akhirnya mundur, memutuskan tidak memilih dia, hanya karena melihat partai yang mengusungnya. Terutama emak-emak dan milenial.
Banyak orang menilai, semua program yang diusulkannya dalam visi-misi, menjadi mentah dengan posisi struktural dia di PDIP yang hanya sebagai petugas partai biasa. Petugas partai, tahulah kita, seberapa besar bisa menentukan langkah politiknya sendiri. Apalagi, di Jambi, Ketua DPRD-nya dari PDIP juga. Yang berwenang mengontrol, mengoreksi dan mengawasi program-programnya. Melenceng sedikit dari garis dan ideologi partai, tahulah risikonya.
Mungkin ke depan Ratu Munawaroh mesti lebih hati-hati kalau ingin kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Masih banyak waktu bagi dia. Masih ada kesempatan untuk kembali mengenali Jambi dan masyarakatnya. Termasuk kembali kepada kulturnya sendiri.
Jambi, seperti yang dia ketahui juga, memiliki pemilih dengan basis keagamaan yang kuat, seperti NU dan Muhammadiyah. Masyarakat Jambi sangat familiar dengan PKB, PKS, PPP, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dulu pernah dia besarkan bersama almarhum suaminya, Zulkifli Nurdin.
Discussion about this post