DONALD Trump tampaknya tak mau mengakui kekalahannya melawan Joe Biden dalam Pilpres Amerika Serikat. Ia justru tetap ngotot mengaku menang lewat twitternya. Dirinya malah menuduh telah dicurangi.
Tanpa bukti yang kuat, Trump berpidato selama hampir 17 menit, membuat semacam propaganda yang menghasut tentang proses demokrasi di Amerika. Dia bahkan tidak membuka sesi tanya jawab dan tidak mempersilakan wartawan mengajukan pertanyaan setelah dia berpidato.
Biden dan wakilnya Kamala Haris berhasil menang dengan jumlah total suara elektoral 290, sementara Trump hanya 214. Seperti diketahui Amerika Serikat menganut sistem suara elektoral. Bila seorang kandidat berhasil mengumpulkan total 270 electoral college votes atau suara elektoral, dia menjadi pemenangnya tanpa melihat total perolehan suara.
Trump memang jago soal propaganda. Dan ia sesungguhnya bukan pebisnis ulung. Dia beruntung anak seorang yang kaya raya. Dia mewarisi US$ 400 juta dari ayahnya berupa bisnis real estate. Dalam sekejap uang itu habis dan bikin dia bangkrut.
Namun dia jago menyimpan rapat-rapat rahasia kebangkrutannya. Sebaliknya, dia mencitrakan dirinya seorang pebisnis ulung.
Trump kemudian menulis buku tapi bukan dia yang menulisnya. Trump membayar seorang ghost writer bernama Tony Schwartz. Bukunya “The Art of Deal” membahas trik menjadi sukses. Dari sinilah Trump menjual dirinya sebagai pengusaha sukses yang ahli dalam bernegosiasi. Dia sukses menjual dirinya sebagai motivator.
Anda bisa bayangkan jagonya Trump. Biarpun dia bangkrut, dia justru mampu menjual namanya serta mengemas dirinya sebagai seorang motivator. Kalau istilah zaman sekarang Trump mampu membranding dirinya dengan mulus.
Dia membuka universitas yang menjanjikan akan memberikan rahasia sukses. Dia juga membuka kelas-kelas bagaimana menjadi pengusaha sukses seperti dirinya. Pesertanya membayar puluhan ribu dolar untuk menjadi pengusaha real estate sukses. Mereka tidak tahu bahwa mereka belajar dari pengusaha bangkrut.
Buku adalah media pertama Trump. Media keduanya adalah sebuah show TV yang sangat populer “The Apprentice.” Dari laporan pajak, dia mendapat sekitar $480 juta dari show ini yang segera dia habiskan untuk membeli hotel dan lapangan golf. Namun tidak semuanya berjalan dengan baik. Sebagian besar bisnisnya masih merugi!
Namun itu tidak menghalangi dirinya menjual sukses. Dia masuk ke politik dan kita tahu dia menjadi presiden. Jadi kita patut mencurigai ketika seorang pengusaha masuk ke dunia politik bukanlah seorang pengusaha sukses. Dia masih membutuhkan politik untuk menyukseskan bisnisnya.
Seorang teman saya pernah bilang bahwa seorang pengusaha sesungguhnya adalah politisi ulung. Kenapa? Karena dunia usaha sesungguhnya penuh liku-liku yang lebih rumit ketimbang dunia politik.
Kembali ke soal Trump. Media massalah yang membuat dirinya terbang menjadi Presiden Amerika. Pada tahun 2016, semua media menyiarkan langsung kampanyenya. Siaran langsung inilah yang membuat pesannya tersebar ke mana-mana.
Tahun 2020 ini ternyata media sadar akan taktik Trump itu. Media tak mau menyiarkan kampanye Trump. Tetapi Trump tetap jalan terus. Dengan energi yang luar biasa dan disokong fasilitas pesawat Air Force One sebagai Presiden Amerika, Trump bisa pergi ke mana pun. Trump tetap berkampanye di bandara tanpa kenal lelah.
Sayangnya, Trump tetap kalah. Dan dia tak menerima kekalahannya. Padahal cara menerima kekalahan sangat mudah, ya cukup dengan mengakuinya dengan rendah hati. Kalau di Indonesia, cara itu justru akan mendapat respons bagus dari publik.
Tapi saya ragu Trump akan menerima kekalahan. Dia adalah seorang yang jenius dalam membuat propaganda. Bahkan Trump mengancam akan menggugat hasil pemilu Amerika Serikat di pengadilan pada minggu depan. Sabar ya, Trump!
Discussion about this post