BERBAGI di bulan Ramadan dapat diarahkan kepada empat hal yang merupakan komponen kehidupan. Pertama berbagi pada diri sendiri, kedua berbagi kepada orang lain, ketiga berbagi kepada tanaman, dan keempat berbagi kepada binatang. Berbagi kepada diri sendiri merupakan kewajiban pertama yaitu harus mampu membagi rezeki waktu, uang, dan tenaga fisik dan psikologis bagi diri sendiri.
Berbagi kepada orang lain, merupakan bentuk berbagi yang mudah ditampakkan karena faedahnya langsung dirasakan orang lain. Berbagi kepada orang lain dimulai dari yang sederhana, misalnya memberi sedikit rezeki kepada yang membutuhkan dalam bentuk uang, makanan, ataupun barang. Berbagi kepada tanaman, tanaman merupakan salah satu makhluk hidup ciptaan Allah SWT yang memiliki banyak manfaat kepada manusia. Bentuk berbagi dengan cara merawat tanaman yang ada di sekitar kita seperti di tempat kerja, di pekarangan rumah, menyirami agar tidak kekeringan, tidak merusaknya, melestarikan tanaman di sekitar mangrove. Berbagi kepada binatang. Sisihkan sedikit jatah makan kita untuk binatang yang membutuhkan.
Nah, bagaimana kalau berbagi di masa-masa Pilkada? Pasangan calon kepala daerah yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum atau juga tim kampanye bahkan orang per orang itu dilarang memberikan sesuatu dalam bentuk barang atau uang kepada pihak lain untuk memengaruhi agar mereka memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu. Kalau itu dilakukan, maka ini ada sanksi pidananya. Sanksi pidana tersebut tercantum dalam Pasal 187A ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam pasal tersebut ditulis bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, dipidana dengan pidana penjara 36-72 bulan dan denda Rp200 juta – Rp1 miliar. Selain pemberi, pemilih yang dengan sengaja menerima sembako atau materi lainnya juga bisa dikenakan sanksi pidana yang sama. Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 187A ayat 2 UU tersebut. Pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang juga bisa dibatalkan sebagai peserta pilkada sesuai Pasal 73 ayat 2 UU tersebut.
Kalau selama ini sering kita mendengar kalimat “serangan fajar”, dimana kalimat ini menjelaskan fenomena pembagian sesuatu yang dilakukan saat fajar menjelang, dimana untuk membuktikan kebenaran kalimat ini susah mencari parameternya, maka Pilkada mengubah fenomena ini secara vulgar, tak ada lagi serangan fajar, yang ada serangan siang bolong, serangan terang benderang.
Bedanya jelas, “serangan fajar” bisa jadi tak lebih sekedar kabar burung, sulit membuktikannya. Sedangkan “serangan siang bolong”, tak perlu cari pembuktian, kejadiannya jelas terlihat, ada di depan mata, juga ada di layar-layar gadget. Atau jangan-jangan telah hadir sebuah ‘teori’ baru yang diproklamirkan, “elektabilitas ditentukan isitas”. Harus begitukah cara untuk menang?
Saya sendiri belum paham persis, apakah pembagian sembako atau bantuan sosial dan uang sedekah ini menjadi bagian dari ‘strategi’ atau semacam ‘test the water’ atau upaya ‘jujur’, daripada sembunyi-sembunyi, atau mungkin “kalap”, khawatir jeblok di sisa hitung jam ini. Entahlah, hanya mereka yang tahu.
Maju sebagai calon kepala daerah adalah pilihan mulia dan panggilan tanggung jawab untuk membangun dan membesarkan daerah. Jangan nodai panggilan mulia itu dengan cara-cara yang tidak bermartabat, mengesampingkan etika politik, serta terkesan “mau sekali terpilih”.
Hanya ada satu pesan, dimana pun Anda berada, selama Anda hidup di suatu negara, Anda akan selalu bertemu dengan politik. Dan umumnya, sistem pemerintahan di setiap negara mengedepankan Anda sebagai warga negara dalam prioritas utama kebijakan yang diambil. Politisi-politisi memerlukan suara Anda, sehingga seharusnya Anda yang dihormati mereka. Anda sebagai rakyat adalah golongan mayoritas, sehingga mereka yang berkelakuan licik seharusnya takut akan kekuatan yang bisa Anda hasilkan jika Anda sadar politik. Sadarkah Anda?
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post