DETAIL.ID, Jakarta – Bagus Utomo termenung bingung. Di sudut ruang, dia melihat emosi sang kakak semakin sulit dibendung. Sering kali mengamuk. Kadang juga merasa ketakutan luar biasa. Kemudian berteriak marah-marah. Seakan ada sesuatu yang mengganggu kehidupannya. Kondisi ini tentu membuat keluarga gelisah.
Ragam pengobatan pun dicoba. Dari medis hingga alternatif, semua dilakoni. Bagus ingin sekali melihat sang kakak kembali waras. Sayangnya sekian banyak upaya dilakukan belum mampu membuat kakaknya pulih. Keluarga besar bahkan masih belum tahu penyakit macam apa bersarang di tubuh itu.
Menjalani pengobatan medis, sang kakak hanya diberi obat penenang. Ketika itu habis. Emosinya kembali tidak stabil. Penyakit itu pun kambuh lagi. Hasil serupa juga terjadi ketika dibawa berobat alternatif. Bagus berpikir bahwa sang kakak menderita gangguan jiwa karena ulah jin hingga santet. Pengobatan nonmedis ini dilakukannya selama 10 tahun. Namun hasilnya tetap nihil.
“Saya sempat berpikir, kok pengobatan medis ini kalau enggak minum obat kambuh lagi? Jangan-jangan nih medis gak bisa mengatasi,” kata Bagus bercerita dilansir merdeka.com, Rabu pekan lalu.
Pengalaman pahit itu dimulai ketika tahun 1995. Masih terekam di kepala Bagus bagaimana keluarga resah melihat tingkah pola sang kaka. Mereka bingung. Tidak tahu lagi harus ke mana untuk menyembuhkan kesehatan mental ini. Ketidaktahuan itu membawa Bagus mencari beragam artikel terkait penyakit diidap sang kakak.
Pria delapan bersaudara ini memulai dengan membeli berbagai macam buku. Banyak juga dia melakukan pencarian daring di Internet. Dengan kosakata terbatas, Bagus menuliskan kalimat yang hanya dipahami. Misal, kata crazy alias gila dalam kalimat dengan bahasa Inggris.
Bagus menemukan informasi dari situs media asing. Penjelasan dalam tulisan itu seakan sesuai yang dia dan keluarganya rasakan terhadap penyakit sang kakak. Di sana dijelaskan beragam masalah kesehatan jiwa. Maklum saja, kala itu memang masih sedikit informasi terkait kesehatan model ini. Dari situ Bagus pun mengetahui tentang Skizofrenia.
Informasi itu dibaca teliti. Kata perkata dia cermati. Ternyata isi artikel yang dibaca sangat mirip dengan masalah kesehatan jiwa sang kakak. Bagus kemudian mencetak artikel tersebut dan diberikannya ke sang adik untuk dibaca kembali. Sang adik setuju. Isi artikel tersebut memang mirip seperti dialami sang kakak.
Tak hanya dari artikel media asing, Bagus juga membuat grup di Yahoo Groups pada 2001. Anggota dalam grup itu semakin banyak. Mereka saling tukar informasi terkait penyakit skizofrenia. Kemudian Bagus membuat sebuah situs tentang Skizofrenia. Sejumlah orang membaca penjelasan dibuatanya. Salah satunya seorang dokter bernama Irmansyah dari Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia.
Bagus bercerita, saat itu dokter Irmansyah menghubunginya melalui sambungan telepon. Dokter itu menyuruh Bagus untuk datang ke kantornya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk menjelaskan tentang penyakit yang dialami sang kakak. Saat bertemu dengan Bagus, dokter itu meminta agar sang kakak dibawa ke psikiater untuk berobat, karena pengobatan alternatif tidak akan berhasil.
Bagus akhirnya membawa sang kakak ke sebuah panti di daerah Ciganjur, Jakarta. Bagus sempat khawatir dengan kondisi kakaknya. Namun keputusan itu tetap dilakukan.
Membangun Komunitas
Hari demi hari dilalui. Sang kakak akhirnya pulang dari panti tersebut. Bagus lega dengan kondisi sang kakak yang makin membaik. Tidak terdengar lagi suara teriakan maupun emosi meledak-ledak. Bahkan tidak timbul lagi rasa ketakutan berlebihan.
Bagus juga menyadari bahwa skizofrenia adalah penyakit kambuhan. Jika obat diminum habis maka obat tersebut harus segera disediakan kembali. Artinya, obat tidak boleh putus dikonsumsi pasien.
Dari kisahnya ini, Bagus berinisiatif untuk membagikan pengalamannya kepada masyarakat. Dia menyadari bahwa informasi terkait Skizofrenia belum banyak diketahui. Selain itu, informasi tentang Skizofrenia dari media daring belum terlalu banyak.
“Saya merasa banyak keluarga mengalami apa yang kami alami. Saya butuh support mereka. Membuat grup agar orang lain bisa sama-sama bisa memahami tentang Skizofrenia,” ujar dia.
Akhirnya pada tahun 2009, Bagus membuat grup di media sosial Facebook. Dalam grup itu, anggota bisa saling membagikan pengalaman. Menceritakan kejadian yang mereka alami. Grup itu bernamakan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI).
Bagus sempat pesimis saat mengetahui belum banyak masyarakat menyadari soal pentingnya kesehatan jiwa. Namun dari grup itu, dia berharap agar masyarakat semakin paham dari ragam cerita pengalaman pasien Skizofrenia dan gangguan kejiwaan lainnya.
Grup Facebook KPSI berisikan tentang edukasi masalah kesehatan jiwa. Tidak hanya skizofrenia, tetapi juga gangguan kecemasan dan lain sebagainya. Komunitas ini juga sering mengadakan banyak kegiatan dukungan bagi penderita skizofrenia. Tidak hanya itu, mereka memberikan masukan bagi keluarga penderita, memberikan psikoedukasi keluarga, hingga memberikan advokasi untuk keluarga dan pasien.
KPSI tidak hanya di Jakarta. Perlahan komunitas ini menyebar ke wilayah lain. Seperti di Bogor, Solo, Yogya dan Bali. KPSI di daerah juga memiliki kegiatan dan layanannya masing-masing.
Bagus menyadari tak mudah menjalani komunitas ini. Terlebih lagi mencari relawan yang memang serius menjalani KPSI. Anggota relawan KPSI harus benar-benar mengerti soal masalah kesehatan jiwa, memiliki pengalaman tentang masalah tersebut, bahkan mereka juga harus memahami penanganan pasien gangguan jiwa.
“Karena kami tidak mudah terjun ke bidang kesehatan jiwa. Harus ada pengalaman. Jadi bukan cuman edukasi saja, tapi dia juga harus dateng ngobrol dengan keluarga. Jadi memahami masalahnya,” dia menceritakan.
Dalam komunitas dibangunnya, Bagus mengatakan, ada pula anggotanya pernah mengalami Skizofrenia maupun berstatus Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Dia percaya bantuan mereka mampu melakukan tugas dengan baik. “Saya juga dibuktiin di sini mereka juga bisa bekerja dengan baik.”
Banyak hikmah dan manfaat yang diambil dari komunitas ini. Awalnya, Bagus hanya ingin menceritakan pengalamannya dari sebuah mailing list hingga ke Facebook. Kini dari pengalamannya, Bagus bisa membantu banyak orang yang masih sangat awam tentang penyakit kejiwaan.
Bagus sangat berharap pada pemerintah untuk terus memperhatikan masalah kesehatan jiwa, apalagi di masa pandemi Covid-19 ini. Bagus menemukan banyak kendala bagi pasien kejiwaan untuk bisa sembuh. Misal sulitnya bertemu dengan dokter atau psikolog. Hingga kurangnya kepedulian masyarakat pada pasien gangguan kejiwaan.
“Jadi masalah pandemi ini sebenarnya juga alarm buat kita bahwa masalah kesehatan jiwa adalah kepentingan kita bersama, bukan cuma kepentingan keluarga yang sudah terdampak masalah kesehatan jiwa,” kata Bagus mengungkapkan.
Sumber:merdeka.com
Discussion about this post