Connect with us
Advertisement

PERKARA

Penyuap Kasus Benih Lobster Divonis Ringan karena Gemar Berangkatkan Karyawan Umroh

DETAIL.ID

Published

on

Penyuap Kasus Benih Lobster

DETAIL.ID, Jakarta – Terdakwa kasus suap ekspor benih lobster atau benur, Suharjito, secara tidak langsung mengajarkan kita salah satu trik mengurangi beban pidana korupsi di pengadilan. Pemilik dan Direktur PT Dua Putera Perjakasa Pratama (PT DPPP) ini hanya divonis dua tahun penjara dan denda Rp250 juta, setelah terbukti kongkalikong sama mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait izin ekspor benih lobster.

Putusan ini lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang menginginkan vonis bui tiga tahun. Alasan Majelis Hakim? Suharjito mendapatkan keringanan karena rutin bersedekah.

Ketua Majelis Hakim Albertus Usada menjelaskan di sidang putusan pada Rabu, 21 April 2021 bahwa Suharjito adalah tulang punggung keluarga, memberi pekerjaan kepada 1.250 orang, serta memberangkatkan 10 karyawannya umrah setiap tahun.

“Terdakwa (juga) berjasa membangun dua masjid dan rutin memberikan santunan kepada yatim piatu dan kaum duafa di Jabodetabek,” kata Usada saat membaca putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dilansir Bisnis.

Sekilas kasus, persekongkolan Edhy-Suharjito dimulai ketika Edhy menerbitkan Peraturan Menteri KKP NO.12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Intinya, aturan ini memberikan izin budi daya dan ekspor benih lobster yang sebelumnya mandek pada masa pemerintahan Susi Pudjiastuti. Tentu sebagaimana proyek pemerintah, pengelolaan semestinya dilakukan melalui sistem tender. Edhy menyerahkan tugas memilih perusahaan dengan membentuk tim uji teknis kepada Andreau Misanta dan Safri, staf khususnya yang juga jadi tersangka.

Suharjito lantas berkoordinasi dengan Safri untuk mendapatkan izin budidaya dan ekspor benih lobster dari pemerintah, namun ia mengaku malah dimintai uang “komitmen” sebesar Rp5 miliar secara bertahap. Saat ia tertangkap, uang suap Rp2,1 miliar, sudah ia gelontorkan demi izin. Tindakan ini terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mendengar putusan, Suharjito menerima vonis, sementara JPU KPK memilih pikir-pikir dulu.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Maret lalu, Suharjito sempat mengeluh karena KPK hanya menjerat dirinya seorang. Menurutnya, KPK perlu mengusut eksportir lain yang juga menyuap Edhy. “Ya kira-kira masa aku yang salah sendiri? Begitu saja logikanya kan. Kalau aku gelombang 4, nomor urut 35. Kan masih ada sampai 65 kan nomor urutnya (eksportir benur yang mengupayakan izin ekspor dari KKP),” ujarnya dilansir Merdeka, di Gedung KPK pada 24 Maret lalu.

Suharjito juga menganggap kasus ini bukan kesalahannya, namun sebagai pengusaha, ia dihadapkan syarat dari KKP yang memang minta “uang komitmen” sama para eksportir agar dikasih izin.

Suharjito adalah aktor pertama kasus suap ekspor benur Menteri KKP yang dapat vonis. KPK sendiri telah menetapkan tujuh tersangka. Selain Suharjito, ada nama Edhy Prabowo, Safri, Andreau Misanta, Amiril Mukminin (pengurus perusahaan ekspedisi PT Aero Citra Kargo), Siswadi, dan Ainul Faqih (staf istri Edhy).

Tahun lalu, organisasi antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) sempat mengeluhkan tren vonis ringan terhadap pelaku korupsi selama empat tahun terakhir. Pada 2019, ICW melihat data 1.019 perkara tipikor bervonis ringan yang disidangkan di berbagai tingkatan pengadilan.

“Merujuk pada Pasal 10 KUHP yang menyebutkan tentang pidana pokok (penjara dan denda), temuan ICW, rata-rata vonis penjara untuk koruptor hanya menyentuh angka 2 tahun 7 bulan penjara saja,” tulis rilis resmi ICW, dilansir dari CNN Indonesia.

Enggak cuma dalam urusan vonis, negara juga dermawan dalam hal remisi. Misalnya, Pada September lalu, Mahkamah Agung diprotes publik gara-gara mengobral pemotongan durasi penjara kepada 20 narapidana korupsi. Ringannya hukuman jelas membuat upaya pemberantasan korupsi semakin berat saja.

Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri saat itu menilai pemotongan hukuman berpeluang menyuburkan praktik korupsi di Indonesia. “Efek jera yang diharapkan dari para pelaku korupsi tidak akan membuahkan hasil. Ini akan semakin memperparah berkembangnya pelaku korupsi di Indonesia. Fenomena ini (pemotongan vonis koruptor) juga akan memberikan image buruk di hadapan masyarakat yang makin kritis terhadap putusan peradilan yang pada gilirannya tingkat kepercayaan publik atas lembaga peradilan pun semakin tergerus,” kata Ali dilansir Kompas.

Belakangan kasus korupsi dua Menteri Jokowi, Edhy Prabowo dan eks Mensos Juliari Batubara memang makin menarik saja. Dalam persidangan Suharjito Maret lalu, Edhy mengaku pernah memberi apartemen dan mobil kepada tiga orang asisten perempuannya, diduga menggunakan uang hasil suap ekspor benur. Pengacara Edhy beralasan, pemberian itu karena Edhy berjiwa sosial tinggi. Sedangkan Juliari diduga memakai uang hasil nilep bansos untuk beli sapi kurban, beliin sepeda Brompton buat anak buahnya, sampai buat bayar Cita Citata buat mengisi acara makan-makan di Kemensos.

 

Sumber: Vice Indonesia

PERKARA

Vonis Rendahan Bikin Heran! Aktivis Segera Lapor JPU Kejari Tebo yang Tangani Perkara Pasar Tanjung Bungur ke Jamwas Kejagung

DETAIL.ID

Published

on

Jambi – Vonis rendah terhadap 7 terdakwa korupsi pasar Tanjung Bungur TA 2023, Muara Tebo jadi sorotan salah satu aktivis yang tergabung dalam Aliansi GERAM (Gerakan Rakyat Menggugat) yakni Afriansyah. Dia mengaku heran dengan vonis rendah yang beriringan dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Tebo.

Dimana dalam tuntutan atas perkara korupsi yang merugikan keuangan negara mencapai Rp 1.061.233.105,09 tersebut, JPU Kejari Tebo menuntut ke-7 terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 5 bulan. Yang kemudian divonis lebih rendah oleh Majelis Hakim PN Tipikor Jambi.

“Sangat bertentangan dengan Pedoman Jaksa Agung nomor 1 tahun 2019 tentang tuntutan pidana perkara tindak pidana korupsi. Seharusnya minimal JPU menuntut 4 tahun,” kata Afriansyah, Rabu 17 September 2025.

Kalau mengacu pada Pedoman Jaksa Agung nomor 1 tahun 2019 tentang tuntutan pidana perkara tindak pidana korupsi, yang dimaksudkan jadi acuan penuntut umum dalam menentukan tuntutan pidana perkara korupsi dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan.

Terdakwa dituntut dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 7 tahun, tergantung pada persentase pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh terdakwa, untuk kategori kerugian keuangan negara Rp 750 juta hingga Rp 1 Milliar.

Afriansyah pun menyayangkan minimnya hasil dari proses hukum atas perkara korupsi Pasar Tanjung Bungur senilai Rp 1.061.233.105,09 yang digarap oleh Kejari Tebo.

“Ya kalau seperti ini, gimana Tebo mau bersih dari praktik Korupsi?” ujarnya.

Sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintahan yang bersih dari korupsi,  sosok aktifis ini pun mengaku akan segera melaporkan oknum-oknum JPU Kejari Tebo yang menyidangkan perkara ini pada Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung.

“Segera kita laporkan, ini sebagai bentuk perjuangan kita menekan angka korupsi di kampung halaman kita Kabupaten Tebo,” katanya.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

PERKARA

Tujuh Terdakwa Korupsi Pasar Tanjung Bungur Divonis 1 Tahunan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Tujuh terdakwa perkara korupsi pembangunan Pasar Tanjung Bungur TA 2023 di Muara Tebo akhirnya menjalani sidang putusan di PN Jambi pada Rabu, 17 Desember 2025.

Dalam perkara korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp Rp 1.061.233.105,09 sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Majelis Hakim berpendapat bahwa para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagaimana dakwaan subsidair penuntut umum, Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Nurhasanah, selaku Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang menjabat Kadis Perindagnaker pada perkara ini divonis selama 1 tahun penjara, dengan denda Rp 50 juta subsidair 1 bulan kurungan penjara.

Kemudian, Edy Sopyan selaku Pejabat Pembuat Surat Perintah Membayar (PPSPM) yang menjabat Kabid Perdagangan, divonis 1 tahun 3 bulan serta denda Rp 50 juta subsidair 1 bulan.

Vonis serupa juga dijatuhkan majelis hakim pada Rahmad Solihin selaku pihak yang menerima pengalihan pekerjaan dari pelaksana CV Karya Putra Bungsu. Namun Rahmad juga dikenai pidana tambahan berupa uang pengganti senilai Rp 417 juta.

Dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan dalam 1 bulan setelah perkara ini berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa untuk memulihkan kerugian keuangan negara. Jika harta benda tidak mencukupi maka diganjar dengan pidana penjara 8 bulan.

Sementara Dhiya Ulhaq Saputra, selaku Direktur CV Karya Putra Bungsu divonis 1 tahun dengan denda Rp 50 juta, subsidair 1 bulan. Dengan pidana tambahan berupa denda sebesar Rp 36 juta, subsider 2 bulan.

Adapun 3 terdakwa lainnya, yakni Paul Sumarsono, Haryadi, dan Harmunis juga mendapat vonis serupa. Terdakwa Haryadi mendapat pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 29 juta subsidair 1 bulan. Sementara Harmunis dapat pidana pengganti terbesar yakni Rp 578 juta subsidair 3 bulan.

“Saudara semua punya hak untuk pikir-pikir selama 7 hari, apakah menerima atau mengajukan banding,” ujar Ketua Majelis Hakim, Syafrizal Fakhmi, usai membacakan putusan.

Terhadap putusan tersebut para terdakwa ada yang menerima, juga ada yang menyatakan pikir-pikir. Sementara JPU Kejari Tebo, menyatakan pikir-pikir atas putusan para terdakwa tersebut.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

PERKARA

Sidang Perdana Thawaf Aly Ricuh, Kuasa Hukum Ajukan Keberatan Atas Bukti Nihil

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Muara Sabak – Sidang perdana perkara pidana dengan terdakwa Thawaf Aly digelar di Pengadilan Negeri Sabak pada Rabu, 17 Desember 2025. sidang berupa pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sabak.

JPU Kamila Delima dalam dakwaannya menjerat Thawaf Aly dengan Pasal 363 ayat 1 ke-4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian dengan pemberatan. Selain itu, JPU juga menyusun dakwaan alternatif Pasal 480 ayat 1 dan 2 KUHP.

Thawaf Aly dikenal sebagai aktivis petani yang telah lama mendampingi masyarakat dalam konflik agraria, baik di sektor kehutanan maupun non-kehutanan.

Dalam persidangan tersebut, terdakwa didampingi oleh 13 orang pengacara, di antaranya pengacara senior Suratno bersama Agus Elfandri dan tim.

Sidang sempat berlangsung ricuh usai JPU membacakan dakwaan. Tim kuasa hukum terdakwa menyampaikan keberatan karena menilai persidangan tidak didukung bukti yang jelas.

“Sidang sudah dibuka oleh Hakim Ketua, namun kami belum melihat bukti berupa sporadik atau Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Sucipto atau ayahnya, Hary Chandra, yang seharusnya diunggah di sistem E-Berpadu,” ujar Ihsan, SH.

Keberatan tersebut diperkuat oleh R Siregar yang menyatakan bahwa tanpa kehadiran bukti surat, persidangan menjadi tidak jelas dan tidak terang.

Sementara itu, Azhari secara tegas menyatakan bahwa sidang seharusnya tidak dapat dilanjutkan. Ia merujuk pada informasi dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jambi dalam perkara nomor 111/Pid.B/2025/PN-PJT yang mencantumkan status barang bukti nihil.

“Jika barang bukti nihil, maka saksi tidak bisa mengidentifikasi atau melihat apa pun. Untuk itu, sidang ini seharusnya dihentikan,” ujar Azhari.

Menanggapi perdebatan tersebut, majelis hakim memutuskan agar seluruh keberatan dan dalil dari tim kuasa hukum dituangkan secara resmi dalam nota eksepsi. Sidang kemudian ditunda dan akan dilanjutkan pada Selasa, 13 Januari 2026, dengan agenda pembacaan eksepsi dari pihak terdakwa.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs