Connect with us

LINGKUNGAN

Dua Perusahaan Batu Bara Mengusik Rumah Suku Anak Dalam

DETAIL.ID

Published

on

Suku Anak Dalam

Bagi mereka, hutan adalah rumah MHA SAD. Di hutan, mereka bisa hidup berburu dan meramu. Hidup berpindah-pindah merupakan tradisi mereka untuk mencari hewan buruan dan hasil hutan lain. Hidup berpindah-pindah pun merupakan tradisi, bila ada pihak keluarga yang meninggal dunia. Tradisi itu dikenal melangun.

“Dahulu mencari madu, buah jernang, getah damar, getah balam maupun rotan, sangat gampang karena memang masih banyak. Kalau sekarang minta ampun. Sulit sekali ditemukan. Begitu juga dengan hewan buruan. Terkadang kita berburu sampai ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) baru bisa mendapat hewan buruan,” kata Temenggung Apung.

APUNG: Pemimpin MHA SAD Desa Muara Kilis, Temenggung Apung. (DETAIL/Syahrial)

Setelah tak punya hutan, kehidupan MHA SAD Kelompok Temenggung Apung mulai tidak terarah. Mereka terpaksa tinggal di lahan konsesi perusahaan yang dahulunya merupakan hutan adat mereka. Mereka terkesan hidup menumpang di tanah nenek moyang mereka sendiri. Klimaksnya, konflik dengan perusahaan dan masyarakat pun semakin sering terjadi bahkan sampai adu fisik dan pembakaran sejumlah alat berat milik perusahaan (PT WKS).

“Waktu itu kita sangat emosi karena tidak ada lagi hutan tempat untuk kita bisa hidup. Ya, mau dak mau kita harus merebut kembali tanah milik kita,” kata Apung.

Waktu terus berlalu, MHA SAD terpaksa harus hidup menetap karena tidak ada lagi hutan tempat mereka hidup. Mereka juga terpaksa belajar bertani dan berkebun agar bisa bertahan hidup. Sejak itu pula anak-anak mereka mulai belajar membaca dan menulis.

“Sejak tahun 2014 yang lalu, kami sudah mulai menetap di sini. Kami menanam ubi dan pisang untuk makan sehari-hari. Kami juga menanam karet dan sawit. Sekarang sudah mulai menghasilkan,” kata dia lagi.

Sekitar tahun 2015, PT WKS membebaskan lokasi tersebut, diperuntukkan sebagai wilayah hidup MHA SAD Kelompok Temenggung Apung. Pembebasan lahan ini disaksikan langsung oleh Pemerintah Kabupaten Tebo, TNI-Polri dan pihak perusahaan dalam hal ini PT WKS. Lahan seluas 201 hektar yang sebelumnya adalah kebun akasia, berangsur-angsur digarap oleh MHA SAD menjadi tempat tinggal dan perkebunan. Mereka secara swadaya mulai membangun rumah untuk tempat tinggal dengan menggunakan material kayu seadanya. Mereka juga mulai menanami karet dan sawit di  lahan tersebut.

“Kita mendapat bibit karet dan bibit sawit di kebun-kebun warga. Di sana banyak pohon karet dan sawit yang tumbuh liar. Kita cabuti kemudian kita tanam di kebun kita,” ujarnya.

Setelah mereka tinggal menuai hasil, kehidupan mereka terganggu dengan kedatangan perusahaan batu bara PT Bangun Energi Prima. Inilah yang bikin kelompok Temenggung Apung kesal dan meradang.

”Baru-baru ini kami mengetahui bahwa pemukiman dan kebun kami masuk dalam izin tambang batu bara. Itu pun karena kami memergoki pekerja perusahaan yang tengah mengebor di kebun-kebun kami. Kami tidak tahu sama sekali karena tidak ada sosialisasi maupun pemberitahuan sama sekali,” kata Temenggung.

Apa pun alasannya, Temenggung Apung secara tegas menolak kegiatan tambang batu bara.

“Kawasan ini sudah diperuntukkan buat kami. Tahun 2015 diserahkan langsung oleh PT WKS. Jika ini dijadikan kawasan tambang, terus kami mau tinggal di mana. Di sana sini sudah kebun perusahaan. Di sana sini juga kebun masyarakat. Tidak ada lagi kawasan yang bisa dijadikan untuk tempat tinggal kami,” kata dia.

Apung bilang, hanya inilah satu-satunya tempat tinggal mereka.

Apung hendak beristirahat. Tubuhnya semakin lemah. Ia menyarankan kami untuk menemui anaknya, Malenggang, atau Seril, Ketua Adat MHA SAD.

Jarak pasaken Temenggung Apung ke rumah Malenggang dan rumah Sril (pemukiman MHA SAD) dekat, sekitar 5 kilometer. Mesti melintasi jalan koridor perusahaan sekitar 2 kilometer dan selanjutnya melintasi jalan tanah sepanjang 3 kilometer.

Pemukiman MHA SAD Kelompok Temenggung Apung, tepatnya di RT 32 Sungai Bungin, Dusun Wonorejo, Desa Muara Kilis. Masyarakat sekitar menamakan lokasi tersebut Simpang Stop atau Pemukiman Adat Suku Anak Dalam.

Saat masuk, terlihat gapura. Di sampingnya, papan informasi bertuliskan pemukiman adat Suku Anak Dalam. Sebelah kanan jalan tampak bukit lengkap dengan tegakan pohon akasia. Di atas bukit itu berdiri dua unit bangunan. Satu unit Sekolah Alam yang diketahui dibangun oleh Pemkab Tebo pada tahun 2015,. Satu unit lagi Gedung Pusat Informasi Suku Anak Dalam (Pusinfo SAD) yang dibangun dengan dana CSR BNI 46 tahun 2018.

“Ini tanah untuk fasilitas umum MHA SAD. Luasnya sekitar 4 hektare. Di tanah ini, siapa pun MHA SAD boleh memanfaatkannya sebagai tempat tinggal. Kawasan ini juga masuk dalam izin tambang PT BEP,” ujar Ahmad Firdaus.

Jalan menuju pemukiman MHA SAD belum diaspal. Meski telah dilakukan pengerasan seadanya, di sejumlah titik jalan terlihat rusak dan berlubang karena sering dilalui angkutan buah sawit.

Beberapa meter dari tanah fasilitas umum MHA SAD, tampak bangunan musala. Letaknya sedikit berjejer dengan pemukiman (rumah) MHA SAD. “Sebagian MHA SAD sudah ada yang muslim. Jadi mereka swadaya membangun musala. Sebagian lagi ada yang masuk Nasrani dan sebagian lagi masih menganut kepercayaan,” ujar Ahmad Firdaus menjelaskan.

Yang mengancam tempat tinggal SAD bukan cuma PT Bangun Energi Perkasa. Ada satu perusahaan batu bara lagi, PT Batanghari Energi Prima. PT Bangun Energi Perkasa merambah seluruh kawasan pemukiman dan perkebunan MHA SAD seluas 201 hektare, PT Batanghari Energi Prima merambah wilayah khusus MHA SAD seluas 115 hektare.

“Jadi ada dua perusahaan tambang yang mengancam wilayah dan keberadaan MHA SAD di sini. Dua perusahaan itu kalau disingkat PT BEP,” ucap Ahmad Firdaus.

Pages: 1 2 3 4 5

LINGKUNGAN

PLTU Milik PT Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai Ale, Sudah Dilaporkan Namun Belum Ada Perubahan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Sarolangun – PLTU milik PT Permata Prima Elektrindo (PPE) yang berlokasi di Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, diduga telah mencemari ekosistem Sungai Ale melalui pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). Hal ini terungkap dari hasil investigasi Lembaga Tiga Beradik (LTB) pada Selasa, 3 Juni 2025.

Tim LTB menemukan bahwa limbah FABA diangkut menggunakan kendaraan roda empat dan dibuang ke lahan terbuka seluas sekitar 1,3 hektare hanya berjarak 40 meter dari anak Sungai Ale. Lokasi pembuangan tersebut merupakan area rawa yang rawan banjir dan seharusnya menjadi daerah resapan air tanah.

“Kegiatan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun, khususnya Pasal 25 ayat 4 huruf b serta Pasal 28 ayat 1 huruf b dan e,” ujar Manager Advokasi LTB, Deri lewat keterangan tertulisnya.

Dampak dari aktivitas ini dirasakan langsung oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Sungai Ale. Air sungai kini tercemar lumpur hitam limbah FABA, yang jika digunakan bisa membahayakan kesehatan.

Deri menegaskan bahwa jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penindakan dari pihak berwenang, pencemaran bisa meluas hingga Sungai Tembesi yang menjadi hilir dari Sungai Ale.

“Pada Mei 2024 lalu, luapan Sungai Tembesi mencapai lokasi pembuangan limbah FABA dan membawa lumpur hitam yang menyebabkan kerusakan ekosistem di Sungai Ale,” katanya.

Menurut Deri, laporan sudah disampaikan kepada perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun pada kegiatan Sedekah Bumi tahun 2024 di RT 06, pintu masuk menuju lokasi PLTU. Namun hingga kini belum ada respons atau tindakan konkret.

“Kami menilai bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun lalai dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap aktivitas PLTU Semaran milik PT Permata Prima Elektrindo. Oleh karena itu, kami menuntut agar perusahaan diberi sanksi tegas oleh pihak terkait,” katanya. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.

Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.

Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.

Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.

Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.

“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.

Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Perkumpulan Hijau Bakal Laporkan Tambang Batu Bara PT GAL di Tebo Atas Pencemaran Lingkungan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Setelah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan Polda Jambi, Perkumpulan Hijau (PH) kembali menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif batu bara yaitu PT Globalindo Alam Lestari (GAL).

Perusahaan tambang batu bara yang berada di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo tersebut menjadi ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari permukiman warga.

Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.

“Risiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujar Feri dalam pernyataannya.

Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo Suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam. Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.

“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” katanya.

Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.

Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT Globalindo Alam Lestari (GAL) dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.

Hasil investigasi Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yang sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke Sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru.

Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.

Feri menambahkan, dalam izin PT GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.

“Berdasarkan analisis Tim GIS ‘Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak direklamasi oleh PT Globalindo Alam Lestari (GAL) ialah luas lobang tambang 7,64 hektare dan luas lahan yang terbuka 10,97 hektare.

Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu. Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya inspektorat tambang, menteri lingkungan hidup untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka.

“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.

Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.

Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan di lokasi PT GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.

“Kami akan laporkan PT GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” katanya. (*)

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs