Connect with us
Advertisement

OPINI

Moratorium Sawit Langkah Penting untuk Selamatkan Gambut Jambi

DETAIL.ID

Published

on

Moratorium Sawit

INSTRUKSI Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau yang sering disebut Inpres Moratorium Sawit telah berakhir 19 September 2021 lalu.

Tapi, sampai saat ini belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk melanjutkan atau menghentikan kebijakan tersebut. Meskipun banyak pihak berharap, bahkan mendesak agar moratorium sawit dilanjutkan, karena dianggap berdampak baik untuk lingkungan.

Memperpanjang kebijakan moratorium sawit menjadi langkah penting untuk menyelamatkan wilayah gambut di Jambi dari ancaman kerusakan yang lebih parah. Saat ini, sebagian besar kawasan gambut telah rusak karena dibebani izin konsesi.

Merujuk data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, luas perkebunan kelapa sawit di Jambi mencapai lebih dari 1 juta hektare, dan hampir separuhnya berada di kawasan gambut. Sekitar 70 persen dari total 751 ribu hektare lahan gambut di Jambi telah dibebani izin konsesi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.

Lahan basah yang menyimpan jutaan ton karbon itu dikoyak oleh ribuan kanal yang sengaja dibangun perusahaan untuk mengeringkannya. Akibatnya lahan gambut sangat rentan terbakar. Walhi juga mencatat, peristiwa kebakaran 2019 telah menghancurkan 114 ribu hektare kawasan gambut sedang dan dalam.

Kebakaran gambut juga menyebabkan bencana kabut asap yang membuat ribuan masyarakat di Jambi menderita. Lebih dari 63 ribu warga Jambi dilaporkan terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kabut asap saat terjadi kebakaran 2019. Kota Jambi menjadi wilayah dengan jumlah kasus ISPA tertinggi. Data Dinas Kesehatan Kota Jambi sejak Agustus hingga pekan kedua Oktober 2019 tercatat lebih 24 ribu kasus, 60 persen di antaranya anak-anak. Puluhan ibu hamil juga ikut menderita. Lebih dari 1.000 sekolah diliburkan selama kualitas udara memburuk. Kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2019 mencapai Rp 12 triliun, angka yang sangat besar jika dibandingkan nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jambi.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi juga mencatat, pada 2020 ada 258 desa masuk dalam daftar rawan karhutla, lebih dari 100 desa di antaranya berada di daerah gambut yang tersebar di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjungjabung Timur dan Muarojambi. Umumnya desa-desa itu berada di sekitar konsesi perusahaan sawit.

Kebakaran yang terjadi tidak hanya merusak ekosistem gambut, tapi juga meningkatkan emisi gas rumah kaca. Data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa menyebut, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada 2019 telah melepas sebanyak 709 juta ton karbon dioksida ke udara. Jumlah itu 22 persen lebih besar jika dibandingkan dengan emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari kebakaran hutan Amazon, yakni 579 juta ton karbon dioksida.

Indonesia diketahui salah satu dari 55 negara peserta Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon 29 persen pada 2030.

Pemerintah juga telah menetapkan dokumen strategi jangka panjang (LTS) sebagai upaya menurunkan emisi hingga 540 metrik ton setara karbon dioksida (Mton CO2e) pada 2050. Perpanjangan moratorium sawit merupakan langkah penting tidak hanya untuk mencapai target penurunan emisi, tapi juga menyelamatkan lahan gambut.

Evaluasi Izin

Kebijakan Moratorium Sawit memberikan ruang besar bagi pemerintah untuk membenahi ulang tata kelola sawit yang kadung karut-marut. Selama tiga tahun terakhir, kebijakan ini menginstruksikan adanya penghentian pengeluaran izin perkebunan sawit baru.

Meskipun hanya sebentar, tapi instruksi ini setidaknya dapat menghentikan sementara ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan gambut, hutan serta hutan alam yang masih tersisa.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018), terdapat 12,8 juta hektare kawasan hutan yang diklasifikasikan sebagai Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit secara legal. Sementara 6,3 juta hektare dalam HPK tersebut merupakan hutan alam. Dengan memperpanjang moratorium sawit luas hutan alam tersebut dapat dilindungi.

Kebijakan Presiden Joko Widodo itu juga menginstruksikan untuk melakukan evaluasi izin-izin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan sebelumnya. Termasuk perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan.

Diketahui sekitar 3,47 juta hektare kebun kelapa sawit berada dalam kawasan hutan yang berpotensi terjadinya deforestasi. Sayangnya, meski ancaman begitu nyata, tapi proses penegakan hukum terhadap kebun sawit ilegal di kawasan hutan masih jauh dari yang diharapkan.

Namun Pemerintah Provinsi Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan langkah yang berani dengan mencabut 12 izin perusahaan perkebunan sawit yang luasnya mencapai 267.000 hektare. Langkah berani ini sebagai implementasi instruksi presiden terkait dengan perbaikan tata kelola kebun sawit yang berkelanjutan.

Pemerintah Jambi seharusnya juga berani melakukan langkah tegas seperti yang dilakukan pemerintah Papua Barat. Banyak perusahaan sawit di Jambi yang lepas tanggung jawab saat terjadi kebakaran di lahan konsesinya.

Beberapa perusahaan diketahui mendapatkan izin di kawasan gambut dalam yang mestinya dilindungi dan dibebaskan dari izin konsesi. Ini menjadi peringatan penting bagi pemerintah daerah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola izin konsesi terutama di lahan gambut. Bahkan bila perlu, dibentuk tim khusus agar karut-marut lahan gambut di Jambi bisa segera dibenahi.

Potensi Konflik 

Tidak dimungkiri jika kelapa sawit menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia. Setidaknya 13 persen dari total ekspor Indonesia berasal dari kelapa sawit dan berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 3,5 persen. Fakta ini yang kemudian membuat pemerintah terus mendorong agar sawit berkelanjutan.

Tetapi, pemerintah juga harus memperhatikan banyaknya permasalahan di bidang ekologi dan sosial yang timbul akibat izin perkebunan sawit. Pembangunan kebun sawit banyak memicu konflik dengan masyarakat lokal maupun masyarakat adat hingga masalah pencemaran lingkungan yang sampai saat ini belum terselesaikan.

Melihat banyaknya masalah yang terjadi, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak melanjutkan dan memperkuat moratorium sawit.

 

*Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi

OPINI

Sibuk Merayakan Maulid, Lupa Meneladani Amanah Rasulullah

Oleh: Naz*

DETAIL.ID

Published

on

SETIAP tahun, suasana Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu dirayakan dengan gegap gempita di berbagai daerah. Namun, ada ironi besar di balik semua itu. Semangat merayakan hari lahir Rasulullah sering kali hanya berhenti pada simbol, tidak menembus ke substansi.

Rasulullah SAW bukanlah figur yang gemar pada kemewahan perayaan. Beliau diutus membawa risalah kebenaran, menegakkan amanah, kejujuran, dan keadilan. Yang beliau wariskan bukanlah seremonial kosong, melainkan teladan akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman para pemimpin umat, termasuk pemimpin daerah kita.

Padahal, inti dari peringatan Maulid bukanlah sekadar mendengar ceramah atau memajang baliho besar gambar Kepala Daerah di masjid. Inti Maulid adalah meneguhkan kembali teladan Rasulullah:

1. Amanah dalam kepemimpinan;
Rasulullah menunjukkan bahwa jabatan adalah titipan, bukan alat memperkaya diri atau keluarga. Kepala daerah hari ini mestinya meneladani itu, memastikan setiap rupiah APBD digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperbesar rekening pribadi.

2. Kejujuran dalam setiap kebijakan;
Rasulullah tidak pernah berbohong meski dalam perkara kecil. Pemimpin seharusnya berani berkata jujur pada rakyat: tentang kondisi keuangan daerah, tentang keterbatasan, bahkan tentang kegagalan. Bukan malah menutup-nutupi dengan angka manipulatif demi pencitraan.

3. Kesederhanaan hidup;
Rasulullah hidup sederhana, bahkan ketika memiliki peluang untuk kaya raya. Sedangkan para kepala daerah kita sering kali larut dalam gaya hidup mewah: mobil dinas berderet, perjalanan dinas berulang, pesta perayaan digelar besar-besaran, sementara rakyat kecil masih kesulitan biaya pendidikan dan kesehatan.

Jika para kepala daerah benar-benar ingin menjadikan Maulid sebagai momen penting, seharusnya mereka tidak hanya sibuk di atas panggung, tapi juga menjadikan amanah dan kejujuran sebagai kompas kepemimpinan sehari-hari. Tidak ada artinya mengeluarkan kata-kata manis tentang Rasulullah jika kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat.

Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang paling dicintai rakyat karena keadilannya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyat karena kezalimannya.

Pertanyaannya: apakah kepala daerah hari ini sudah berada di jalan yang benar? Ataukah mereka hanya menumpang nama Rasulullah untuk memperindah citra di depan rakyat?
Maulid seharusnya menjadi alarm moral: jangan sibuk dengan perayaan tapi lalai dari keteladanan.

Jadikanlah Rasulullah sebagai teladan dalam kejujuran, jadilah pemimpin yang Al-Amin bukan yang Al-Korup. Sebab, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah panggung megah dan sambutan panjang, melainkan pemimpin yang benar-benar meneladani sifat Al-Amin, Amanah, Jujur, dan Adil.

*Pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi

Continue Reading

OPINI

PETI Dicaci, PETI Pemberi Rezeki: Siapa yang Ditumbalkan?

Oleh: Daryanto*

DETAIL.ID

Published

on

FENOMENA Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti), bukanlah terjadi baru-baru ini saja. Sejak transmigrasi masuk, sudah banyak bekas galian PETI di sepanjang lokasi yang dijadikan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Renah Pamenang, Pamenang Selatan misalnya, bekas galian para warga yang mencari butiran emas bisa disaksikan secara kasat mata. Hanya saja cara mereka awalnya hanya mengunakan dulang atau alat tradisional yang digunakan untuk memisahkan butiran pasir dan buliran emas, cara mereka menggalinya pun mengunakan alat sederhana seperti linggis.

Namun memasuki tahun 2010, aktivitas PETI berubah total, dari yang awalnya tradisional, berubah mengunakan mesin dan merambah mengunakan alat berat sampai sekarang.

Tapi diakui atau tidak, di Provinsi Jambi, aktivitas peti khususnya di Jambi Wilayah Barat, seperti Tebo, Muara Bungo, Merangin, dan Sarolangun aktivitas PETI terus terjadi, namun pola-pola yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan emas dilakukan dengan tiga cara, seperti dompeng darat, lanting, dan menggunakan box

Dompeng darat, biasanya oknum masyarakat mencari emas menggunakan alat berat dengan cara mengali tanah dengan kedalam tertentu, dibantu dua mesin penyedot air dan mesin penyedot batu dan mampu menampung sampai delapan tenaga kerja, dengan kelebihannya setelah ditambang bisa direklamasi ulang dan bisa ditanami kembali.

Berbeda dengan dompeng lanting, biasanya masyarakat mengunakan rakit buatan yang dilakukan di dalam sungai, dengan cara menyedot batu dan pasir di dalam sungai dengan dua mesin yang biasanya dilakukan oleh tiga tenaga kerja, Terkadang pasir yang disedot dimasukan kembali ke sungai sehingga membuat aliran sungai menjadi dangkal.

Lain halnya PETI menggunakan alat berat yang bekerja, mengambil pasir dan batu menggunakan baket alat berat kemudian dimasukan dalam alat box, dan biasanya ada dua sampai tiga pekerja yang melakukan pekerjaan secara terus menerus di bantaran aliran sungai sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah dan susah untuk direklamasi ulang.

Tentu ada hal yang menarik dari tiga katagori PETI yang sering dilakukan oleh warga, Bagaimana pengunaan merkuri atau logam berat. Dari pantauan penulis, masyarakat yang beraktivitas PETI rata-rata mengunakan logam berat untuk memisahkan emas dari pasir hitam dengan cara memasukan ke dalam ember, kemudian diaduk di satu tempat agar logam berat tidak terbuang lalu di peras mengunakan kain tipis untuk memisahkan emas dan logam berat, atau bagi masyarakat pendompeng mengenalnya dengan istilah “ngepok”, setelah terpisah air tak tadi dimasukan ke dalam botol untuk bisa dipergunakan lagi.

Lalu kemana para pemain petugas menjual hasilnya? Banyak di sejumlah tempat yang biasa menampung hasil PETI, ada pemilik modal yang bekerja sama dengan cara main “DO”, dengan sistem pembelian yang berbeda dengan harga toko emas, dan ada juga yang langsung menjual lepas ke penadah emas dengan harga yang lebih tinggi di banding pemilik “DO”. Tak perlu harus menelisik toko emas mana yang menjadi langganan pelaku PETI menjual hasilnya dan “aman dari pengamatan petugas” dan sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Merangin.

Dari sisi ekonomi, bagi sebagian masyarakat, kerja di Penambangan Emas Tanpa Izin tentu sangat menjanjikan, sebab banyak masyarakat yang tertolong dari pinjaman pinjol, tagihan angsuran bank, angsuran kredit motor dan biaya anak sekolah, belum lagi bagi oknum NGO, oknum organisasi profesi, institusi tertentu, yang sering mendapatkan rezeki dari para pemilik mesin dompeng, walaupun hanya sekedar berbasa-basi dengan pemilik PETI.

Lalu bagaimana PETI yang sudah terjadi puluhan tahun tetap berlangsung sampai saat ini? Meskipun sudah banyak pekerja PETI yang tertangkap dan dipenjara, apakah ada efek jera?

Bagi sebagian kecil pekerja pasti dapat efek jera, sebab hanya pekerja saja yang jadi tumbal dan jarang pemilik dan pemodal PETI yang tertangkap. Namun fakta di lapangan bisa dilihat hari ini dirazia aparat keamanan berhenti bekerja, besok pasti sudah bekerja lagi demi tuntutan kebutuhan perut.

Terkadang ada juga faktor x yang berpengaruh, agar saat razia terkesan ada hasil, di lokasi tertentu para pemilik alat berat dan dompeng bisa berkoordinasi dengan baik dengan para oknum, maka sudah pasti akan selamat, tetapi jika di satu wilayah para pemain alat berat dan pemilik dompeng di anggap “pelit”, dan sering masuk pemberitaan bisa dipastikan bakal ada yang kena, dan ini fakta yang terus menerus terjadi.

Mari kita lihat bagaimana peran penting PETI yang dicaci tetapi membawa rezeki. PETI tidaklah akan berjalan sampai hari ini jika bahan bakar distop dari hulunya, tetapi ada fakta lainnya yang tidak bisa dipisahkan, ibarat PETI adalah gula manis, tentu banyak jenis semut yang mendekati untuk mendapatkan rasa manisnya.

Siapa yang berani menjual bahan bakar PETI seperti solar subsidi dalam jumlah besar jika bukan ada oknum aparat keamanan yang bermain? Pemandangan antrian solar subsidi pasti mengular di sejumlah SPBU di Merangin yang menyediakan bio solar, banyak cara dilakukan dengan mengisi berkali kali dengan nomor barcode yang berbeda beda, lalu hasil antrian solar sudah pasti sudah ada pembeli yang dijual ke lokasi PETI. Lalu kenapa PETI bisa sebagian aman saat dirazia dan sudah bocor duluan saat didatangi ke lokasi, sudah bisa diduga ada oknum aparat keamanan yang pasti ikut mendapatkan bagian dari kegiatan ilegal tersebut, dan bahasa sederhananya adalah mendapatkan “bulanan” per alat berat di setiap wilayah di Merangin pasti berbeda beda nominalnya.

Lalu ada peran Pemerintah Daerah yang tidak mau kehilangan cara, dengan menerbitkan surat edaran Kepala Daerah yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan kecamatan hingga level desa untuk tidak terlibat PETI, apalagi Kades merupakan pemangku adat di desanya.

Situasi ini tentunya mudah disampaikan tapi sulit dikerjakan. sebagian besar masyarakat di Merangin sudah puluhan tahun banyak yang bekerja dan menggantungkan hidup di sektor “per-PETI-an” , dan saat pemerintah menghimbau tidak melakukan aktivitas PETI tetapi sayangnya edaran tersebut tidak disertai solusi konkrit yang bisa dikerjakan masyarakat agar bisa beralih ke pekerjaan lainnya selain kerja PETI.

Jikalau mau dan serius dalam memberantas PETI, Pemerintah Daerah wajib membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kerja sama dan secara serius mencarikan solusi agar masyarakat bisa mendapatkan pilihan pekerjaan selain PETI, dan berani tegas untuk menindak semua oknum aparat keamanan yang berani menjual BBM kepada para pelaku PETI, tidak menerima uang bulanan, dan sama-sama mengawal kebijakan soal wilayah pertambangan rakyat, bagaimana izin pertambangan rakyat bisa didapatkan, sehingga tidak ada lagi cara-cara ilegal untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup masyarakat banyak.

Seperti kaga pepatah, jika air keruh di hilir tengoklah dari hulunya.

Salam santun.

*Penulis adalah wartawan DETAIL.ID yang tinggal di Kabupaten Merangin.

Continue Reading

OPINI

Pembangunan Stockpile Batu Bara dan Penolakan Warga: Ujian Serius Bagi Pemerintah

Oleh: Eko Saputra S. Lumban Gaol, SH*

DETAIL.ID

Published

on

PEMBANGUNAN stockpile batu bara di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, telah memicu gelombang penolakan besar. Warga menilai proyek ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak hidup mereka.

Provinsi Jambi selama ini menjadi salah satu lumbung batu bara nasional. Namun, di balik sumbangan devisa, masyarakat justru menanggung dampak: jalan rusak akibat truk over tonase, kemacetan kronis, polusi udara yang memicu penyakit, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berujung korban jiwa. Terakhir, pembangunan stockpile batu bara di tengah pemukiman padat semakin memperparah beban masyarakat.

Pemerintah Harus Memihak Rakyat

PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), pemilik IUP ±1.273 hektare di Sarolangun, mengklaim memiliki izin sah untuk membangun stockpile sekaligus pelabuhan pengangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan minimnya keterbukaan:

  • Tidak ada sosialisasi yang layak bagi warga terdampak.
  • Lokasi di jantung pemukiman yang rawan banjir, macet, dan polusi.
  • Dugaan pelanggaran tata ruang dan peruntukan lahan.

Penolakan pun meluas, para aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, hingga warga sekitar menegaskan ketidaksetujuan mereka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan peluang ekonomi, melainkan ancaman hidup.

Klaim PT SAS soal kepatuhan izin tak bisa menjadi tameng. Pemerintah dari pusat hingga kota dituntut berhenti bersikap pasif. Jika izin memang diberikan, prosesnya perlu diaudit terbuka. Bila memang menyalahi RTRW atau mengancam keselamatan warga, pencabutan izin atau relokasi harus menjadi langkah tegas.

Just Transition Bukan Sekadar Konsep

Transisi energi yang adil (Just Transition) adalah pendekatan yang menekankan perlunya transisi energi yang adil, inklusif dan adil untuk semua pihak. Di Aur Kenali, Just Transition menjadi satu hal yang prinsip, tidak ada pembangunan yang mengorbankan kesehatan, keselamatan, dan ruang hidup warga yang mengatasnamakan investasi dan keuntungan segelintir perusahaan.

Penolakan warga Aur Kenali adalah peringatan keras bahwa investasi tak boleh menindas hak masyarakat, tapi seyogyanya mendorong transisi energi dan ekonomi yang adil, dengan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar pemberi izin. Tanpa keberpihakan tegas, pembangunan stockpile batu bara hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.

*Warga RT 014/002 Desa Mendalo Darat, mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi dan Ketua DPC FSB NIKEUBA Muarojambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs