LINGKUNGAN
Kisah Nurul: Dari Perawat Bersulih Profesi Jadi Petani, Meraup Untung Rp 15 Juta

Penghasilan yang pas-pasan menjadi perawat membuat Nurul mencoba peruntungan lain. Ia justru berhasil dengan bertani pare. Bagaimana kisahnya?
MELIHAT nasib rekan seperjuangan hanya digaji Rp 300 ribu sebulan, bikin Nurul putar otak. Ia pikir mana mungkin bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan pendapatan segitu. Untuk menutupi kebutuhan harian saja belum tentu cukup, boro-boro membiayai persalinan sang istri yang tinggal beberapa bulan lagi.
“Kawan saya, perawat di Puskesmas cuma digaji Rp 300 ribu. Terkadang gaji segitu bukan hanya diterima per bulan, mirisnya, gaji 2 bulan pun sama jumlahnya,” ujar pria berumur 29 tahun itu kepada detail pada Selasa, 25 Januari 2021.
Nurul mulai menyadari kenyataan pahit ini semenjak lulus kuliah di Akademi Perawat Telanai Bhakti, Jambi tahun 2015. Alhasil, Nurul makin tak tertarik untuk bekerja linier sesuai bidang ilmunya. Nominal yang agak manusiawi bila bekerja di rumah sakit besar, tapi itu pun ternyata tak mudah, masih butuh perjuangan kuat.
“Gaji di rumah sakit lebih baik, tapi persaingan dan biayanya juga lumayan. Harus lulus ujian dan dapat STR. Untuk mendapatkannya, lumayan pula biayanya. Saya udah dua kali coba tapi belum pernah dapat STR. Daripada buang uang lagi, lebih baik coba profesi lain,” kata petani milenial di Kelurahan Jambi Kecil, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muarojambi itu.
STR adalah Surat Tanda Registrasi sebagai bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi.
Tak banyak anak milenial yang tertarik menjadi seorang petani. Profesi petani dianggap sebagian besar muda-mudi sebagai profesi kuno. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) malah menyebut, petani Indonesia akan punah pada tahun 2065. Saat ini, petani muda hanya tersisa 8 persen saja atau 2,7 juta, dengan kisaran usia 20-30 tahun. Angkanya sangat jauh sekali bila dibandingkan dengan petani berusia di atas 50 tahun, jumlahnya 33,4 juta petani.
Terjunnya Nurul ke dunia pertanian menjadi angin segar. Setidaknya Nurul mampu mematahkan asumsi bahwa banyak anak muda tak tertarik terjun ke dunia pertanian. Nurul yang tadinya merawat pasien kini berubah menjadi perawat tanaman. Persisnya, menjadi petani sayur pare. Walaupun, sebenarnya Nurul berubah profesi karena tak sanggup dengan upah yang kecil tadi.
“Hasilnya lumayan. Apalagi kalau kita serius merawatnya. Harus rajin siram dan mupuk. Hasil panen juga pasti bakal banyak,” ujar pemuda bernama lengkap Ahmad Nurul Huda ini.
Menurut Nurul, bertani itu ternyata menguntungkan. Dengan tanah seluas 1.200 meter persegi, ia bisa meraup Rp 8 juta hingga Rp 15 juta dalam sekali masa tanam, dalam tempo tiga bulan.
Artinya, bila kita bagi Rp 15 juta selama tiga bulan, maka pendapatan Nurul sebulan mencapai Rp 5 juta atau 16 kali lipat ketimbang temannya yang mengandalkan penghasilan sebagai perawat di Puskesmas yang hanya menerima gaji Rp 300 ribu per bulan. Jauh menguntungkan, bukan?
Pekerjaan Nurul sebagai petani tidaklah mudah. Sebelum menanam, ia mulai menyemai bibit terlebih dahulu selama 1 minggu, sembari menyiapkan lahan dengan memberi pupuk kandang. Penggemburan dan pemberian pupuk kandang menjadi tantangan pertama demi memastikan kesuburan tanamannya.
Setelah ditanam, Nurul harus rutin merawatnya. Ia siram setiap hari dan memberi pupuk, 2 hari sekali. Ia menggunakan mesin pompa air untuk menyiram tanaman parenya.
“Saya kasih pupuk NPK 1 gelas dilarutkan dalam 20 liter air. Ini disiramkan ke tanaman, bisa untuk 90 batang. Jadi satu lahan saya butuh sekitar 4,5 gelas untuk 400 batang tanaman. Saya juga beri pupuk majemuk Nitrophoska dengan takaran yang sama,” katanya.
Ia pernah menghadapi serangan hama dan penyakit tanaman. Untuk itu, ia terus belajar untuk bisa mengatasi setiap persoalan.
Sebelum ia menekuni dunia pertanian, ia terlebih dahulu mencoba ternak lele. Namun sayangnya ia belum berhasil ketika memulai bisnis ini. Minimnya pengalaman dan tidak adanya role model dalam usaha ini menjadi penghalang.
“Banyak faktor sih. Hitungannya tipis dan ilmunya juga tidak lengkap. Kalau mau belajar ke siapa juga enggak tahu. Kalau tani, banyak tetangga juga udah duluan tani. Jadi bisa nimbrung belajar,” ujarnya.
Lebih lanjut ia memaparkan, ketika mulai panen, ia akan melipatgandakan dosis pupuk. Dari awalnya 1 gelas, menjadi 2 gelas untuk 90 batang tanaman. Saat musim panas, ia akan lebih sering menyiram, tetapi saat musim hujan menjadi berkah tersendiri. Sebab, ia tak perlu menyiram dan menghemat biaya bahan bakar untuk mesin pompa air.
“Misalnya pagi panen, sorenya langsung dipupuk. Setiap dua hari sekali saya beri pupuk, sama seperti sebelum tanam,” ujarnya.
Selain masalah hama dan penyakit tanaman, masalah petani sayur lain biasanya adalah soal harga. Mengatasi persoalan ini, ia biasanya update masalah harga. Ia mencari komoditas lain yang harganya lebih menguntungkan.
“Masa tanam sekarang saya tanam gambas (oyong), bukan lagi pare. Soalnya pare lagi turun. Selain pertimbangan harga, mengganti komoditas jadi trik untuk memperbaiki hara tanah,” tuturnya.
Dari pengalaman petani di kampungnya, menanam gambas lebih menguntungkan. Dalam satu masa panen bisa memperoleh hasil hingga 4 ton. Harganya pun lumayan, per kilonya Rp 6-7 ribu. Artinya, menanam gambas berpotensi meraup Rp 24 juta hingga Rp 28 juta dalam sekali masa tanam.
“Untuk gambas, masa panennya lebih cepat. Lama panennya pun lebih panjang. Kalau pare 40 hari baru bisa dipanen, kalau gambas 33 hari sudah buah. Pare masa produktifnya cuma 2 bulan, kalau gambas sampai 2,5 bulan,” ujarnya.
Nurul berharap banyak pemuda yang ikut terjun jadi petani. Krisis petani muda harus segera diatasi. Baginya, menjadi petani bukanlah hal yang memalukan.
“Kalau tidak ada lagi petani, kita makan apa. Kalau semua kerja kantoran, siapa yang produksi beras, sayuran, dan lainnya. Ya kita mulai dari kita sendiri aja, nanti kalau pada tahu kalau bertani itu menguntungkan pasti ikutan,” ucapnya.
Reporter: Febri Firsandi
LINGKUNGAN
PLTU Milik PT Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai Ale, Sudah Dilaporkan Namun Belum Ada Perubahan

DETAIL.ID, Sarolangun – PLTU milik PT Permata Prima Elektrindo (PPE) yang berlokasi di Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, diduga telah mencemari ekosistem Sungai Ale melalui pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). Hal ini terungkap dari hasil investigasi Lembaga Tiga Beradik (LTB) pada Selasa, 3 Juni 2025.
Tim LTB menemukan bahwa limbah FABA diangkut menggunakan kendaraan roda empat dan dibuang ke lahan terbuka seluas sekitar 1,3 hektare hanya berjarak 40 meter dari anak Sungai Ale. Lokasi pembuangan tersebut merupakan area rawa yang rawan banjir dan seharusnya menjadi daerah resapan air tanah.
“Kegiatan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun, khususnya Pasal 25 ayat 4 huruf b serta Pasal 28 ayat 1 huruf b dan e,” ujar Manager Advokasi LTB, Deri lewat keterangan tertulisnya.
Dampak dari aktivitas ini dirasakan langsung oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Sungai Ale. Air sungai kini tercemar lumpur hitam limbah FABA, yang jika digunakan bisa membahayakan kesehatan.
Deri menegaskan bahwa jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penindakan dari pihak berwenang, pencemaran bisa meluas hingga Sungai Tembesi yang menjadi hilir dari Sungai Ale.
“Pada Mei 2024 lalu, luapan Sungai Tembesi mencapai lokasi pembuangan limbah FABA dan membawa lumpur hitam yang menyebabkan kerusakan ekosistem di Sungai Ale,” katanya.
Menurut Deri, laporan sudah disampaikan kepada perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun pada kegiatan Sedekah Bumi tahun 2024 di RT 06, pintu masuk menuju lokasi PLTU. Namun hingga kini belum ada respons atau tindakan konkret.
“Kami menilai bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun lalai dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap aktivitas PLTU Semaran milik PT Permata Prima Elektrindo. Oleh karena itu, kami menuntut agar perusahaan diberi sanksi tegas oleh pihak terkait,” katanya. (*)
LINGKUNGAN
Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.
Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.
Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.
Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.
Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.
“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.
Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)
LINGKUNGAN
Perkumpulan Hijau Bakal Laporkan Tambang Batu Bara PT GAL di Tebo Atas Pencemaran Lingkungan

DETAIL.ID, Jambi – Setelah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan Polda Jambi, Perkumpulan Hijau (PH) kembali menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif batu bara yaitu PT Globalindo Alam Lestari (GAL).
Perusahaan tambang batu bara yang berada di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo tersebut menjadi ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari permukiman warga.
Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
“Risiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujar Feri dalam pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo Suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam. Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.
“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” katanya.
Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.
Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT Globalindo Alam Lestari (GAL) dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.
Hasil investigasi Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yang sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke Sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru.
Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.
Feri menambahkan, dalam izin PT GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.
“Berdasarkan analisis Tim GIS ‘Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak direklamasi oleh PT Globalindo Alam Lestari (GAL) ialah luas lobang tambang 7,64 hektare dan luas lahan yang terbuka 10,97 hektare.
Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu. Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya inspektorat tambang, menteri lingkungan hidup untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka.
“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.
Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.
Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan di lokasi PT GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.
“Kami akan laporkan PT GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” katanya. (*)