SELAMA 20 tahun terakhir, para ahli pemasaran mulai menyadari bahwa cara mengiklankan produk yang hanya menonjolkan fitur tidak lagi begitu efektif. Pasalnya, banyak orang membeli sebuah produk karena alasan emosional, seperti senang dengan tokoh iklannya. (Kompas)
Proses pendidikan sebenarnya juga proses pemasaran, di mana sekolah/madrasah memasarkan sebuah produk pendidikan kepada siswa. Sekolah/madrasah ‘menjual jasa’ kepada siswa dan orang tua siswa. Bisa jadi sekolah akan berpromosi sesuai dengan visi sekolah: Sekolah Bermartabat, Teladan Dalam Perilaku, Unggul dalam Prestasi, Sekolah Beriman, dll.
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan (Muhidin, 200). Proses pembelajaran terjadi yang dilakukan oleh seorang guru, yang akan mendesain pembelajaran agar ‘dinikmati’ oleh para siswa.
Memang banyak yang bisa dilakukan guru untuk membuat siswa belajar: merencanakan pembelajaran secara matang dan terencana, menyiapkan secara fisik dan non fisik kelas di mana pembelajaran berlangsung, menyiapkan sarana dan media pembelajaran yang memadai dan menarik siswa, memilih metode, strategi yang paling mutakhir, paling ilmiah, memvariasi model pembelajaran luring dan daring, menilai secara objektif dan autentik, dan lain-lain.
Apakah semua itu cukup untuk membuat siswa ‘nyaman’ dalam belajar? Sarana dan prasarana, media, strategi, penilaian boleh ditentukan dan dipilih yang terbaik, termumpuni, termodern, tercanggih, terupdate, terkini, terautentik, tapi bila yang dipilih itu tidak bisa disampaikan, tidak bisa gunakan, tidak bisa implementasikan sesuai dengan potensi siswa, maka pilihan itu akan menjadi beban guru dan siswa.
Tidak apa-apa bagi sekolah/madrasah untuk memperhatikan tampilan guru dalam pembelajaran. Sebaik-sebaik program sekolah/madrasah, sesempurna tampilan fisik sekolah, semudah apa pun materi pembelajaran, secanggih media yang digunakan, bila guru tidak bisa mengontrol emosi dalam pembelajaran, bisa dipastikan siswa tidak ‘menikmati’ pembelajaran.
Coba bayangkan, dalam suasana pembelajaran yang mencekam dan menyakitkan hati, ucapan guru penuh caci maki tidak mungkin kreativitas siswa muncul. Hal ini malah menyebabkan kematian sikap kritis. Padahal, sikap ini merupakan cikal bakal kreativitas. Emosi merupakan basis paling mendasar dalam mengikuti pembelajaran.
Jadi, semudah apa pun materi pembelajaran, bila keterlibatan emosional siswa lemah, maka pembelajaran ini tidak memiliki nilai tambah. Hanya dengan hubungan emosional, ketertarikan siswa bisa mengikuti pembelajaran dengan semangat.
Jadi, bagaimana kita memanfaatkan emosi dalam melaksanakan proses pembelajaran dan memanfaat potensi siswa?
Pertama, berilah perhatian penuh pada apa yang dirasakan siswa ketika memberi menjelaskan materi pembelajaran, memberi instruksi, menanyakan perkembangan pembelajaran, atau menindaklanjuti tugas. Kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan dengan hal-hal yang lebih personal dan mendalam.
Kedua, sebuah penelitian menunjukkan bahwa mood itu menular. Tidak setiap saat guru itu senang, ada waktu, guru bisa mempunyai perasaan tidak enak (bad days). Namun, sebagai seorang guru, mood negatif yang dirasakan tidak boleh membebani siswa di kelas.
Ketidakpuasan guru terhadap kompetensi siswa perlu dikomunikasikan dengan penuh pertimbangan. Dengan begitu, tidak timbul kekecutan hati siswa yang dapat menyulitkan proses pembelajaran, dan mengganggu hubungan emosional guru dan siswa.
Ketiga, sikap guru juga perlu konsisten dan penuh optimisme. Respek adalah awal dari hubungan yang jujur dan efektif. Kita pun perlu menyebarkan optimisme agar semua siswa yakin, meskipun jalan proses pembelajaran begitu lama dan menguras energi siswa, dan pembelajaran tidak selamanya mulus.
Secara naluri, kita memiliki beberapa kecerdasan. Kecerdasan intelektual atau IQ selama ini sering dijadikan tolak ukur kesuksesan seseorang dalam pembelajaran. Ada juga SQ atau kecerdasan spiritual juga tidak kalah pentingnya. Selain kecerdasan, ada kecerdasan emosional atau EQ. Penelitian menjelaskan bahwa EQ berkontribusi 2 kali lebih penting dalam mempengaruhi kesuksesan dibandingkan IQ.
Mengapa kecerdasan emosional penting dalam pembelajaran? Ini dikarenakan EQ berperan paling depan dalam proses menghadapi kehidupan sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. Proses pembelajaran adalah proses berinteraksi dengan berbagai pihak. Tak adanya EQ, kita tidak akan bisa menjalankan hidup sebagai individu yang berinteraksi dengan lingkungan belajar.
Dengan memiliki EQ, guru dan siswa akan mampu menguasai 5 soft skill yang akan memperlancar, mempermudah dan mempermulus pelaksanaan pembelajaran: 1) self awareness: guru dan siswa mampu mengenali emosi, kemampuan, kekuatan, kelemahan dan batasan diri. Guru dan siswa memiliki kesadaran pada diri sendiri dan dengan mendengar, menerima, dan menjalankan kritik dari orang lain.
Kemudian, 2) Self Regulation: guru dan siswa mampu mengontrol emosi dan tindakan dengan baik sehingga tidak merugikan pihak lain. Guru dan siswa tahu kapan harus mengeluarkan emosinya; 3) motivation: guru dan siswa yang cerdas secara emosional adalah orang yang dapat memotivasi dirinya sendiri, tidak perlu menunggu dorongan dari pihak lain.
Selanjutnya, 4) empathy: membuat guru dan siswa memahami dan menumbuhkan silaturahmi dengan orang lain secara emosional dan peduli dan tulus dalam berhubungan dengan siapa pun; dan 5) social skill: skill bernegosiasi, keahlian membahagiakan pihak lain. Dengan memiliki social skill tinggi, Guru dan siswa dapat memiliki kemampuan berkomunikasi dan membangun relasi dengan baik. (Ahmad Surjadi Sumadiredja, 2014)
Memang harus sadari bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, dia ntaranya adalah kecerdasan emosional yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustrasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama. (Goleman, 2000 : 44)
Siswa yang pintar tanpa disertai dengan kecerdasan emosional akan mengakibatkan jiwa siswa menjadi kosong, mudah emosi, cepat bosan dalam pembelajaran. Akibatnya, siswa tidak serius, mengganggu temannya, yang lebih riskan, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang bagus, bersikap tidak jujur seperti menyontek pada saat ulangan maupun pada saat ujian.
Kepada stakeholder pendidikan, sudah waktunya memulai memperhatikan kecerdasan emosional guru dan siswa, kurangi perhatian pada perangkat administrasi guru. Ditunggu perhatiannya!
*Penulis adalah Pendidik di Madrasah
Discussion about this post