OPINI  

Mau Dibawa ke Mana Provinsi Jambi?

Noviardi Ferzi. (Ist)
Noviardi Ferzi. (Ist)

SUDAH MASUK tahun kedua masa pemerintahan Haris- Sani selaku Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jambi. Dalam hal memberi fondasi pembangunan, Gubernur bisa dikatakan gagal memberi landasan akselerasi program untuk tahun-tahun berikutnya.

Dikatakan gagal karena sampai hari ini kita tak melihat secara gamblang program dan kinerja yang menggambarkan, mau dibawa ke mana Provinsi Jambi. Hari per hari kita hanya melihat rutinitas birokrasi yang dipertontonkan ala pencitraan personal Gubernur, tanpa menyentuh hal paling esensial dari sebuah pembangunan daerah. Berupa kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan yang terjadi di Provinsi Jambi.

Dalam tahun pertama kepemimpinannya, angka kemiskinan Provinsi Jambi mengalami stagnasi atau tak mengalami perubahan. Artinya, jika yang miskin tetap miskin, sesungguhnya pembangunan sudah kehilangan esensinya dan inilah yang terjadi di Provinsi Jambi.

Secara fundamental ada tiga elemen inti pembangunan. Baik itu pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Elemen-elemen ini saling terkait dan semuanya amat penting untuk kesejahteraan diri individu dan masyarakat.

Pengentasan kemiskinan dalam semua bentuk dan dimensinya adalah sebuah persyaratan yang sangat diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, haruslah dilakukan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif dan adil yang menciptakan peluang yang lebih besar untuk semua, mengurangi ketidaksetaraan, meningkatkan standar kehidupan dasar, mendorong pembangunan dan inklusi sosial yang adil serta mendorong pengelolaan sumber daya alam dan ekosistem yang berkelanjutan dan terpadu. Jika merujuk hal ini, program Jambi Mantap tak menjanjikan apa- apa, kecuali cerita kecewa dan dugaan akan adanya sebuah kebohongan?

Awal Haris- Sani memerintah, situasi pandemi di akhir 2021 hingga 2022 telah terkendali. Secara anggaran, di tahun 2022 Gubernur Haris mengelola dana yang cukup besar mencapai Rp 4,79 triliun. Sayang situasi terkendalinya pandemi dan anggaran yang besar ini tak membuat angka kemiskinan berkurang. APBD selaku instrumen kekuasaan tak mampu mengurangi angka kemiskinan di Provinsi Jambi.

Rilis Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi kondisi Maret 2022, persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 7,62 persen, menurun 0,05 persen poin terhadap September 2021 dan menurun 0,47 persen poin terhadap Maret 2021.

Dari rilis yang dikeluarkan BPS Provinsi Jambi, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 279,37 ribu orang, menurun 490 orang terhadap September 2021.

Penurunan sebesar ini tentu saja tak sebanding dengan anggaran yang digelontorkan untuk memerangi kemiskinan. Masalahnya ada pada kinerja program dan anggaran. Secara program, Gubernur gagal merancang program yang mampu menjadi jaring pengaman kemiskinan, sehingga meski ada program ketepatan bentuk kegiatan dan sasaran tak mampu mendongkrak ekonomi masyarakat.

Situasi ini ditambah lagi masalah serapan anggaran dari program Dumisake yang belum mampu direalisasikan OPD. Akibatnya, soal kemiskinan ini Gubernur Jambi bisa dikatakan tak memiliki fokus yang jelas baik secara program dan anggaran. Program yang ada terlalu dangkal, padahal soal kemiskinan berada jauh di dasar. Walhasil, kita sama-sama tak tahu mau ke mana pembangunan Jambi saat ini.

Selain masalah kemiskinan, kita juga belum melihat fokus Gubernur Haris dalam membangun infrastruktur yang terkoneksi dari desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten kota, provinsi hingga regional. Hal ini penting agar dari hasil pertanian, nelayan dapat menjangkau pasar baik pasar lokal tingkat provinsi maupun regional. Dibutuhkan sinergitas kabupaten kota dan provinsi.

Hari ini Gubernur lebih sering melihat pembangunan sebagai benda fisik (physical artifact) ketimbang sebagai keberdayaan sosial ekonomi warga untuk tumbuh berkembang berdaya saing.

Padahal di Provinsi Jambi masih ditemukan kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga demensi. Sehingga APBD Provinsi Jambi belum sepenuhnya mampu mengendalikan wujud pembangunan antar kabupaten kota, serta mampu memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang yang akomodatif terhadap fenomena urban, baik situasi dan kondisi masyarakat yang ada.

Soal ekonomi misalnya, meski Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Provinsi Jambi tren meningkat. Namun tidak berdampak pada kestabilan serta kesejahteraan masyarakat. Pada khususnya masyarakat eknomi menengah ke bawah.

LPE Provinsi Jambi memperlihatkan dimana ekonomi Jambi dikelola secara autopilot. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bertambah akibat meningkatnya jumlah penduduk yang searah dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Dengan PDRB Rp 233 triliun (2021) dan jumlah penduduk 3.5 juta jiwa, pendapatan per kapita Provinsi Jambi mencapai Rp 56, 24 juta.

Kita bandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDRB) Kepulauan Riau sebesar Rp 249,08 triliun dengan jumlah penduduk 2,14 juta jiwa. Artinya PDRB per kapita provinsi dengan ibu kota Tanjung Pinang tersebut sebesar Rp 116,58 juta per kapita.

Dengan melihat pembangunan Provinsi Jambi dari segi tata ruang, kualitas SDM, dan pertumbuhan ekonomi muncul pertanyaan, Mau dibawa ke mana arah pembangunan Provinsi Jambi?

Jangan sampai Provinsi Jambi berubah menjadi Provinsi yang makin tertinggal, dengan kesemrawutan dan ketimpangan sosial yang ada. Dimana- mana masyarakat mulai gelisah dengan kondisi kebijakan dan program yang semakin tidak jelas arah pembanguannya. Harapan kita selaku masyarakat, pemerintah Provinsi Jambi segera mengevalusi total arah pembangunan. Jika tidak, Gubernur akan makin kehilangan orientasi apa yang mau dicari dari kekuasaannya.

*pengamat dan tinggal di Jambi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *