“Di bawah tekanan dari ratusan karyawan penggagas, Twitter mengusir Trump dari platformnya, Presiden AS yang sedang menjabat, walaupun mereka sendiri mengakui bahwa dia tidak melanggar aturan,” ujar Musk dalam sebuah cuitan, Selasa , 13 Desember 2022.
Pernyataan Musk tersebut mengutip suatu utas dari Founder The Free Press Bari Weiss. Weiss sendiri sejak sementara waktu kemudian membuat rangkaian utas wacana data-data tersembunyi yang bertajuk Twitter Files. Utas ihwal pemblokiran Trump ini ialah bab kelima.
Weiss lalu menuturkan kronologi pemblokiran akun laki-laki bernama lengkap Donald J. Trump (DJT) itu, yang dimulai pada 8 Januari 2021 ketika Trump melontarkan dua kicauan.
“75.000.000 Patriot Amerika hebat yang memilih aku, AMERICA FIRST, dan JADIKAN AMERIKA HEBAT LAGI, akan mempunyai SUARA RAKSASA jauh di periode depan. Mereka tidak akan dianggap remeh atau diperlakukan tidak adil dengan cara, bentuk, atau bentuk apa pun!!!” kicau Trump, pukul 06.46 waktu setempat.
Satu jam lalu, Trump melontarkan cuitan lain, adalah “Kepada semua yang telah bertanya, aku tidak akan pergi ke Peresmian pada 20 Januari.”
Konteksnya, saat itu Trump sudah dinyatakan kalah dalam Pemilihan Umum Presiden AS 2020 dari Joe Biden. Trump lantas menuding kecurangan pemilu dan menghasut pendukungnya via beberapa kicauan. Hasilnya, massa menggeruduk U.S Capitol (Gedung dewan perwakilan rakyat-nya Amerika) pada 6 Januari 2021.
Weiss mengungkap selama beberapa tahun Twitter bantu-membantu sudah menolak rekomendasi dari internal maupun eksternal untuk memblokir Trump.
Alasannya, memblokir pemimpin dunia dari platform atau meniadakan tweet kontroversial mereka akan menyembunyikan isu penting yang seharusnya dapat dilihat dan diperdebatkan orang.
“Misi kami ialah untuk menawarkan lembaga yang memungkinkan orang menerima isu dan melibatkan pemimpin mereka secara pribadi,” kata Twitter di lamannya pada 2019.
Mereka menambahkan, tujuan Twitter yakni untuk “melindungi hak publik untuk mendengar dari pemimpin mereka dan meminta pertanggungjawaban mereka.”
Sejak 6 Januari, tekanan untuk memblokir Trump dari Twitter ini berkembang, baik di dalam maupun di luar platform ini.
Meski demikian, ada juga yang tidak setuju pada pemblokiran tersebut di internal Twitter. “Mungkin alasannya adalah saya dari China. Saya sungguh mengerti bagaimana sensor dapat menghancurkan diskusi publik,” kata seorang karyawan Twitter pada 7 Januari.
Weiss menyampaikan bunyi-bunyi seperti itu merupakan minoritas yang berlainan di dalam perusahaan. Di seluruh kanal Slack, banyak karyawan Twitter yang kesal alasannya adalah Trump tidak diblokir sejak lama. Bahkan, sejumlah karyawan melaksanakan langkah terstruktur untuk mendesak pimpinan mereka memblokir Trump.
“Kita mesti melaksanakan hal yang benar dan memblokir akun ini,” kata seorang staf. “Cukup terang beliau akan mencoba menyulut hasutan tanpa melanggar aturan,” kata staf yang lain.
Pada sore hari 8 Januari, The Washington Post mempublikasikan surat terbuka yang ditandatangani oleh lebih dari 300 karyawan Twitter kepada CEO Jack Dorsey yang menuntut pemblokiran Trump.
“Kita mesti mengusut keterlibatan Twitter dalam terkait apa yang disebut Presiden Terpilih Biden selaku pemberontakan,” kata surat tersebut.
Namun, staf Twitter yang diperintahkan untuk memeriksa cuitan dengan cepat menyimpulkan bahwa Trump tidak melanggar kebijakan Twitter.
“Saya pikir kami akan kesusahan untuk menyebut ini yaitu hasutan,” kata salah satu staf.
“Cukup terperinci beliau mengatakan ‘Patriot Amerika’ adalah orang-orang yang menentukan beliau dan bukan teroris (kita bisa menyebutnya begitu, kan?) mulai hari Rabu,” tuturnya.