KKI Warsi mengatakan sepanjang 2022 kemudian setidaknya terdapat penurunan 27.447 hektare luas hutan di kawasan provinsi tersebut dari setahun sebelumnya. Tutupan luas hutan di Sumbar pada 2022 ialah 1.717.102 hektare atau 41 persen dari total luas wilayah provinsi itu.
Padahal berdasarkan SK.8089/MENLHK¬PKTL/KUH/PLA.2/11/2018 dari kawasan Sumbar seluas total 4,2 juta hektare, yang ditetapkan selaku tempat hutan lebih dari separuhnya adalah 2,28 juta (54,43 persen).
Mereka menyatakan data tutupan hutan pada 2022 tersebut dikaji berdasarkan analisis Citra Sentinel II yang dilaksanakan tim Geographic Information System KKIWarsi.
“Kehilangan hutan di Sumbar sebanyak 27 ribuan Ha itu, paling banyak terjadi di Kabupaten Pasaman. Penurunan luasnya tutupan hutan itu terjadi akibat acara berizin dan yang tidak berizin,” kata Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf, Rabu (4/1).
Rudi mengatakan sejumlah aktivitas insan menjadi penyebab berkurangnya tutupan hutan di Sumbar seperti pertambangan emas ilegal dan pembalakan liar.
Dalam data yang dirilis KKI Warsi pada catatan simpulan tahun 2022, pertambangan emas tanpa izin atau ilegal di Sumbar terdapat di empat kawasan yakni Kabupaten Dharmasraya seluas 2.179 hektare, Solok 1.330 hektare, Solok Selatan 2.939 hektare, dan Sijunjung 1.174 hektare.
Pihaknya melihat pertambangan emas ilegal umumnya didapatkan di sungai utama atau pun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL), hutan bikinan, dan hutan lindung.
Penambangan emas ilegal tersebut, tuturnya, menjadikan kerusakan hutan dan lingkungan serta timbulnya peristiwa longsor di sekeliling kawasan tambang.
Menurut pihaknya perlu adanya akad yang kuat untuk mengatasi langkah-langkah ilegal yang mengakibatkan kehilangan tutupan hutan.
Pasalnya pengurangan tutupan hutan itu terus terjadi setiap tahun. Berdasarkan catatan KKI Warsi, tutupan hutan di Sumbar di tutup buku 2021 adalah 1.744.549 hektare. Kemudian menurun pada 2022 jadi 1.717.102 hektare.
Rudi mengatakan tugas bersama semua pihak ke depannya ialah menahan laju deforestasi, kenaikan acara pemulihan hutan, kenaikan kapasitas dan keterampilan penduduk penjaga hutan dan penggunaan alat pengendali acara ilegal dalam hutan.
Potensi sumber daya alam
Sementara itu, Wakil Direktur KKI Warsi, Rainal Daus, menyebut pengembangan ekonomi kawasan pun sebetulnya bisa berlangsung tanpa menghancurkan hutan.
“Hutan merupakan kesempatanyang sumber daya alam yang mampu bernilai ekonomi tinggi,” ujarnya.
Ia mencontohkan yaitu melalui imbal jasa karbon di hutan alam, penggalangan dana melalui program adopsi pohon, ekowisata, imbal jasa air, pengembangan komoditas agroforest, produk kompos, dan madu.
Pengembangan potensi itu, tuturnya, akan mendukung kehidupan masyarakat nagari [desa etika] yang lekat dengan hutan di Sumbar.
Berdasarkan data BPS pada 2020 terdapat 950 nagari yang berada dalam daerah hutan. Rinciannya yakni 365 nagari berada di hutan konservasi, 305 nagari di hutan lindung, dan 280 nagari di hutan bikinan.
“Artinya, penduduk Sumbar tidak lepas dari hutan, dan menggantungkan hidup pada hutan,” kata Rainal.
Tutupan hutan yang bernilai ekonomi
Rainal menyampaikan perlu pula pergantian persepsi di masyarakat. Jika selama ini masyarakat melihat hutan untuk dijadikan kebun, mampu disesuaikan berganti ke pengelolaan hutan secara terbaru lewat pengembangan imbal jasa lingkungan (Payment for ecosystem services/PES).
“Menjaga tutupan hutan juga bernilai ekonomi. Seperti contohnya yang dinikmati oleh masyarakat di lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi,” ucapnya.
Bujang Raba terdaftar ke dalam pasar karbon sukarela melalui bagan Plan Vivo. Dari perkiraan KKI Warsi pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton C/hektare atau 1,052 ton CO2 e/hektare.
“Melalui denah ini penduduk mendapatkan dana yang difungsikan membiayai aktivitas sosial mirip khitanan, menjadi santunan pribadi tunai (BLT) dikala pandemi, dan membiayai acara tunjangan dan penjagaan hutan,” sebut Rudi.