Sebelumnya, pemeliharaan buoy yang bernama resmi Ina Buoy mandek karena ketiadaan anggaran. Cekaknya anggaran itu pula yang menyebabkan program Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina Tews) tidak berjalan.
Hal tersebut antara lain bisa dilihat dari kosongnya kantor Indonesia Tsunami Observation Center (InaTOC) yang menjadi pusat pemantauan data dari buoy dan fasilitas pemantau lainnya.
Sebelumnya, sumber peneliti Teknik Kelautan BRIN menyebut, dari 10 buoy yang ditempatkan, hanya buoy di Bengkulu yang masih beroperasi.
Namun demikian, Dsrizal mengatakan BRIN tetap memantau buoy tersebut. “Bukan dihentikan, kegiatan tetap dipantau,” kata Dsrizal di kantor BRIN, Kamis , 3 Februari 2023.
Dsrizal mengatakan, BRIN sedang mempertimbangkan mengaplikasikan teknologi lain untuk mendeteksi tsunami. Pasalnya, teknologi buoy yang ada saat ini dipandang tidak efisien.
Selain itu, pengaplikasian buoy juga “masih dalam tahap riset”. Alhasil, pengaplikasian buoy masih bisa diubah.
“Itu masih dalam tahap riset. Kemudian tahu lah ya, buoy di tengah laut. Potensi entah itu hilang atau apa, akses pemeliharaan ke sana jauh. Butuh biaya yang tinggi,” kata Dsrizal.
Saat ini, kata Dsrizal, BRIN telah melakukan riset lain untuk teknologi selain buoy. Namun ia tidak bisa merinci riset seperti apa yang tengah dilakukan.
“Mumpung masih riset, kita coba juga melakukan riset terkait dengan kebencanaan itu untuk menghasilkan suatu teknologi canggih, bagus dan operasionalnya murah. Nanti detailnya, kita panggil teman kita (peneliti BRIN, red)” kata Dsrizal.
“Yang buoy masih kita pantau. Kita lihat baru saja ada penggantian baterai,” katanya.
Di sisi lain, ketidakpedulian BRIN terhadap buoy sempat membuat Wahyu prihatin. Pasalnya, aset yang ada di InaTews termasuk buoy tergolong besar.
“Ya prihatin saja bahwa aset yang sudah demikian besar tidak berlanjut. Kalaupun berlanjut dengan dana yang minim tidak cukup untuk menjalankan EWS. Tapi kita berupaya gimana lagi, kita tunggu,” katanya.