Di INDONESIA peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketenagakerjaan adalah Undang Undang Nomor 06 tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Dalam undang-undang tersebut terdiri dari 11 klaster termasuk salah satunya Ketenagakerjaan. Hadirnya Undang-undang tersebut seyogyanya sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah sebagaimana tertuang dalam pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Sebelumnya Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah mengatur terkait perlindungan hak dan kewajiban para pekerja dan pengusaha, seperti hak untuk mendapatkan upah, hak untuk pekerjaan yang layak, perlindungan kerja, cuti, pesangon dan sebagainya.
Sejak munculnya undang-undang Omnibuslaw/Ciptakerja pada 2019 yang di dalamnya juga memperbaharui Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah menuai kritik dari berbagai kalangan, baik dari praktisi, akademisi, mahasiswa dan serikat buruh/pekerja karena dianggap merugikan buruh/pekerja.
Lantas, bagaimana politik hukum tentang pengaturan Ketenagakerjaan dalam UU Nomor 06 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja? Menurut Satjipto Rahardjo dalam buku Ilmu Hukum mendefinisikan bahwa politik hukum adalah aktivitas untuk memilih tujuan sosial tertentu.
Politik adalah bidang yang berhubungan dengan tujuan dari masyarakat. Dengan kata lain kebijakan pemerintah harus berorientasi pada masyarakat.
Begitu juga dengan kebijakan pemerintah dalam pembentukan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 06 tahun 2023 dengan metode Omnibus Law yang digunakan untuk menggabungkan serangkaian peraturan perundang-undangan.
Dengan tujuan penyederhanaan dari beberapa peraturan perundang-undangan yang sifatnya merevisi/mengubah, mencabut sekaligus guna untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan investasi justru berbanding terbalik dengan harapan pemerintah.
Sejak munculnya konsep Omnibus Law pada tahun 2019 telah menuai banyak kritikan dan penolakan di tengah masyarakat dengan berbagai aksi unjuk rasa di berbagai kota se-Indonesia serta telah dua kali digugat oleh serikat buruh/pekerja ke Mahkamah Konstitusi hingga pada akhirnya diundangkan menjadi Undang-undang Cipta Kerja Nomor 06 tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan.
Serikat pekerja/buruh menilai bahwa pemerintah lebih berpihak pada investor/pengusaha tanpa mempertimbangkan azas kepastian, keadilan dan kemanfaatan dari sebuah peraturan perundang-undangan yang dibuat.
Beberapa alasan penolakan kebijakan tersebut seperti, tidak adanya transparansi/keterbukaan wakil rakyat dalam membuat regulasi.
Sehingga berdampak pada lemahnya proses dan prosedur pembahasan aturan, substansi yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 13 tahun 2003 yang seyogyanya harus diperbaiki oleh pemerintah justru terdegradasi.
Seperti ketentuan upah minimum Sektoral, tenaga alih daya diperluas, lembur, pesangon, tenaga kerja asing, cuti, harusnya diperbaiki melalui peraturan yang baru, bukan malah mendegradasi substansi hukum yang lama.
Secara prosedural, pemerintah terkesan tergesa-gesa untuk mensahkan UU Omnibus Law Ciptakerja pada saat pandemi Covid-19 melanda.
Dari pemaparan diatas, penulis berpendapat bahwa politik hukum yang diterapkan oleh pemerintah adalah politik hukum otoriter yang menempatkan pemerintah lebih dominan dalam menentukan dan mengimplementasikan kebijakan negara, tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat.
Seyogyanya, pemerintah dalam menentukan sebuah kebijakan perlu melihat dan mempertimbangkan interaksi hukum dengan sosial masyarakat sebagai legitimasi dari aturan tersebut, karena sejatinya politik hukum itu adalah kebijakan pemerintah yang harus berorientasi pada masyarakat.
*Penulis merupakan mahasiswa program Pasca Sarjana Universitas Jambi
Discussion about this post