DETAIL.ID, Medan – Menjelang akhir jabatannya yang tinggal hitungan bulan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai justru terus menambah beban masyarakat melalui sejumlah kebijakan yang tidak populis.
“Sejumlah kebijakan yang tidak populis diambil Presiden Jokowi menjelang berakhirnya masa jabatannya pada bulan Oktober mendatang,” kata pengamat ekonomi asal Kota Medan, Gunawan Benjamin, kepada detail.id, Senin, 3 Juni 2024.
Pengajar di sejumlah kampus ternama di ibukota Sumut ini mencontohkan kewajiban iuran Tapera atau tabungan perumahan rakyat melalui potongan gaji para pekerja.
Ia bilang, tentunya akan mengurangi disposal income atau pendapatan masyarakat dari berbagai sumber, termasuk gaji dan pendapatan lainnya, terkhusus di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Disposal income yang turun akan menambah tekanan pada daya beli masyarakat. Potongan gaji dari Tapera ini akan menambah potongan gaji lainnya setelah Pph, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Gunawan.
Secara pribadi ia menilai iuran Tapera bagus, tapi dilaksanakan pada waktu yang tidak tepat, yaitu saat daya beli masyarakat terbebani oleh inflasi pangan.
Karena itu, kata dia, wajar saja kalau menimbulkan resistensi atau penolakan dari masyarakat, khususnya para pekerja.
“Dan saya mengharapkan agar pemerintah mempertimbangkan matang-matang untuk eksekusi kebijakan iuran Tapera tersebut dalam waktu dekat,” ujarnya.
Gunawan merinci, iuran Tapera sebesar 3 persen , terdiri dari 2.5 persen potongan upah pekerja dan 0.5 persen dari kewajiban perusahaan, memiliki dampak yang besar.
Terlebih, kata dia, jika membandingkannya dengan kenaikan upah minimun kota (UMK) di sejumlah wilayah di Tanah Air, termasuk di daerah yang UMK-nya naik kurang dari 3 persen di tahun 2024.
“Dengan demikian iuran Tapera akan menggerus kenaikan upah yang seharusnya dinikmati oleh para pekerja,” ucap Gunawan.
Ia bilang, situasi kian berat manakala inflasi volatile food atau komponen pangan yang rawan gejolak justru bertahan tinggi.
“Dan realisasi inflasi ini berbeda setiap wilayah, namun inflasi volatile food yang terealisasi saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi umum secara nasional,” kata dia.
“Bayangkan saja inflasi volatile food saat ini berada di level 6.18% pada bulan Mei 2024 secara tahunan atau year on year (YoY). Sementara inflasi secara keseluruhan secara YoY sebesar 2.84% di Indonesia,” tutur Gunawan.
Situasi itu, kata dia, membuat disposal income yang diterima oleh masyarakat masih akan terbebani dengan sejumlah pengeluaran yang besar untuk kebutuhan pangan.
Gunawan heran dengan sikap Pemerintahan Jokowi yang belakangan ini selalu mengeluarkan kebijakan yang tidak populis, seperti menaikkan PPN, Tapera dan sejumlah isu yang berkembang lainnya seperti kemungkinan pembatasan distribusi BBM bersubsidi.
Belum lagi isu lainnya seperti kenaikan biaya pendidikan tinggi (UKT), rencana penyaluran gas elpiji 3 Kg menggunakan KTP sudah cukup membuat polemik di tengah masyarakat.
“Ditambah lagi masyarakat juga harus bertahan dari tekanan kenaikan harga pangan yang menjulang akhir-akhir ini,” kata Gunawan Benjamin.
Reporter: Heno