OPINI
Perubahan atau Manipulasi? Isu Perubahan dalam Kampanye Mantan Pecandu Narkoba

PERUBAHAN sejati seringkali dimulai dari diri sendiri, terutama dari mindset atau pola pikir kita. Mindset adalah cara kita memandang dan merespons dunia di sekitar dari pola pikir inilah lahir keyakinan, kebiasaan, dan tindakan yang akhirnya membentuk hidup kita. Ketika seseorang mengubah mindset atau cara berpikirnya, mereka membuka pintu untuk perubahan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Namun, dalam konteks sosial, perubahan tidak selalu diterima dengan mudah, terutama bagi individu dengan masa lalu yang sulit, seperti mantan pecandu narkoba yang mencalonkan diri dalam jabatan publik. Stigma sosial dan keraguan masyarakat seringkali menjadi hambatan utama yang harus dihadapi.
Karena itu, ketika berbicara tentang perubahan, tidak hanya sekadar pergeseran pola pikir individu yang perlu diperhatikan, tetapi juga bagaimana perubahan ini berdampak dalam konteks sosial yang lebih luas. Baik pada aspek sosial, politik, maupun teknologi. Perubahan dapat berlangsung secara evolusioner (berjalan lambat dan bertahap) atau revolusioner (berlangsung cepat dan drastis).
Dalam konteks ini, ketika gagasan perubahan diangkat sebagai tema oleh seorang mantan pecandu narkoba yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, tantangan-tantangan unik mulai muncul. Tak hanya tentang perubahan pribadi, namun juga tentang bagaimana publik merespons visi perubahan tersebut di tengah stigma dan keraguan yang kerap menyertainya. Selain itu, muncul pula kekhawatiran terkait hubungan calon dengan lingkaran atau lingkungan lama yang membawa pengaruh negatif. Hal ini memunculkan keraguan publik tentang apakah calon tersebut mampu menjaga komitmen pada visi perubahan yang bersih dan sehat, atau bahkan dapat terjerumus kembali pada masa lalu yang suram.
Persepsi-persepsi ini muncul karena masyarakat cenderung skeptis terhadap niat di balik penggunaan tema ‘perubahan,’ terlebih ketika tema ini diangkat oleh seorang mantan pecandu narkoba dalam kampanye politik. Realitas di lapangan sering kali tidak mencerminkan klaim perubahan yang digaungkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa ketimpangan kesejahteraan masyarakat masih cukup signifikan, mencerminkan adanya tantangan mendasar yang belum teratasi. Hal ini memperkuat keraguan publik terhadap sejauh mana komitmen perubahan tersebut mampu terwujud secara nyata dan berkelanjutan.
Laporan BPS Tanjungjabung Timur tahun 2021 menunjukkan peningkatan kemiskinan hingga 11,39%, serta prevalensi stunting di kabupaten tersebut yang mencapai 25,6% pada 2021 dan, meski sempat menurun, kembali meningkat menjadi 23,7% pada 2023. Selain itu, lambatnya perbaikan infrastruktur seperti jalan rusak di Simbur Naik dan Kecamatan Sadu menambah ketidakpuasan warga. Pembangunan justru berfokus pada proyek yang tidak mendesak, sementara kebutuhan dasar warga belum terpenuhi (Sumber: Warga Pertanyakan Prestasi Romi di Tanjabtim, Selain Jalan Rusak paalmerah.com, 21 Mei 2024). Laporan BPK RI mengungkap kelemahan dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dengan sejumlah temuan senilai Rp 24,3 miliar, termasuk kesalahan penganggaran, pelanggaran pengelolaan pendapatan, dan ketidakpatuhan regulasi di beberapa dinas terkait (Klik tautan berikut: psikoday.id).
Temuan-temuan ini tidak hanya menyoroti kelemahan dalam pengelolaan keuangan daerah, tetapi juga mencerminkan dampak nyata terhadap infrastruktur yang semestinya menjadi prioritas. Kondisi infrastruktur yang terabaikan serta prioritas pembangunan yang dinilai kurang tepat ini semakin memperkuat pertanyaan masyarakat terkait efektivitas kepemimpinan Romi Hariyanto. Pertanyaannya adalah, setelah menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Timur selama tiga periode, ditambah dengan dua periode sebagai Bupati, program-program apa yang telah ia buat dan diimplementasikan untuk rakyat yang diakui di tingkat provinsi bahkan nasional?
Penggunaan tema “perubahan” oleh mantan pecandu bisa dianggap sebagai taktik manipulatif, berusaha memanfaatkan simpati publik dengan cara mengemas masa lalunya sebagai kisah inspiratif. Namun, publik kerap meragukan apakah benar-benar ada perubahan mendasar pada diri kandidat tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah narasi perubahan ini hanyalah alat politik untuk mencapai kekuasaan, bukan refleksi dari transformasi pribadi yang nyata. Selain itu, tema perubahan ini dinilai dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu penting yang lebih substansial. Masyarakat menilai bahwa fokusnya justru melenceng dari tanggung jawab utama, yakni menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih mendesak di wilayahnya, seperti infrastuktur, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.
Di samping itu, apabila terpilih, masa lalunya berisiko menimbulkan stigma negatif bagi citra pemerintahan daerah, terutama jika daerah tersebut sedang berjuang keras melawan permasalahan narkoba. Kehadiran seorang pemimpin dengan latar belakang seperti ini dapat menimbulkan reaksi negatif dari berbagai pihak, seperti investor, mitra kerja, dan masyarakat luas yang mengharapkan pemimpin dengan rekam jejak bersih dan kredibilitas yang tinggi.
Para ahli di bidang ilmu politik dan kebijakan publik juga mengakui bahwa seorang mantan pecandu yang mencalonkan diri untuk jabatan publik dapat mempengaruhi persepsi tentang kredibilitas dan konsistensi kebijakan, terutama di daerah dengan masalah narkoba signifikan. Publik umumnya mengutamakan bukti nyata yang mendukung perubahan tersebut. Keraguan juga muncul bahwa mantan pecandu mungkin masih rentan dipengaruhi lingkungan lamanya, yang dapat mengganggu ketegasannya dalam menghadapi peredaran narkoba.
Dalam perspektif kebijakan publik, keberadaan mantan pecandu di posisi kepala daerah juga menimbulkan pertanyaan terkait objektivitas dalam pelaksanaan kebijakan antinarkoba. Para ahli hukum dan kebijakan mengingatkan bahwa pemimpin dengan latar belakang narkoba mungkin akan sulit dianggap sepenuhnya objektif. Kekhawatiran ini mencakup kemungkinan bahwa ia akan bersikap permisif terhadap kelompok-kelompok tertentu atau bahkan bisa terhubung kembali dengan lingkungan negatif.
Para ahli komunikasi politik turut mengkritisi narasi “perubahan” yang diusung mantan pecandu, yang terkadang dianggap sebagai alat untuk mendapatkan simpati publik tanpa komitmen yang tulus. Mereka mengingatkan bahwa kepercayaan publik adalah hal yang sangat penting, dan bahwa pemimpin dengan masa lalu kelam harus menunjukkan bukti konkret dari perubahan positif yang telah ia capai sebelum berharap untuk memimpin.
Secara keseluruhan, pandangan kritis para ahli ini menekankan bahwa meskipun individu bisa berubah, latar belakang kecanduan sering kali menimbulkan keraguan yang sangat kuat terkait komitmen, stabilitas emosional, dan integritas seorang pemimpin publik. Pandangan ini juga memperingatkan bahwa kepercayaan publik adalah hal yang sangat penting, dan pemimpin yang memiliki sejarah kelam harus bisa menunjukkan bukti kuat dari perubahan positif yang nyata sebelum berharap untuk menduduki posisi yang menuntut integritas tinggi dan komitmen pada kepentingan masyarakat luas. Pandangan kritis ini mengingatkan bahwa masyarakat lebih menghargai bukti nyata daripada sekadar retorika atau omon-omon timses, tim hore dan pengamat tukang.
Dengan demikian, keputusan dalam memilih pemimpin adalah keputusan besar yang tidak hanya mempengaruhi masa kini, tetapi juga masa depan. Oleh karena itu, memilih pemimpin yang memiliki stabilitas emosional, integritas, dan komitmen pada kepentingan masyarakat sangat penting untuk membangun daerah yang lebih baik dan lebih bersih dari pengaruh negatif, terutama narkoba.
“Akademisi UIN STS Jambi


SETIAP tahun, suasana Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu dirayakan dengan gegap gempita di berbagai daerah. Namun, ada ironi besar di balik semua itu. Semangat merayakan hari lahir Rasulullah sering kali hanya berhenti pada simbol, tidak menembus ke substansi.
Rasulullah SAW bukanlah figur yang gemar pada kemewahan perayaan. Beliau diutus membawa risalah kebenaran, menegakkan amanah, kejujuran, dan keadilan. Yang beliau wariskan bukanlah seremonial kosong, melainkan teladan akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman para pemimpin umat, termasuk pemimpin daerah kita.
Padahal, inti dari peringatan Maulid bukanlah sekadar mendengar ceramah atau memajang baliho besar gambar Kepala Daerah di masjid. Inti Maulid adalah meneguhkan kembali teladan Rasulullah:
1. Amanah dalam kepemimpinan;
Rasulullah menunjukkan bahwa jabatan adalah titipan, bukan alat memperkaya diri atau keluarga. Kepala daerah hari ini mestinya meneladani itu, memastikan setiap rupiah APBD digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperbesar rekening pribadi.
2. Kejujuran dalam setiap kebijakan;
Rasulullah tidak pernah berbohong meski dalam perkara kecil. Pemimpin seharusnya berani berkata jujur pada rakyat: tentang kondisi keuangan daerah, tentang keterbatasan, bahkan tentang kegagalan. Bukan malah menutup-nutupi dengan angka manipulatif demi pencitraan.
3. Kesederhanaan hidup;
Rasulullah hidup sederhana, bahkan ketika memiliki peluang untuk kaya raya. Sedangkan para kepala daerah kita sering kali larut dalam gaya hidup mewah: mobil dinas berderet, perjalanan dinas berulang, pesta perayaan digelar besar-besaran, sementara rakyat kecil masih kesulitan biaya pendidikan dan kesehatan.
Jika para kepala daerah benar-benar ingin menjadikan Maulid sebagai momen penting, seharusnya mereka tidak hanya sibuk di atas panggung, tapi juga menjadikan amanah dan kejujuran sebagai kompas kepemimpinan sehari-hari. Tidak ada artinya mengeluarkan kata-kata manis tentang Rasulullah jika kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat.
Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang paling dicintai rakyat karena keadilannya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyat karena kezalimannya.
Pertanyaannya: apakah kepala daerah hari ini sudah berada di jalan yang benar? Ataukah mereka hanya menumpang nama Rasulullah untuk memperindah citra di depan rakyat?
Maulid seharusnya menjadi alarm moral: jangan sibuk dengan perayaan tapi lalai dari keteladanan.
Jadikanlah Rasulullah sebagai teladan dalam kejujuran, jadilah pemimpin yang Al-Amin bukan yang Al-Korup. Sebab, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah panggung megah dan sambutan panjang, melainkan pemimpin yang benar-benar meneladani sifat Al-Amin, Amanah, Jujur, dan Adil.
*Pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi

FENOMENA Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti), bukanlah terjadi baru-baru ini saja. Sejak transmigrasi masuk, sudah banyak bekas galian PETI di sepanjang lokasi yang dijadikan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Renah Pamenang, Pamenang Selatan misalnya, bekas galian para warga yang mencari butiran emas bisa disaksikan secara kasat mata. Hanya saja cara mereka awalnya hanya mengunakan dulang atau alat tradisional yang digunakan untuk memisahkan butiran pasir dan buliran emas, cara mereka menggalinya pun mengunakan alat sederhana seperti linggis.
Namun memasuki tahun 2010, aktivitas PETI berubah total, dari yang awalnya tradisional, berubah mengunakan mesin dan merambah mengunakan alat berat sampai sekarang.
Tapi diakui atau tidak, di Provinsi Jambi, aktivitas peti khususnya di Jambi Wilayah Barat, seperti Tebo, Muara Bungo, Merangin, dan Sarolangun aktivitas PETI terus terjadi, namun pola-pola yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan emas dilakukan dengan tiga cara, seperti dompeng darat, lanting, dan menggunakan box
Dompeng darat, biasanya oknum masyarakat mencari emas menggunakan alat berat dengan cara mengali tanah dengan kedalam tertentu, dibantu dua mesin penyedot air dan mesin penyedot batu dan mampu menampung sampai delapan tenaga kerja, dengan kelebihannya setelah ditambang bisa direklamasi ulang dan bisa ditanami kembali.
Berbeda dengan dompeng lanting, biasanya masyarakat mengunakan rakit buatan yang dilakukan di dalam sungai, dengan cara menyedot batu dan pasir di dalam sungai dengan dua mesin yang biasanya dilakukan oleh tiga tenaga kerja, Terkadang pasir yang disedot dimasukan kembali ke sungai sehingga membuat aliran sungai menjadi dangkal.
Lain halnya PETI menggunakan alat berat yang bekerja, mengambil pasir dan batu menggunakan baket alat berat kemudian dimasukan dalam alat box, dan biasanya ada dua sampai tiga pekerja yang melakukan pekerjaan secara terus menerus di bantaran aliran sungai sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah dan susah untuk direklamasi ulang.
Tentu ada hal yang menarik dari tiga katagori PETI yang sering dilakukan oleh warga, Bagaimana pengunaan merkuri atau logam berat. Dari pantauan penulis, masyarakat yang beraktivitas PETI rata-rata mengunakan logam berat untuk memisahkan emas dari pasir hitam dengan cara memasukan ke dalam ember, kemudian diaduk di satu tempat agar logam berat tidak terbuang lalu di peras mengunakan kain tipis untuk memisahkan emas dan logam berat, atau bagi masyarakat pendompeng mengenalnya dengan istilah “ngepok”, setelah terpisah air tak tadi dimasukan ke dalam botol untuk bisa dipergunakan lagi.
Lalu kemana para pemain petugas menjual hasilnya? Banyak di sejumlah tempat yang biasa menampung hasil PETI, ada pemilik modal yang bekerja sama dengan cara main “DO”, dengan sistem pembelian yang berbeda dengan harga toko emas, dan ada juga yang langsung menjual lepas ke penadah emas dengan harga yang lebih tinggi di banding pemilik “DO”. Tak perlu harus menelisik toko emas mana yang menjadi langganan pelaku PETI menjual hasilnya dan “aman dari pengamatan petugas” dan sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Merangin.
Dari sisi ekonomi, bagi sebagian masyarakat, kerja di Penambangan Emas Tanpa Izin tentu sangat menjanjikan, sebab banyak masyarakat yang tertolong dari pinjaman pinjol, tagihan angsuran bank, angsuran kredit motor dan biaya anak sekolah, belum lagi bagi oknum NGO, oknum organisasi profesi, institusi tertentu, yang sering mendapatkan rezeki dari para pemilik mesin dompeng, walaupun hanya sekedar berbasa-basi dengan pemilik PETI.
Lalu bagaimana PETI yang sudah terjadi puluhan tahun tetap berlangsung sampai saat ini? Meskipun sudah banyak pekerja PETI yang tertangkap dan dipenjara, apakah ada efek jera?
Bagi sebagian kecil pekerja pasti dapat efek jera, sebab hanya pekerja saja yang jadi tumbal dan jarang pemilik dan pemodal PETI yang tertangkap. Namun fakta di lapangan bisa dilihat hari ini dirazia aparat keamanan berhenti bekerja, besok pasti sudah bekerja lagi demi tuntutan kebutuhan perut.
Terkadang ada juga faktor x yang berpengaruh, agar saat razia terkesan ada hasil, di lokasi tertentu para pemilik alat berat dan dompeng bisa berkoordinasi dengan baik dengan para oknum, maka sudah pasti akan selamat, tetapi jika di satu wilayah para pemain alat berat dan pemilik dompeng di anggap “pelit”, dan sering masuk pemberitaan bisa dipastikan bakal ada yang kena, dan ini fakta yang terus menerus terjadi.
Mari kita lihat bagaimana peran penting PETI yang dicaci tetapi membawa rezeki. PETI tidaklah akan berjalan sampai hari ini jika bahan bakar distop dari hulunya, tetapi ada fakta lainnya yang tidak bisa dipisahkan, ibarat PETI adalah gula manis, tentu banyak jenis semut yang mendekati untuk mendapatkan rasa manisnya.
Siapa yang berani menjual bahan bakar PETI seperti solar subsidi dalam jumlah besar jika bukan ada oknum aparat keamanan yang bermain? Pemandangan antrian solar subsidi pasti mengular di sejumlah SPBU di Merangin yang menyediakan bio solar, banyak cara dilakukan dengan mengisi berkali kali dengan nomor barcode yang berbeda beda, lalu hasil antrian solar sudah pasti sudah ada pembeli yang dijual ke lokasi PETI. Lalu kenapa PETI bisa sebagian aman saat dirazia dan sudah bocor duluan saat didatangi ke lokasi, sudah bisa diduga ada oknum aparat keamanan yang pasti ikut mendapatkan bagian dari kegiatan ilegal tersebut, dan bahasa sederhananya adalah mendapatkan “bulanan” per alat berat di setiap wilayah di Merangin pasti berbeda beda nominalnya.
Lalu ada peran Pemerintah Daerah yang tidak mau kehilangan cara, dengan menerbitkan surat edaran Kepala Daerah yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan kecamatan hingga level desa untuk tidak terlibat PETI, apalagi Kades merupakan pemangku adat di desanya.
Situasi ini tentunya mudah disampaikan tapi sulit dikerjakan. sebagian besar masyarakat di Merangin sudah puluhan tahun banyak yang bekerja dan menggantungkan hidup di sektor “per-PETI-an” , dan saat pemerintah menghimbau tidak melakukan aktivitas PETI tetapi sayangnya edaran tersebut tidak disertai solusi konkrit yang bisa dikerjakan masyarakat agar bisa beralih ke pekerjaan lainnya selain kerja PETI.
Jikalau mau dan serius dalam memberantas PETI, Pemerintah Daerah wajib membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kerja sama dan secara serius mencarikan solusi agar masyarakat bisa mendapatkan pilihan pekerjaan selain PETI, dan berani tegas untuk menindak semua oknum aparat keamanan yang berani menjual BBM kepada para pelaku PETI, tidak menerima uang bulanan, dan sama-sama mengawal kebijakan soal wilayah pertambangan rakyat, bagaimana izin pertambangan rakyat bisa didapatkan, sehingga tidak ada lagi cara-cara ilegal untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup masyarakat banyak.
Seperti kaga pepatah, jika air keruh di hilir tengoklah dari hulunya.
Salam santun.
*Penulis adalah wartawan DETAIL.ID yang tinggal di Kabupaten Merangin.
OPINI
Pembangunan Stockpile Batu Bara dan Penolakan Warga: Ujian Serius Bagi Pemerintah
Oleh: Eko Saputra S. Lumban Gaol, SH*

PEMBANGUNAN stockpile batu bara di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, telah memicu gelombang penolakan besar. Warga menilai proyek ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak hidup mereka.
Provinsi Jambi selama ini menjadi salah satu lumbung batu bara nasional. Namun, di balik sumbangan devisa, masyarakat justru menanggung dampak: jalan rusak akibat truk over tonase, kemacetan kronis, polusi udara yang memicu penyakit, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berujung korban jiwa. Terakhir, pembangunan stockpile batu bara di tengah pemukiman padat semakin memperparah beban masyarakat.
Pemerintah Harus Memihak Rakyat
PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), pemilik IUP ±1.273 hektare di Sarolangun, mengklaim memiliki izin sah untuk membangun stockpile sekaligus pelabuhan pengangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan minimnya keterbukaan:
- Tidak ada sosialisasi yang layak bagi warga terdampak.
- Lokasi di jantung pemukiman yang rawan banjir, macet, dan polusi.
- Dugaan pelanggaran tata ruang dan peruntukan lahan.
Penolakan pun meluas, para aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, hingga warga sekitar menegaskan ketidaksetujuan mereka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan peluang ekonomi, melainkan ancaman hidup.
Klaim PT SAS soal kepatuhan izin tak bisa menjadi tameng. Pemerintah dari pusat hingga kota dituntut berhenti bersikap pasif. Jika izin memang diberikan, prosesnya perlu diaudit terbuka. Bila memang menyalahi RTRW atau mengancam keselamatan warga, pencabutan izin atau relokasi harus menjadi langkah tegas.
Just Transition Bukan Sekadar Konsep
Transisi energi yang adil (Just Transition) adalah pendekatan yang menekankan perlunya transisi energi yang adil, inklusif dan adil untuk semua pihak. Di Aur Kenali, Just Transition menjadi satu hal yang prinsip, tidak ada pembangunan yang mengorbankan kesehatan, keselamatan, dan ruang hidup warga yang mengatasnamakan investasi dan keuntungan segelintir perusahaan.
Penolakan warga Aur Kenali adalah peringatan keras bahwa investasi tak boleh menindas hak masyarakat, tapi seyogyanya mendorong transisi energi dan ekonomi yang adil, dengan memastikan tidak ada yang tertinggal.
Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar pemberi izin. Tanpa keberpihakan tegas, pembangunan stockpile batu bara hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.
*Warga RT 014/002 Desa Mendalo Darat, mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi dan Ketua DPC FSB NIKEUBA Muarojambi